SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BETHANY SURABAYA
Mata Kuliah: TEOLOGI KONTEMPORER
Dosen: Dr. Kanti Widiastuti
BAB I
PENDAHULUAN
Teologi Kontemporer dalam arti yang
sesungguhnya baru lahir pada tahun 1919 di suatu ruang belajar sebuah gereja di
Swiss. Perintisnya adalah seorang pendeta muda, Karl Barth (1886-1968), yang
sudah melayani di sana sejak 1911. Menifesto dari titik balik teologia baru
dalam sejarah ini (yang merupakan pengumandangan awal dari suatu era teologi
baru). Perubahan-perubahan arus teologia sejak tahun 1919 juga merupakan bagian
dari lautan yang lebih luas, dan bahwa perbedaan antara teologia “modern”
dengan teologia “kontemporer” kadang-kadang sedikit sekali dan lebih merupakan
tekanan yang berbeda-beda yang berdasarkan pada praanggapan yang sama. Kant
mensistematiskan “keyakinan manusia modern pada kemampuan rasio untuk
menerangkan segala sesuatu yang ada di luarnya. Dengan demikian, ia menebarkan
suatu bayangan bukan hanya pada abad ke-19, tetapi juga pada abad ke-20. Pada
tahun 1784, Kant menyimpulkan tuntutan-tuntutan Pencerahan Baru ketika ia
menjelaskan sebagai keluarnya manusia dari ketidakmatangan yang ia biarkan
mengikat dirinya.
Kant dan mental Pencerahan
menjadikan kelepasan itu lebih dari sekadar suatu penyesuaian diri. Sejak Kant,
sejarah pemikiran Barat dan teologi Barat adalah sejarah tentang bagaimana
praanggapan religius ini yang dibangun di atas dasar yang diambil alih dari
Kekristenan (meskipun sebenarnya saling bertentangan) membentuk suatu dunia
yang baru. Mental Pencerahan menuntut kebebasan manusia yang sungguh merdeka,
suatu alam yang otonom di mana fakta diceraikan dari arti sesungguhnya di dalam
Allah, dan dengan demikian menjadi liar (brutalized).
Bagi Kant, otonom ini berarti konsep-konsep Kristen tentang wahyu yang
“otonom,” tentang Allah yang membuktikan sendiri keotentikan-Nya dan menyatakan
diri-Nya melalui Alkitab, harus diganti dengan rasio manusia yang otonom. Efek
dari semuanya itu cukup merusak. Allah dibelenggu oleh Kant di dalam suatu
ruangan kedap suara, dihubungkan pada dunia fenomena (menurut Kant) hanya oleh
“tali pusat” kebutuhan manusia akan konsep adanya Allah dalam dunia etika.
Pintu ruangan itu tetap terbuka, tetapi begitu sempitnya sehingga Allah yang
berdaulat, yang “ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci” (Yes. 6:1) tidak dapat
menyelusup keluar.
Hal yang sama pun berlaku bagi
manusia. Karena ia sebenarnya tidak dapat memahami hal-hal sebagaimana adanya
(baik dalam dunia fenomena maupun noumena), ia juga tidak dapat melalui pintu
untuk mengenal Allah. Allah secara efektif telah diasingkan dari manusia, dan
manusia pun diasingkan dari Allah. Pengasingan Allah ke dalam dunia noumena itu
merupakan teman favorit teologi kontemporer. Hal itu diperkuat melalui tekanan
tentang kebebasan yang semakin meningkat dari eksistensialisme, dan muncul
dalam bentuk yang diperbaharui dalam tulisan awal Barth tentang Allah sebagai
“yang mutlak berbeda” (the wholly other),
sebagaioknum yang “tidak dapat dijelaskan sebagaimana benda dapat
dijelaskan”. Teologi Pengharapan merupakan salah satu teologi kontemporer yang
diperkenalkan melalui Moltmaan di satu segi mencela pandangan eskatologi
Kristen yang tradisional yaitu gereja menantikan hadirnya Tuhan yang telah
bangkit dalam sejarah di masa mendatanga, namun di segi lain ia berbicara
tentang gereja yang berorinteasi pada masa mendatang.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
TEOLOGI
PENGHARAPAN
Seorang
tokoh lain yang amat memprihatinkan relevansi iman Kristen bagi
"dunia" ialah J. Moltmann. Karya utamanya ialah: Theologie der
Hoffiiung (1966): Der gekreuzigte Gott. Das Kreuz Cluisti als gnuid mid Kritik
christilicher Tlieologie (1972) dan Trinitat mid Reich Gottes Zur Gottes lehre
(1980). Sama seperti Pamienberg, demikian pun Moltmann peka terhadap kritik yang
dilontarkan marksisnie terhadap agama pada umumnya dan khusus terhadap agama
Kristen. Moltmann. Berdialog dengan neomarksis terkenal E. Bloch yang dalam karyanya
"Das Piinzip Hof&iung (1967) menyajikan juga semacam "Yesuologi
marksis".[1]
Jurgen Moltmann adalah seorang teolog Protestan yang menjadi salah seorang
pelopor teologi politis melalui Teologi Pengharapan. Teologi ini menantang
struktur-struktur masyarakat dan memandang ke arah kerajaan masa depan yang
membebaskan yang berasal dari suatu Allah masa depan. Ia mengakui bahwa teologi
perlu berisikan tantangan terhadap struktur-struktur teknologis ilmiali dari
masyarakat Barat. Ia percaya bahwa di dunia Barat struktur teknologi telah
menjadi suatu perangkap baik bagi manusia maupun bagi ciptaan. Di masa lampau
para teolog pembebasan cenderung memandang curiga gerakan hijau, meya-kini
bahwa tugas pokok haruslah pembebasan manusia dan bukannya pelestarian spesies
bukan manusia. Akan tetapi, dampak global dari krisis lingkungan dan hubungan
yang saling terkait antara pembangunan dan lingkungan membawa pengertian bahwa
kedua isu ini tidak bisa lagi ditanggapi secara terpisah. Dalam karya Moltmann
yang paling baru, ia menekankan bagaimana teologi pengharapan secara langsung
berisikan pembebasan atas planet yang sedang menderita dan sekarat, yang
merupakan suatu contoh penindasan manusia yang par exelence (yang tak ada
bandingannya). Dalam artian ini teologi politis menjadi teologi politis ekologis.[2] Pada
tahun 1965, saat gencar-gencarnya gerakan “Allah mati”, ditengah ketakutan
sementara orang akan kebangkitan atheism Kristen, terdengarlah di negeri Jerman
suatu nada baru dari seorang professor teologia yang masih muda di Universitas
Tubingen. Meskipun belum dapat disebut sebagai suatu aliran baru dalam dunia
teologia. Teologia pengharapan mendapat perhatian secara luas di Asia. Menurut
Moltmann meskipun dalam keadaan kesulitan dan kekecewaan terus menerus.
“Harapan-harapan hancur terus menerus, sehingga Moltmann menghimbaukan agar
mempunyai pengharapan.[3]
Tema
teologi Moltmann, teologi harapan, bukanlah penemuan Moltmann sendiri. Telah
dikemukakan bahwa teologi Pannenberg juga disebut teologi harapan. Kecuali
Pannenberg memang masih ada lagi tokoh-tokoh lainnya yang mengembangkan teologi
yang mengarah ke masa depan, yang semuanya bekerja hampir bersama-an waktunya
dengan Moltmann. Tetapi memang teologi Moltmann tidak 100% sama dengan teologi
harapan yang lain-lain itu. Di dalam bukunya yang kedua, Der gekreuzigte Gott
(Allah yang Disalibkan) teologi harapan Moltmann disebut teologi salib.[4] Menurut
Moltmann, para teolog hingga kini mempunyai suatu konsep penyataan atau wahyu
yang dikuasai oleh pengertian Yunani tentang hakikat (ousia) dan firman
(logos). Padahal yang Alkitabiah ialah jika konsep penyataan atau wahyu itu
dikuasai oleh firman sebagai janji. Dengan ini Moltmann mengemukakan suatu
konsep penyataan atau wahyu sebagai sejarah firman. Di sinilah letak perbedaan
antara Moltmann dan Pannenberg, yang mengemukakan bahwa Allah menyatakan atau
mengungkapkan diri di dalam akhir sejarah sebagai rangkuman seluruh sejarah.
Juga di sini Moltmann berbeda dengan Bultmann, yang mengajarkan, bahwa firman
yang diberitakan mengungkapkan historisitas eksistensi manusia. menurut moltmann,
pertentangan di bidang penyataan atau wahyu antara firman dan sejarah ini hanya
dapat dipecahkan oleh pandangan yang ketiga, yaitu pandangan tentang penyataan
atau wahyu sebagai sejarah firman atau sejarah janji Allah. Penyataan atau
wahyu yang dipandang sebagai sejarah firman atau sejarah janji Allah
menampakkan bahwa penyataan atau wahyu itulah penyataan atau wahyu yang eskatologis.[5]
Kunci untuk mengerti “teologia futuristik”, menurut Moltmann ialah
gagasannya bahwa Allah harus tunduk pada proses waktu. Dalam proses inilah
tidaklah sepenuhnya Allah, karena Allah adalah satu bagian dari waktu yang
sedang mendesak maju kemasa yang akan datang. Dalam kekristenan tradisional,
Allah dan Yesus Kristus berdiri pertama-tama di luar waktu. Menurut dia, Allah
Alkitab adalah Allah yang mempunyai “masa yang akan datang sebagai sifat-Nya
yang hakiki.[6]
Allah tidaklah menyatakan siapakah Ia, namun siapakah Ia kelak akan terjadi di
masa yang akan datang. Allah hanya hadir dalam janji-janji-Nya hanya dalam
pengharapan. Allah akan menjadi Allah kalau Ia memenuhi janji-janji-Nya dan
dengan demikian mendirikan pemerintahan-Nya. Allah tidaklah absolute, Ia adalah
Allah yang setiawan yang membuat janji-janji tentang masa akan datang dan Ia
sendiri ditentukan oleh masa yang akan datang.[7]
Menurut Moltmann seluruh teologia Kristen harus dicetak dan
dibentuk oleh eskatolgi. Eskatolgi dalam konsep Moltmann bukanlah penantian
tradisional tentang kedatangan Kristus kedua kalinya. Eskatolgi oleh Moltmann
ditafsirkan sebagai keterbukaan kepada masa yang akan dtang, kebebsan masa yang
akan datang. Masa mendatang adalah suatu yang tidak dikenal baik oleh manusia
maupun Allah. Orang Kristen injili menghubungkan dengan erat kebangkitan
Kristus dan ekatologi. Kristus yang sudah bangkit adalah “buah sulung
kebangkitan”. Kematian dan kebangkitan Kristus adalah jaminan Allah akan
kebangkitan yang akan datang, permulaan daripada kebangkitan akhir, yaitu
sebuah fakta sejarah yang member makna pada masa depan. Tetapi menurut Moltmann
tidak hanya kebangkitan tubuh Kristus terjadi dalam sejarah. Dalam kekritenan
tradisional kebangkitan Kristus adalah dasar dalam sejarah bagi kebangkitan
akhir, kebangkitan akhir merupakan dasar kebangkitan Yesus.[8]
Moltmann
membalikkan kristologi Pannienberg dan pendekatanya. Kristologi Pannienberg
suatu kristologi dari bawah, agak berat sebelah dan terlalu optimis. Pannienberg
menonjolkan kebangkitan Yesus sebagai peristiwa yang memutuskan. Tetapi
sebenarnya hanya sehubungan dengan pernyataan. Sebab kebangkitan hanya
menyingkapkan apa yang sudah terkandung dalam Yesus di dunia. Kebangkitan
bukanlah sesuatu yang serba baru, yang menambah sesuatu. Dengan tekanannya pada
kebangkitan Pamienberg juga mengaburkan makna khusus kematian Yesus di salib.
Kematian itu dalam pendekatan Pamienberg hanya suatu "peralihanan,"
yang kalau tidak ada tidak berubah apa-apa. Moltman agak sehaluan dengan
tradisi Reformasi dan pemikiran K. Barth. Dalam kristologi (dari alas)
ditekankan segi soteriologis. Tentu saja soteriologi mengandaikan kristologi,
tetapi minat Moltmami tertarik oleh yang pertama. Moltmann tidak menyusun kristologi
soteriologinya sekitar "Firman Allah," Yesus Kristus sebagai penyataan
Allah (Barth. Pannienberg). Tekanan terletak pada kematian Yesus, yang sudah barang
tentu tidak terlepas dari kebangkitan. Kedua ini menjadi satu peristiwa
penyelamatan. Moltmann tidak terlalu merepotkan diri dengan masalah
historisitas Yesus. Historisitas serta hal ihwal Yesus dalam garis-garis
besarnya diterima seperti diwartakan Perjanjian Baru. Itu menjadi prasyarat
untuk pemikiran lebih lanjut. Pikiran Moltmann itu berpusatkan penderitaan dan
kematian Yesus di salib. Itulah yang menjadi pokok inti iman Kristen. Dililiat
daii sisi manusia Yesus dibunuh oleh karena tidak dapat menyesuaikan diri
dengan tuntutan masyarakat sosio-religius di zamannya. Dan semua orang yang
percaya kepada Yesus Kristus pun tidak pemah dapat menyesuaikan drii. berarti:
mereka harus menderita sebagai pengikut Yesus dan menjadi dinamika yang
mengubah masyarakat menuju ke akhir yang melampaui dunia, tetapi sekaligus
diantisipasikan di dalam dunia yang berisikan penderitaan. kegagalan dan
kematian.
Keberatan
Moltmann terhadap para ahli tafsir (umpamanya, J. Weiss dan A. Schweitszer) dan
para ahli dogmatik (umpamanya, K. Barth dan R. Bultmann) hingga kini bahwa
mereka banyak berbicara tentang sifat eskatologis Perjanjian Baru, tetapi tidak
berbuat apa-apa terhadap harapan iman kristiani akan masa depan itu. Moltmann
menghendaki supaya teologi berbicara tentang Allah secara eskatologis. Ia
meninggalkan cara menggambarkan Allah sebagai Tokoh yang kekal, yang tanpa
bergerak berada di tempat yang tinggi, atau menggambarkan Allah sebagai Yang
Terdalam dari manusia. Sebab Allah bukan berada di tempat yang tinggi atau berada
di tempat yang terdalam, melainkan la berjalan mendului kita, serta dari depan
menarik kita menuju masa depan. Allah mendahului perjalanan hidup kita. lalah
Allah Keluaran (Allah-Exodus), Allah yang membebaskan kita dari segala kuasa.
lalah Allah sejarah, Allah yang membangkitkan kita dari antara orang mati. Ialah
Allah masa depan, Allah yang mengajar kita berharap.[9]
Hanya
yang menderita dan mati di salib itu bukanlah seorang manusia belaka. meskipun
seorang manusia tinggal sekali pun; bukan suatu "idea" atau doktrin.
Yang menderita dan mati itu ialah Anak Allah yang sesungguhnya. Moltmami tetap
mempertahankan ajaran tradisional bahwa Yesus sungguh-siuigguh manusia dan
sungguh-sungguh Allah. Nanum Moltmami seperti sekian banyak teolog berkeberatan
terhadap minus tentang adanya "dua kodrat" pada Yesus yang hanya
satu. Sebab, menurut Moltmann, implikasi ajaran itu ialah: Yang menderita dan
mati hanyalah kemanusiaan. sehingga Allah tidak tersentuh. Menumt Moltmann
orang mesti berkata bahwa dalam manusia Yesus Allah sendiri menderita dan mati.
Dan kematian Yesus dan kematian Allah sertanya benar-benar kematian mutlak.
Yesus Allah ditinggalkan Allah, ditolak Allah, mengalami neraka (seperti dalam
tradisi Refomasi suka dikatakan). Dengan taat dan rela Yesus menyeralikan diri
kepada Allah, tetapi oleh Allah ditolak. Dengan demikian Moltmann secara
teologis memempatkan penderitaan dan kematian ini di dalam Allah sendiri. Allah
menjadi suatu paradoks di dalam diri-Nya. Allah menjadi nyata sebagai Allah
"sub contrario." Menurut Moltmann salib Yesus menyatakan Allah lain
daripada Allah yang barangkali ditemukan filsafat dan Allah lain daripada Allah
seperti lazimnya dipahami dalam tradisi Kristen. Allah filsafat dan Allah
tradisi itu ialah: Allah yang tidak berubah. yang tetap satia, tidak dapat
menderita, tidak dapat mati, Allah kekal tak terubah. Tetapi Allah menurut inilah
Kristen yang terungkap dalam Perjanjian Baru ialah Allah yang benar-benar
menjadi senasib dengan manusia sampai akhir. Moltmann sangat menekankan bahwa
diri Yesus menjadi inti imin Kristen. bukan "die Sache Jesu"
(Marxsen. apa yang diperjuangkan dan diajarkan Yesus. relasi dengan Yesus).
Bersama dengan diri Yesus juga "die Sache Jesu" mengalami kegagalan
total. Tetapi tanpa kebangkitan penderitaan dan kematian Yesus tidak bermakna
dan hanya menjadi kegagalan belaka. Di lain pihak kebangkitan itu tidak
membatalkan penderitaan dan kematian. Itu tetap suatu realitas yang oleh
kebangkitan seolah-olah diabadikan. Kebangkitan itu menyatakan siapa yang
menderita dan mati di salib, memberi kematian di salib makna penyelamatan dan
menjadikan peristiwa penyelamatan itu definitif. Dalam kebangkitan menjadi
jelas bahwa kematian Yesus, kematian orang berdosa, nyatanya kematian untuk
orang berdosa. Padahal kebangkitan Yesus menjadi kebangkitan manusia Yesus mendahului
kebangkitan kita, manusia berdosa. Berkat kebangkitan kematian Yesus nyatanya
mempunyai makna dan daya penyelamatan. Tetapi juga sebaliknya: berkat kematian
Yesus kebangkitan-Nya mempunyai makna penyelamatan. Kedua peristiwa itu saling
melengkapi dan saling membutulkan. Kematian Yesus seolah-olah suatu kekeliruan
dari pihak manusia yang membunuh Allah. Kekeliruan itu oleh Allah dibetulkan
dengan membangkitkan Yesus. Sasaran utama iman Kristen ialah Yesus, Anak Allah,
yang tetap Yesus yang disalibkan dan dibangkitkan.
Gagasan
yang demikian itu terdapat juga di dalam Perjanjian Baru. Di sini jelas,
demikian menurut Moltmann bahwa Allah itu Allah yang membangkitkan dari antara
orang mati. Kitab Perjanjian Baru menceritakan bahwa sesudah Paskah para murid
mengenal Yesus sebagai Yang Dulu disalibkan. Mereka bersaksi dan mem-beritakan
identitas yang ada antara Yang Bangkit dan Yang Disalibkan. Salib mempunyai
unsur historis (kejadian yang terjadi di dalam sejarah), sedang kebangkitan mempunyai
unsur eskatologis. Bagaimana kedua unsur yang tidak sama ini dapat dihubungkan
di dalam pemberitaan Paskah? Jadi sebenarnya, menurut Moltmann, cerita-cerita
Paskah tidak berlagak mengemukakan "apakah kebangkitan dari antara orang
mati" itu, juga tidak berlagak menguraikan "apakah sebenarnya yang
terjadi" di dalam kebangkitan Yesus itu. Cerita-cerita itu sebenarnya
hanya menyimpulkan dari dua pengalaman, yaitu pengalaman pada waktu penyaliban
dan pengalaman dalam penampakan-penampakan Yesus. Pengalaman dalam penyaliban
Yesus bagi mereka berarti pengalaman yang menunjukkan betapa duta Allah (Yesus)
ditinggalkan oleh Allah, atau betapa Allah juga ditimpa oleh kesia-siaan atau
ketiadaan yang mutlak. Pengalaman dalam penampakan-penampakan Yesus yang telah
disalib yang tampak sebagai Tuhan yang telah hidup, bagi mereka berarti, bahwa
yang telah ditinggalkan Allah itu ternyata dekat dengan Allah, atau
penampakan-penampakan itu mewujudkan penyataan atau pengungkapan ketuhanan
Allah di dalam Kristus yang telah disalibkan dan mati, atau juga dengan
penampakan-penampakan itu suatu hal yang baru sama sekali telah meniadakan apa
yang sia-sia atau apa yang kosong secara radikal. Namun, keduanya perlu
disatukan. Menurut para murid, kesatuannya terdapat di dalam apa yang terjadi
di antara kedua macam pengalaman tadi, yang "disebut pembangkitan orang
mati". Padahal "pembangkitan dari antara orang mati" itu adalah
suatu ungkapan eskatologis. Oleh karena itu, kejadian di antara penyaliban dan
penampakan-penampakan Yesus itu sebenarnya suatu kejadian eskatologis. Sebagai
kejadian eskatologis kebenarannya akan dibuktikan kelak pada akhir zaman.
Dengan ungkapan eskatologis itu para murid tidak bermaksud menceritakan apa
yang telah terjadi, tetapi mengungkapkan harapan eskatologis. Demikianlah di
dalam Perjanjian Baru, Allah telah memperkenalkan diri-Nya di dalam kebangkitan
Yesus. Penyataan atau wahyu Allah di dalam kebangkitan Yesus itulah suatu hal
yang baru sama sekali di dalam sejarah. Dengan penyataan yang demikian itu,
menurut Moltmann, Allah telah meng-hadirkan secara fragmentaris penyataan atau
wahyu-Nya yang terakhir, yang kelak akan diungkapkan di dalam kemuliaan
kerajaan-Nya, serta yang kini meraberi perwujudan pendahuluan dari penyataan
atau wahyu-Nya yang terakhir itu dalam bentuk janji. Oleh karena itu, hakikat
Allah sebenarnya tidak diuraikan dengan ketentuan-ketentuan metafisis yang
tradisional. Sebab penyataan atau pengungkapan diri Allah itu dipandang dari
segi yang baru sama sekali di dalam sejarah yang akan terjadi yang terakhir.
Masa depan Allah ini harus diteguhkan sebagai kedatangan (adventus) atau
sebagai kehadiran Qmrousia). Hakikat Allah tidak terletak di dalam proses
terjadinya dunia, tetapi di dalam parousia, di dalam kedatangan-Nya yang
sekarang dan di dalam kehadiran-Nya yang akan datang. Masa depan diharapkan
dari Allah, sebagai kuasa yang menjadikan segala sesuatu menjadi baru serta
mengubah bentuk segala sesuatu. Jika masa depan dipandang sebagai cara Allah berada,
hal itu berarti, bahwa Allah masa depan itu berbuat terhadap masa kini dan masa
yang lampau. Bahwa sekarang Allah belum menyatakan atau mengungkapkan diri
sepenuhnya, hal itu disebabkan kini Allah belum memenuhi seluruh apa yang telah
la janjikan. Apa yang akan mengungkapkan ketuhanan Allah ialah penjadian segala
sesuatu menjadi baru, waktu kemuliaan dan kasih-Nya berada di dalam segala
sesuatu yang ada. Hakikat Allah ialah janji-Nya yang diberikan di dalam
sejarah, kesatuan dan kekuasaan yang dengan-Nya la memenuhi janji-janji-Nya dan
pemenuhan janji-janji itu di masa depan.
Pokok
iman itulah menjadi dasar pengharapan yang tak tergoncangkan. Eksistenisi
manusia tidak dapat tidak mengalami kegagalan (kematian) dan dari dalam tidak
mempunyai makna sama sekali (sepeiti juga dikatakan oleh eksistensialis ateis
dari Francis, Sartre. Camus). Tetapi dalam eksistensi dan hal iliwal Yesus
tersingkap mana makna dan bagaimana eksistensi manusia bennakna. Dengan
pendekatamiya itu Moltmann mengangkat kembali dan dengan caranya sendiri mau
memecahkan suatu masalah yang sejak abad EI sudah ada. Soalnya sebagai berikut:
Bagaimana dapat dipikirkan sekaligus: Allah (Anak Allah. Firman Allah yang
sehakikat dengan Bapa) dan manusia (kemanusiaan) real dan historis, khususnya dalam
penderitaan dan kematian real. Problem itu ialah masalah "kenosis"
Allah (bandingkan dengan Flp 2:5-11). Di kalangan Refomiasi khususnya di
Inggris, masalah itu hangat diperdebatkan selama abad XK dan pada awal abad XX
(Misalnya: A. Fairbaim, Chrisin modem Theology. 1893; Ch. Gore. Bampton
Lecture. 1891: F. Westton. The One Christ, 1907). Di Jerman pun masalah
"kenosis" itu hangat diperdebatkan. kliususnya sehubungan dengan kritikD.
E Strauss. Tokoh penting dalam debat itu ialah G. Tliomasius (± 1875). Menurutnya
Anak Allah pra-existen (ialah kehendak Allah) dalam inkarnasi menjadi terbatas
dalam ciri-ciri yang menyangkut dunia, sehingga misalnya tidak lagi menjadi
pengantara penciptaan. W. F Gess (± 1891) inilah berkata bahwa Finnan Allah
meninggalkan semua ciri ilahi dan berubah menjadi manusiawi. Usaha untuk
memecahkan soal itu sebenamya kurang berhasil. Namun. perdebatan itu
menyadarkan kembali masalah yang ada dan misteri dan tidak tertembus. Moltmann
sekali lagi berusaha dan boleh dikatakan ia membuka jalan baru, justu dengan
meninggalkan paham lama tentang Allah yang tidak berunah dan tidak terkena oleh
penderitaan dan kematian Yesus di salib. Di lin pihak pendekatan Moltmann
mendapat juga cukup banyak kritik, sehiingga masalah belum juga dipecahkan.
Nampaknya bahwa, menumt Moltmann. Allah sendiri menyalibkan Yesus. [10]
Manusia tidak seharusnya secara
pasif menanti masa depan tetapi harus ikut aktif berperan serta dalam
masyarakat. Tugas gereja adalah menyampaikan beritanya sedemikian rupa sehingga
pada masa kini, masa mendatang dapat menggenggam setiap orang dan
mengarahkannya dan mengambil tindakan yang mennetukan untuk membentuk masa yang
akan datang. Tujuan dari gereja tidak untuk “melaporkan mengenai masa lalu
tetapi untuk mengubah masa yang akan datang. Masa kini sendiri tidaklah
penting. Apa yang penting ialah bahwa pada masa kini yang akan datanga
menggenggam setiap orang “ Manusia harus sadar akan kemungkinan-kemungkinan
“kemesiasan”nya.
Menurut Moltmann tidak ada bentuk-bentuk atau struktur yang mutlak
dalam dunia ini yang diberikan Allah pada penciptaan. Berlawanan dengan ajaran
Kristen tradisional Moltmann menegaskan bahwa Allah tidak menetapkan
peraturan-peraturan yang berotoritas mutlak, yang harus digunakan dalam
membentuk masa yang akan datang. Masa yang akan datang adalah kebebasan dan
kebebasan adalah relativitas. Tugas gereja adalah menjadi alat dan melalui alat
tersebut Allah akan membawa perdamaian sosial yang universal. Sebagaimana
seorang komentator tentang Moltmann “Kerajaan anugerah berubah menjadi kerajaan
kuasa yang universal”.[11]
Peran gereja dalam masyarakat menggunakan revolusi sebagai satu sarana yang
pantas, tetapi tidak perlu menjadi satu-satunya sarana. Dan dalam dorongan
revolusioner yang menuju ke masa depan ini, “masalah memakai kekerasan atau
tidak” disebut “masalah bersifat khayalan”,yang ada hanyalah pertanyaan tentang
penggunaan kekuatan yang dibenarkan dan yang tidak dibenarkan, serta pertanyaan
apakah sarana-sarananya sesuai dengan tujuannya.[12] Masa
yang akan datang dalam masyarakat maka kategori masa lampau dalam masyarakat
haruslah dibuang. Menurut Moltmann tidak ada bentuk-bentuk atau struktur yang
mutlak dalam dunia ini yang diberikan Allah pada penciptaan, sehingga
berlawanan dengan ajaran Kristen tradisional Moltmann.
Teologi sekuler dalam teologia
pengharapan terlihat pula kesadaran yang mendalam akan tanggung jawab gereja
terhadap dunia. Penganut-penganut Calvin dapat juga bersimpati dengan keinginan
Moltmann untuk melihat Alkitab dari awal sampai akhir sebagai satu kitab
eskatologis. Setiap konservatif akan pula menginsyafi kekeliruhan-kekeliruhan
yang mencolok dalam ajaran Moltmann dan kengerian yang mungkin dihasilkan oleh
pandangan etikanya.
1.
Moltmann berkarya dari praanggapan bahwa “teologi kalam” adalah
satu-satunya penunjuk yang “tepat” untuk teologia dialektik.[13]
Sebenarnya seperti didalihkan oleh Braaten, Moltmann membawa prinsip-prinsip
Barth lebih jauh.[14]
Barth telah memindahkan eskatologi ke wilayah di luar pengalaman manusia
melalui pemakaiannya akan dialektik Historie-Geschichte.
Moltmann membawa polemik yang menentang adanya wilayah sejarah yang
obyektif ini selangkah lebih jauh, menolak “sudah terjadinya” sejarah untuk
suatu pandangan sejarah yang ditelan oleh “belum terjadinya.” Jika praanggapan
Barth mengoyak kemungkinan akan adanya hubungan antara iman dan sejarah,
Moltmann telah lebih jauh mengoyak kemungkinan adanya sejarah itu sendiri.
Dialektika Kant yang diserang Moltmann dalam Barth justru telah berbalik pada
pandangannya sendiri.[15]
2.
Walaupun Moltmann menghiasi teologinya dengan idiom-idiom
Alkitabiah, yaitu “eskatologi” dan “kebangkitan” serta “penyempurnaan, “ namun
sistemnya jauh lebih berhutang kepada Marxisme daripada kepada Kristus. Dan
sekali lagi keserasian paham dialektik yang membentuk inti Marxismes akan
menemui titik-titik kontak dengan konsep kebenarang dialektis yang membentuk
corak nada baru neo-ortodoksi Moltmann.
3.
Pandangan ekstologi Moltmann kehilangan pusat alkitabiahnya. Pusat
tersebut adalah kedatangan Allah di dalam Kristus untuk menyