Instagram

Friday, February 19, 2016

Teologi Kontemporer

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BETHANY SURABAYA









Mata Kuliah: TEOLOGI KONTEMPORER
Dosen: Dr. Kanti Widiastuti



BAB I
PENDAHULUAN
            Teologi Kontemporer dalam arti yang sesungguhnya baru lahir pada tahun 1919 di suatu ruang belajar sebuah gereja di Swiss. Perintisnya adalah seorang pendeta muda, Karl Barth (1886-1968), yang sudah melayani di sana sejak 1911. Menifesto dari titik balik teologia baru dalam sejarah ini (yang merupakan pengumandangan awal dari suatu era teologi baru). Perubahan-perubahan arus teologia sejak tahun 1919 juga merupakan bagian dari lautan yang lebih luas, dan bahwa perbedaan antara teologia “modern” dengan teologia “kontemporer” kadang-kadang sedikit sekali dan lebih merupakan tekanan yang berbeda-beda yang berdasarkan pada praanggapan yang sama. Kant mensistematiskan “keyakinan manusia modern pada kemampuan rasio untuk menerangkan segala sesuatu yang ada di luarnya. Dengan demikian, ia menebarkan suatu bayangan bukan hanya pada abad ke-19, tetapi juga pada abad ke-20. Pada tahun 1784, Kant menyimpulkan tuntutan-tuntutan Pencerahan Baru ketika ia menjelaskan sebagai keluarnya manusia dari ketidakmatangan yang ia biarkan mengikat dirinya.
            Kant dan mental Pencerahan menjadikan kelepasan itu lebih dari sekadar suatu penyesuaian diri. Sejak Kant, sejarah pemikiran Barat dan teologi Barat adalah sejarah tentang bagaimana praanggapan religius ini yang dibangun di atas dasar yang diambil alih dari Kekristenan (meskipun sebenarnya saling bertentangan) membentuk suatu dunia yang baru. Mental Pencerahan menuntut kebebasan manusia yang sungguh merdeka, suatu alam yang otonom di mana fakta diceraikan dari arti sesungguhnya di dalam Allah, dan dengan demikian menjadi liar (brutalized). Bagi Kant, otonom ini berarti konsep-konsep Kristen tentang wahyu yang “otonom,” tentang Allah yang membuktikan sendiri keotentikan-Nya dan menyatakan diri-Nya melalui Alkitab, harus diganti dengan rasio manusia yang otonom. Efek dari semuanya itu cukup merusak. Allah dibelenggu oleh Kant di dalam suatu ruangan kedap suara, dihubungkan pada dunia fenomena (menurut Kant) hanya oleh “tali pusat” kebutuhan manusia akan konsep adanya Allah dalam dunia etika. Pintu ruangan itu tetap terbuka, tetapi begitu sempitnya sehingga Allah yang berdaulat, yang “ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci” (Yes. 6:1) tidak dapat menyelusup keluar.
            Hal yang sama pun berlaku bagi manusia. Karena ia sebenarnya tidak dapat memahami hal-hal sebagaimana adanya (baik dalam dunia fenomena maupun noumena), ia juga tidak dapat melalui pintu untuk mengenal Allah. Allah secara efektif telah diasingkan dari manusia, dan manusia pun diasingkan dari Allah. Pengasingan Allah ke dalam dunia noumena itu merupakan teman favorit teologi kontemporer. Hal itu diperkuat melalui tekanan tentang kebebasan yang semakin meningkat dari eksistensialisme, dan muncul dalam bentuk yang diperbaharui dalam tulisan awal Barth tentang Allah sebagai “yang mutlak berbeda” (the wholly other), sebagaioknum yang “tidak dapat dijelaskan sebagaimana benda dapat dijelaskan”. Teologi Pengharapan merupakan salah satu teologi kontemporer yang diperkenalkan melalui Moltmaan di satu segi mencela pandangan eskatologi Kristen yang tradisional yaitu gereja menantikan hadirnya Tuhan yang telah bangkit dalam sejarah di masa mendatanga, namun di segi lain ia berbicara tentang gereja yang berorinteasi pada masa mendatang.



BAB II
KAJIAN PUSTAKA
TEOLOGI PENGHARAPAN
Seorang tokoh lain yang amat memprihatinkan relevansi iman Kristen bagi "dunia" ialah J. Moltmann. Karya utamanya ialah: Theologie der Hoffiiung (1966): Der gekreuzigte Gott. Das Kreuz Cluisti als gnuid mid Kritik christilicher Tlieologie (1972) dan Trinitat mid Reich Gottes Zur Gottes lehre (1980). Sama seperti Pamienberg, demikian pun Moltmann peka terhadap kritik yang dilontarkan marksisnie terhadap agama pada umumnya dan khusus terhadap agama Kristen. Moltmann. Berdialog dengan neomarksis terkenal E. Bloch yang dalam karyanya "Das Piinzip Hof&iung (1967) menyajikan juga semacam "Yesuologi marksis".[1] Jurgen Moltmann adalah seorang teolog Protestan yang menjadi salah seorang pelopor teologi politis melalui Teologi Pengharapan. Teologi ini menantang struktur-struktur masyarakat dan memandang ke arah kerajaan masa depan yang membebaskan yang berasal dari suatu Allah masa depan. Ia mengakui bahwa teologi perlu berisikan tantangan terhadap struktur-struktur teknologis ilmiali dari masyarakat Barat. Ia percaya bahwa di dunia Barat struktur teknologi telah menjadi suatu perangkap baik bagi manusia maupun bagi ciptaan. Di masa lampau para teolog pembebasan cenderung memandang curiga gerakan hijau, meya-kini bahwa tugas pokok haruslah pembebasan manusia dan bukannya pelestarian spesies bukan manusia. Akan tetapi, dampak global dari krisis lingkungan dan hubungan yang saling terkait antara pembangunan dan lingkungan membawa pengertian bahwa kedua isu ini tidak bisa lagi ditanggapi secara terpisah. Dalam karya Moltmann yang paling baru, ia menekankan bagaimana teologi pengharapan secara langsung berisikan pembebasan atas planet yang sedang menderita dan sekarat, yang merupakan suatu contoh penindasan manusia yang par exelence (yang tak ada bandingannya). Dalam artian ini teologi politis menjadi teologi politis ekologis.[2] Pada tahun 1965, saat gencar-gencarnya gerakan “Allah mati”, ditengah ketakutan sementara orang akan kebangkitan atheism Kristen, terdengarlah di negeri Jerman suatu nada baru dari seorang professor teologia yang masih muda di Universitas Tubingen. Meskipun belum dapat disebut sebagai suatu aliran baru dalam dunia teologia. Teologia pengharapan mendapat perhatian secara luas di Asia. Menurut Moltmann meskipun dalam keadaan kesulitan dan kekecewaan terus menerus. “Harapan-harapan hancur terus menerus, sehingga Moltmann menghimbaukan agar mempunyai pengharapan.[3]
Tema teologi Moltmann, teologi harapan, bukanlah penemuan Moltmann sendiri. Telah dikemukakan bahwa teologi Pannenberg juga disebut teologi harapan. Kecuali Pannenberg memang masih ada lagi tokoh-tokoh lainnya yang mengembangkan teologi yang mengarah ke masa depan, yang semuanya bekerja hampir bersama-an waktunya dengan Moltmann. Tetapi memang teologi Moltmann tidak 100% sama dengan teologi harapan yang lain-lain itu. Di dalam bukunya yang kedua, Der gekreuzigte Gott (Allah yang Disalibkan) teologi harapan Moltmann disebut teologi salib.[4] Menurut Moltmann, para teolog hingga kini mempunyai suatu konsep penyataan atau wahyu yang dikuasai oleh pengertian Yunani tentang hakikat (ousia) dan firman (logos). Padahal yang Alkitabiah ialah jika konsep penyataan atau wahyu itu dikuasai oleh firman sebagai janji. Dengan ini Moltmann mengemukakan suatu konsep penyataan atau wahyu sebagai sejarah firman. Di sinilah letak perbedaan antara Moltmann dan Pannenberg, yang mengemukakan bahwa Allah menyatakan atau mengungkapkan diri di dalam akhir sejarah sebagai rangkuman seluruh sejarah. Juga di sini Moltmann berbeda dengan Bultmann, yang mengajarkan, bahwa firman yang diberitakan mengungkapkan historisitas eksistensi manusia. menurut moltmann, pertentangan di bidang penyataan atau wahyu antara firman dan sejarah ini hanya dapat dipecahkan oleh pandangan yang ketiga, yaitu pandangan tentang penyataan atau wahyu sebagai sejarah firman atau sejarah janji Allah. Penyataan atau wahyu yang dipandang sebagai sejarah firman atau sejarah janji Allah menampakkan bahwa penyataan atau wahyu itulah penyataan atau wahyu yang eskatologis.[5]
Kunci untuk mengerti “teologia futuristik”, menurut Moltmann ialah gagasannya bahwa Allah harus tunduk pada proses waktu. Dalam proses inilah tidaklah sepenuhnya Allah, karena Allah adalah satu bagian dari waktu yang sedang mendesak maju kemasa yang akan datang. Dalam kekristenan tradisional, Allah dan Yesus Kristus berdiri pertama-tama di luar waktu. Menurut dia, Allah Alkitab adalah Allah yang mempunyai “masa yang akan datang sebagai sifat-Nya yang hakiki.[6] Allah tidaklah menyatakan siapakah Ia, namun siapakah Ia kelak akan terjadi di masa yang akan datang. Allah hanya hadir dalam janji-janji-Nya hanya dalam pengharapan. Allah akan menjadi Allah kalau Ia memenuhi janji-janji-Nya dan dengan demikian mendirikan pemerintahan-Nya. Allah tidaklah absolute, Ia adalah Allah yang setiawan yang membuat janji-janji tentang masa akan datang dan Ia sendiri ditentukan oleh masa yang akan datang.[7]
Menurut Moltmann seluruh teologia Kristen harus dicetak dan dibentuk oleh eskatolgi. Eskatolgi dalam konsep Moltmann bukanlah penantian tradisional tentang kedatangan Kristus kedua kalinya. Eskatolgi oleh Moltmann ditafsirkan sebagai keterbukaan kepada masa yang akan dtang, kebebsan masa yang akan datang. Masa mendatang adalah suatu yang tidak dikenal baik oleh manusia maupun Allah. Orang Kristen injili menghubungkan dengan erat kebangkitan Kristus dan ekatologi. Kristus yang sudah bangkit adalah “buah sulung kebangkitan”. Kematian dan kebangkitan Kristus adalah jaminan Allah akan kebangkitan yang akan datang, permulaan daripada kebangkitan akhir, yaitu sebuah fakta sejarah yang member makna pada masa depan. Tetapi menurut Moltmann tidak hanya kebangkitan tubuh Kristus terjadi dalam sejarah. Dalam kekritenan tradisional kebangkitan Kristus adalah dasar dalam sejarah bagi kebangkitan akhir, kebangkitan akhir merupakan dasar kebangkitan Yesus.[8]
Moltmann membalikkan kristologi Pannienberg dan pendekatanya. Kristologi Pannienberg suatu kristologi dari bawah, agak berat sebelah dan terlalu optimis. Pannienberg menonjolkan kebangkitan Yesus sebagai peristiwa yang memutuskan. Tetapi sebenarnya hanya sehubungan dengan pernyataan. Sebab kebangkitan hanya menyingkapkan apa yang sudah terkandung dalam Yesus di dunia. Kebangkitan bukanlah sesuatu yang serba baru, yang menambah sesuatu. Dengan tekanannya pada kebangkitan Pamienberg juga mengaburkan makna khusus kematian Yesus di salib. Kematian itu dalam pendekatan Pamienberg hanya suatu "peralihanan," yang kalau tidak ada tidak berubah apa-apa. Moltman agak sehaluan dengan tradisi Reformasi dan pemikiran K. Barth. Dalam kristologi (dari alas) ditekankan segi soteriologis. Tentu saja soteriologi mengandaikan kristologi, tetapi minat Moltmami tertarik oleh yang pertama. Moltmann tidak menyusun kristologi soteriologinya sekitar "Firman Allah," Yesus Kristus sebagai penyataan Allah (Barth. Pannienberg). Tekanan terletak pada kematian Yesus, yang sudah barang tentu tidak terlepas dari kebangkitan. Kedua ini menjadi satu peristiwa penyelamatan. Moltmann tidak terlalu merepotkan diri dengan masalah historisitas Yesus. Historisitas serta hal ihwal Yesus dalam garis-garis besarnya diterima seperti diwartakan Perjanjian Baru. Itu menjadi prasyarat untuk pemikiran lebih lanjut. Pikiran Moltmann itu berpusatkan penderitaan dan kematian Yesus di salib. Itulah yang menjadi pokok inti iman Kristen. Dililiat daii sisi manusia Yesus dibunuh oleh karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat sosio-religius di zamannya. Dan semua orang yang percaya kepada Yesus Kristus pun tidak pemah dapat menyesuaikan drii. berarti: mereka harus menderita sebagai pengikut Yesus dan menjadi dinamika yang mengubah masyarakat menuju ke akhir yang melampaui dunia, tetapi sekaligus diantisipasikan di dalam dunia yang berisikan penderitaan. kegagalan dan kematian.
Keberatan Moltmann terhadap para ahli tafsir (umpamanya, J. Weiss dan A. Schweitszer) dan para ahli dogmatik (umpamanya, K. Barth dan R. Bultmann) hingga kini bahwa mereka banyak berbicara tentang sifat eskatologis Perjanjian Baru, tetapi tidak berbuat apa-apa terhadap harapan iman kristiani akan masa depan itu. Moltmann menghendaki supaya teologi berbicara tentang Allah secara eskatologis. Ia meninggalkan cara menggambarkan Allah sebagai Tokoh yang kekal, yang tanpa bergerak berada di tempat yang tinggi, atau menggambarkan Allah sebagai Yang Terdalam dari manusia. Sebab Allah bukan berada di tempat yang tinggi atau berada di tempat yang terdalam, melainkan la berjalan mendului kita, serta dari depan menarik kita menuju masa depan. Allah mendahului perjalanan hidup kita. lalah Allah Keluaran (Allah-Exodus), Allah yang membebaskan kita dari segala kuasa. lalah Allah sejarah, Allah yang membangkitkan kita dari antara orang mati. Ialah Allah masa depan, Allah yang mengajar kita berharap.[9]
Hanya yang menderita dan mati di salib itu bukanlah seorang manusia belaka. meskipun seorang manusia tinggal sekali pun; bukan suatu "idea" atau doktrin. Yang menderita dan mati itu ialah Anak Allah yang sesungguhnya. Moltmami tetap mempertahankan ajaran tradisional bahwa Yesus sungguh-siuigguh manusia dan sungguh-sungguh Allah. Nanum Moltmami seperti sekian banyak teolog berkeberatan terhadap minus tentang adanya "dua kodrat" pada Yesus yang hanya satu. Sebab, menurut Moltmann, implikasi ajaran itu ialah: Yang menderita dan mati hanyalah kemanusiaan. sehingga Allah tidak tersentuh. Menumt Moltmann orang mesti berkata bahwa dalam manusia Yesus Allah sendiri menderita dan mati. Dan kematian Yesus dan kematian Allah sertanya benar-benar kematian mutlak. Yesus Allah ditinggalkan Allah, ditolak Allah, mengalami neraka (seperti dalam tradisi Refomasi suka dikatakan). Dengan taat dan rela Yesus menyeralikan diri kepada Allah, tetapi oleh Allah ditolak. Dengan demikian Moltmann secara teologis memempatkan penderitaan dan kematian ini di dalam Allah sendiri. Allah menjadi suatu paradoks di dalam diri-Nya. Allah menjadi nyata sebagai Allah "sub contrario." Menurut Moltmann salib Yesus menyatakan Allah lain daripada Allah yang barangkali ditemukan filsafat dan Allah lain daripada Allah seperti lazimnya dipahami dalam tradisi Kristen. Allah filsafat dan Allah tradisi itu ialah: Allah yang tidak berubah. yang tetap satia, tidak dapat menderita, tidak dapat mati, Allah kekal tak terubah. Tetapi Allah menurut inilah Kristen yang terungkap dalam Perjanjian Baru ialah Allah yang benar-benar menjadi senasib dengan manusia sampai akhir. Moltmann sangat menekankan bahwa diri Yesus menjadi inti imin Kristen. bukan "die Sache Jesu" (Marxsen. apa yang diperjuangkan dan diajarkan Yesus. relasi dengan Yesus). Bersama dengan diri Yesus juga "die Sache Jesu" mengalami kegagalan total. Tetapi tanpa kebangkitan penderitaan dan kematian Yesus tidak bermakna dan hanya menjadi kegagalan belaka. Di lain pihak kebangkitan itu tidak membatalkan penderitaan dan kematian. Itu tetap suatu realitas yang oleh kebangkitan seolah-olah diabadikan. Kebangkitan itu menyatakan siapa yang menderita dan mati di salib, memberi kematian di salib makna penyelamatan dan menjadikan peristiwa penyelamatan itu definitif. Dalam kebangkitan menjadi jelas bahwa kematian Yesus, kematian orang berdosa, nyatanya kematian untuk orang berdosa. Padahal kebangkitan Yesus menjadi kebangkitan manusia Yesus mendahului kebangkitan kita, manusia berdosa. Berkat kebangkitan kematian Yesus nyatanya mempunyai makna dan daya penyelamatan. Tetapi juga sebaliknya: berkat kematian Yesus kebangkitan-Nya mempunyai makna penyelamatan. Kedua peristiwa itu saling melengkapi dan saling membutulkan. Kematian Yesus seolah-olah suatu kekeliruan dari pihak manusia yang membunuh Allah. Kekeliruan itu oleh Allah dibetulkan dengan membangkitkan Yesus. Sasaran utama iman Kristen ialah Yesus, Anak Allah, yang tetap Yesus yang disalibkan dan dibangkitkan.
Gagasan yang demikian itu terdapat juga di dalam Perjanjian Baru. Di sini jelas, demikian menurut Moltmann bahwa Allah itu Allah yang membangkitkan dari antara orang mati. Kitab Perjanjian Baru menceritakan bahwa sesudah Paskah para murid mengenal Yesus sebagai Yang Dulu disalibkan. Mereka bersaksi dan mem-beritakan identitas yang ada antara Yang Bangkit dan Yang Disalibkan. Salib mempunyai unsur historis (kejadian yang terjadi di dalam sejarah), sedang kebangkitan mempunyai unsur eskatologis. Bagaimana kedua unsur yang tidak sama ini dapat dihubungkan di dalam pemberitaan Paskah? Jadi sebenarnya, menurut Moltmann, cerita-cerita Paskah tidak berlagak mengemukakan "apakah kebangkitan dari antara orang mati" itu, juga tidak berlagak menguraikan "apakah sebenarnya yang terjadi" di dalam kebangkitan Yesus itu. Cerita-cerita itu sebenarnya hanya menyimpulkan dari dua pengalaman, yaitu pengalaman pada waktu penyaliban dan pengalaman dalam penampakan-penampakan Yesus. Pengalaman dalam penyaliban Yesus bagi mereka berarti pengalaman yang menunjukkan betapa duta Allah (Yesus) ditinggalkan oleh Allah, atau betapa Allah juga ditimpa oleh kesia-siaan atau ketiadaan yang mutlak. Pengalaman dalam penampakan-penampakan Yesus yang telah disalib yang tampak sebagai Tuhan yang telah hidup, bagi mereka berarti, bahwa yang telah ditinggalkan Allah itu ternyata dekat dengan Allah, atau penampakan-penampakan itu mewujudkan penyataan atau pengungkapan ketuhanan Allah di dalam Kristus yang telah disalibkan dan mati, atau juga dengan penampakan-penampakan itu suatu hal yang baru sama sekali telah meniadakan apa yang sia-sia atau apa yang kosong secara radikal. Namun, keduanya perlu disatukan. Menurut para murid, kesatuannya terdapat di dalam apa yang terjadi di antara kedua macam pengalaman tadi, yang "disebut pembangkitan orang mati". Padahal "pembangkitan dari antara orang mati" itu adalah suatu ungkapan eskatologis. Oleh karena itu, kejadian di antara penyaliban dan penampakan-penampakan Yesus itu sebenarnya suatu kejadian eskatologis. Sebagai kejadian eskatologis kebenarannya akan dibuktikan kelak pada akhir zaman. Dengan ungkapan eskatologis itu para murid tidak bermaksud menceritakan apa yang telah terjadi, tetapi mengungkapkan harapan eskatologis. Demikianlah di dalam Perjanjian Baru, Allah telah memperkenalkan diri-Nya di dalam kebangkitan Yesus. Penyataan atau wahyu Allah di dalam kebangkitan Yesus itulah suatu hal yang baru sama sekali di dalam sejarah. Dengan penyataan yang demikian itu, menurut Moltmann, Allah telah meng-hadirkan secara fragmentaris penyataan atau wahyu-Nya yang terakhir, yang kelak akan diungkapkan di dalam kemuliaan kerajaan-Nya, serta yang kini meraberi perwujudan pendahuluan dari penyataan atau wahyu-Nya yang terakhir itu dalam bentuk janji. Oleh karena itu, hakikat Allah sebenarnya tidak diuraikan dengan ketentuan-ketentuan metafisis yang tradisional. Sebab penyataan atau pengungkapan diri Allah itu dipandang dari segi yang baru sama sekali di dalam sejarah yang akan terjadi yang terakhir. Masa depan Allah ini harus diteguhkan sebagai kedatangan (adventus) atau sebagai kehadiran Qmrousia). Hakikat Allah tidak terletak di dalam proses terjadinya dunia, tetapi di dalam parousia, di dalam kedatangan-Nya yang sekarang dan di dalam kehadiran-Nya yang akan datang. Masa depan diharapkan dari Allah, sebagai kuasa yang menjadikan segala sesuatu menjadi baru serta mengubah bentuk segala sesuatu. Jika masa depan dipandang sebagai cara Allah berada, hal itu berarti, bahwa Allah masa depan itu berbuat terhadap masa kini dan masa yang lampau. Bahwa sekarang Allah belum menyatakan atau mengungkapkan diri sepenuhnya, hal itu disebabkan kini Allah belum memenuhi seluruh apa yang telah la janjikan. Apa yang akan mengungkapkan ketuhanan Allah ialah penjadian segala sesuatu menjadi baru, waktu kemuliaan dan kasih-Nya berada di dalam segala sesuatu yang ada. Hakikat Allah ialah janji-Nya yang diberikan di dalam sejarah, kesatuan dan kekuasaan yang dengan-Nya la memenuhi janji-janji-Nya dan pemenuhan janji-janji itu di masa depan.
Pokok iman itulah menjadi dasar pengharapan yang tak tergoncangkan. Eksistenisi manusia tidak dapat tidak mengalami kegagalan (kematian) dan dari dalam tidak mempunyai makna sama sekali (sepeiti juga dikatakan oleh eksistensialis ateis dari Francis, Sartre. Camus). Tetapi dalam eksistensi dan hal iliwal Yesus tersingkap mana makna dan bagaimana eksistensi manusia bennakna. Dengan pendekatamiya itu Moltmann mengangkat kembali dan dengan caranya sendiri mau memecahkan suatu masalah yang sejak abad EI sudah ada. Soalnya sebagai berikut: Bagaimana dapat dipikirkan sekaligus: Allah (Anak Allah. Firman Allah yang sehakikat dengan Bapa) dan manusia (kemanusiaan) real dan historis, khususnya dalam penderitaan dan kematian real. Problem itu ialah masalah "kenosis" Allah (bandingkan dengan Flp 2:5-11). Di kalangan Refomiasi khususnya di Inggris, masalah itu hangat diperdebatkan selama abad XK dan pada awal abad XX (Misalnya: A. Fairbaim, Chrisin modem Theology. 1893; Ch. Gore. Bampton Lecture. 1891: F. Westton. The One Christ, 1907). Di Jerman pun masalah "kenosis" itu hangat diperdebatkan. kliususnya sehubungan dengan kritikD. E Strauss. Tokoh penting dalam debat itu ialah G. Tliomasius (± 1875). Menurutnya Anak Allah pra-existen (ialah kehendak Allah) dalam inkarnasi menjadi terbatas dalam ciri-ciri yang menyangkut dunia, sehingga misalnya tidak lagi menjadi pengantara penciptaan. W. F Gess (± 1891) inilah berkata bahwa Finnan Allah meninggalkan semua ciri ilahi dan berubah menjadi manusiawi. Usaha untuk memecahkan soal itu sebenamya kurang berhasil. Namun. perdebatan itu menyadarkan kembali masalah yang ada dan misteri dan tidak tertembus. Moltmann sekali lagi berusaha dan boleh dikatakan ia membuka jalan baru, justu dengan meninggalkan paham lama tentang Allah yang tidak berunah dan tidak terkena oleh penderitaan dan kematian Yesus di salib. Di lin pihak pendekatan Moltmann mendapat juga cukup banyak kritik, sehiingga masalah belum juga dipecahkan. Nampaknya bahwa, menumt Moltmann. Allah sendiri menyalibkan Yesus. [10]
            Manusia tidak seharusnya secara pasif menanti masa depan tetapi harus ikut aktif berperan serta dalam masyarakat. Tugas gereja adalah menyampaikan beritanya sedemikian rupa sehingga pada masa kini, masa mendatang dapat menggenggam setiap orang dan mengarahkannya dan mengambil tindakan yang mennetukan untuk membentuk masa yang akan datang. Tujuan dari gereja tidak untuk “melaporkan mengenai masa lalu tetapi untuk mengubah masa yang akan datang. Masa kini sendiri tidaklah penting. Apa yang penting ialah bahwa pada masa kini yang akan datanga menggenggam setiap orang “ Manusia harus sadar akan kemungkinan-kemungkinan “kemesiasan”nya.
Menurut Moltmann tidak ada bentuk-bentuk atau struktur yang mutlak dalam dunia ini yang diberikan Allah pada penciptaan. Berlawanan dengan ajaran Kristen tradisional Moltmann menegaskan bahwa Allah tidak menetapkan peraturan-peraturan yang berotoritas mutlak, yang harus digunakan dalam membentuk masa yang akan datang. Masa yang akan datang adalah kebebasan dan kebebasan adalah relativitas. Tugas gereja adalah menjadi alat dan melalui alat tersebut Allah akan membawa perdamaian sosial yang universal. Sebagaimana seorang komentator tentang Moltmann “Kerajaan anugerah berubah menjadi kerajaan kuasa yang universal”.[11] Peran gereja dalam masyarakat menggunakan revolusi sebagai satu sarana yang pantas, tetapi tidak perlu menjadi satu-satunya sarana. Dan dalam dorongan revolusioner yang menuju ke masa depan ini, “masalah memakai kekerasan atau tidak” disebut “masalah bersifat khayalan”,yang ada hanyalah pertanyaan tentang penggunaan kekuatan yang dibenarkan dan yang tidak dibenarkan, serta pertanyaan apakah sarana-sarananya sesuai dengan tujuannya.[12] Masa yang akan datang dalam masyarakat maka kategori masa lampau dalam masyarakat haruslah dibuang. Menurut Moltmann tidak ada bentuk-bentuk atau struktur yang mutlak dalam dunia ini yang diberikan Allah pada penciptaan, sehingga berlawanan dengan ajaran Kristen tradisional Moltmann.
            Teologi sekuler dalam teologia pengharapan terlihat pula kesadaran yang mendalam akan tanggung jawab gereja terhadap dunia. Penganut-penganut Calvin dapat juga bersimpati dengan keinginan Moltmann untuk melihat Alkitab dari awal sampai akhir sebagai satu kitab eskatologis. Setiap konservatif akan pula menginsyafi kekeliruhan-kekeliruhan yang mencolok dalam ajaran Moltmann dan kengerian yang mungkin dihasilkan oleh pandangan etikanya.
1.      Moltmann berkarya dari praanggapan bahwa “teologi kalam” adalah satu-satunya penunjuk yang “tepat” untuk teologia dialektik.[13] Sebenarnya seperti didalihkan oleh Braaten, Moltmann membawa prinsip-prinsip Barth lebih jauh.[14] Barth telah memindahkan eskatologi ke wilayah di luar pengalaman manusia melalui pemakaiannya akan dialektik Historie-Geschichte. Moltmann membawa polemik yang menentang adanya wilayah sejarah yang obyektif ini selangkah lebih jauh, menolak “sudah terjadinya” sejarah untuk suatu pandangan sejarah yang ditelan oleh “belum terjadinya.” Jika praanggapan Barth mengoyak kemungkinan akan adanya hubungan antara iman dan sejarah, Moltmann telah lebih jauh mengoyak kemungkinan adanya sejarah itu sendiri. Dialektika Kant yang diserang Moltmann dalam Barth justru telah berbalik pada pandangannya sendiri.[15]
2.      Walaupun Moltmann menghiasi teologinya dengan idiom-idiom Alkitabiah, yaitu “eskatologi” dan “kebangkitan” serta “penyempurnaan, “ namun sistemnya jauh lebih berhutang kepada Marxisme daripada kepada Kristus. Dan sekali lagi keserasian paham dialektik yang membentuk inti Marxismes akan menemui titik-titik kontak dengan konsep kebenarang dialektis yang membentuk corak nada baru neo-ortodoksi Moltmann.
3.      Pandangan ekstologi Moltmann kehilangan pusat alkitabiahnya. Pusat tersebut adalah kedatangan Allah di dalam Kristus untuk menyelamatkan umat-Nya. Ketika Yesus mati dan bangkit kembali tahun 1900 tahun yang lampau “hari-hari terakhir” mulailah (Kis. 2:17; Ib. 1:2; 1 Yoh. 2:18). Suatu hari kelak, ketika Yesus kembali di atas awan-awan kemuliaan, maka penyempurnaan hari-hari akhir itu pun terjadilah. Tetapi kita tidak menemukan Kristus pada pusat eskatologi Moltmann. Eskatologinya adalah berpusatkan pada manusia, dengan manusia yang memandang pada masa depan. Karena itu, para kritikus dengan bijaksana telah menunjukkan bahwa lebih tepat bila gagasan Moltmann disebut sebagai “futurologi” daripada “eskatologi”. Sasaran dari masa yang akan datang Moltmann bukanlah pernyataan sepenuhnya dari kemuliaan Kristus, melainkan kebangunan Utopia (keadaan yang sempurna) di muka bumi ini.
4.      Bagi Moltmann kerajaan Allah dihantar oleh politik dan revolusi. Bagi rasul Paulus, Kerajaan Allah adalah, dan akan, didatangkan oleh pemberitaan kuasa yang menyelamatkan dari Tuhan Yesus Kristus (Kis. 28:30-31). Bagi Moltmann, kerajaan itu adalah sebagai realitas dunia yang jelas. Bagi Kristus, Kerajaan Allah hanya dapat dimasuki melalui iman kepada-Nya (Yoh. 3:3,5) dan Kerajaan itu membawa damai, bukan revolusi (Rm. 14:17).
5.      Karena Moltmann membangun pada aksioma (ajaran dasar) filsafat bahwa waktu adalah substansi realitas, maka ia harus membangun kembali Allah yang cocok dengan konsep realitasnya yang sempit itu. Masa akan datang bukan saja menjadi sesuatu yang tak diketahui bagi manusia. Tetapi juga menjadi sesuatu yang tak diketahui oleh Allah. Allah, menurut Moltmann, tidak lagi yang akan datang, dihanyutkan oleh gerakan waktu. Di gunung sinai, Allah berkata kepada Musa, “Aku adalah Aku.” Moltmann tidak membiarkan Allah mengatakan demikian kepadanya.[16]

Inti teologi harapan Moltmann ialah teologi politika, yaitu teologi yang pada hakikatnya mewujudkan praktik dan perealisasi-an pengutusan Kristus di dalam dunia mi. Pengertian "politik" di sini diambil dalam artinya yang seluas-luasnya, yang di dalamnya mengandung nasib manusia dan alam semesta. Oleh karena itu, kawasan politik ialah daerah yang luas, tempat kemungkinan-kemungkinan yang membangun dan yang merusak dana-dana serta pemanfaatannya dari kuasa-kuasa alam semesta dan hubungan-hubungan manusia oleh masyarakat manusia. Teologi kristiani dipanggil untuk menanyakan efek-efek sosial dan politik apa yang harus dibicarakan secara teologis dalam membicarakan Allah di dalam situasi yang khususan pengutusan Kristus di dalam dunia ini. Kriteria bagi iman dan teologi ialah praktik. Sehingga eskatologi kristiani bukan hanya bersikap menerima dan pasif, melainkan juga harus memiliki harapan yang produktif dan yang dapat mengubah bentuk-bentuk bagi masa depan. Pengutusan kristiani tidak akan direalisasikan dalam pemenungan. Pengutusan kristiani tidak hanya berarti menunggu-nunggu kedatangan Kerajaan Allah dengan membiarkan keadaan masa kini dalam keadaan seperti ada-nya. Pengutusan itu tidak berarti memimpikan masa depan, dengan mengosongkan masa kini. Pengutusan itu menarik harapan masa depan ke dalam kesengsaraan masa kini dan memakainya dalam inisiatif-inisiatif yang praktis guna mengatasi kesengsaraan mi. Hanya dengan cara inilah para orang percaya akan mengerti dirinya sebagai teman sekerja Allah dan sebagai pekerja-pekerja yang mem-bangun masa depan, jadi bukan hanya sebagai para penafsir masa depan.[17]





BAB III
PENUTUP
Teologi Pengharapan dari Moltmann dapat dirangkum sebagai berikut: Allah adalah bagian dari proses waktu dan bergerak ke arah masa depan. Karena itu Allah tidak Absolut, tetapi Ia sedang berjalan ke arah masa yang akan datang, dimana janji-janji-Nya akan digenapi. Masa depan merupakan natur esensi dari Allah. Kebangkitan Yesus Kristus sebagai peristiwa sejarah adalah tidak penting. Kepentingan dari kebangkitan Kristus adalah eskatologikal dan harus dipandang dari masa depan, karena hal itu memberikan suatu pengharapan bagi kebangkitan umum di masa depan. Jangan melihat dari masa depan dari kuburan yang kosong. Moltmann mengusulkan untuk melihat ke masa depan yang disahkan oleh kebangkitan Kristus. Manusia juga harus dilihat dari sudut pandang masa depan, “manusia dapat dipahami, hanya dalam kaitan dengan referensi pada suatu sejarah yang tidak damai, dan terus menerus menguak sejarah dalam relasi dengan masa depan Allah.”
Solusi bagi manusia adalah mengasosiasikan dirinya dengan Allah “yang menyingkapkan diri-Nya, pada saat manusiaa direndahkan dan dilecehkan.” Moltmann menyebut hal itu sebagai teologi salib. Manusia berbagi dalam teologi salib ini dengan menerima tantangan hidup sebagai saat masa depan yang masuk ke masa sekarang. Manusia harus secara aktif berperan serta dalam masyarakat untuk menghasilkan perubahan-perubahan. Gereja-gereja suku, kelas sosial, status dan nasional’ harus dihapuskan. Gereja memiliki kemampuan untuk membentuk masa depan dan harus dapat membawa berita yang mengubah masyarakat. Gereja harus melihat lebih jauh dari keselamatan pribadi dan menantang semua penghalang dan struktur di antara orang-orang yang berbeda. Gereja merupakan alat untuk Allah membawa perubahan dan rekonsiliasi antara yang kaya dan yang miskin, antara suku-suku dan struktur-struktur yang palsu. Revolusi dapat menjadi salah satu cara yang dipakai gereja untuk mengakibatkan perubahan.
Moltmann berdasarkan penekanannya pada masa depan, menyangkali sejarah yang umum dan normal. Ia menolak signifikansi dan kehistorisan kebangkitan Yesus Kristus. Dalam usaha menyejajarkan sejarah dan eskatologi, ia meyangkali arti sebenarnya dari sejarah dan peristiwa-peristiwa sejarah. Dalam konsepnya tentang Allah, Moltmann menyangkali ketidakberubahan Allah (Mal. 3:6) dan mengusulkan Allah yang tidak absolut, “tetapi yang sedang begerak ke masa depan.”




[1] Wisma Padia, Isu-isu Kristologi Kontemporer, (Sekolah Tinggi Theology Injil Philadelphia), 55-56.
[2]Celia Deane- Drummod, Teologi dan ekologi (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 132
[3] Harvie M. Conn, Teologi Kontemporer, (Malang: Literatur SAAT, 2012), 96-97.
[4] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris abad ke 20 (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 135.
[5] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris abad ke 20 (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 136.
[6] Jurgen Moltmann, The Theology of Hope (New York: Harper and Row, 1967), 29-42.
[7] Harvie M. Conn, Teologi Kontemporer, (Malang: Literatur SAAT, 2012), 98.
[8] Jurgen Moltmann, Religions, Revolution and the Future (New York: Charles Scribner’s Sons, 1969), 52.
[9] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris abad ke 20 (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 136.
[10] Wisma Padia, Isu-isu Kristologi Kontemporer, (Sekolah Tinggi Theology Injil Philadelphia), 55-56.
[11] David Scaer, op. Cit., 76.
[12] Moltmann, op. Cit., 143.
[13] Disebut dalam James M. Robinson dan John B. Cobb, Jr., Theology as History (New York: Harper and Row, 1967) 17.
[14] Carl Braaten, History and Hermeneutcs, op. Cit., 178.
[15] Van Till,  The Great Debate Today, op. Cit, 202-204.
[16] Harvie M. Conn, Teologi Kontemporer, (Malang: Literatur SAAT, 2012), 103-104.
[17]Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris abad ke 20 (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 138.

No comments: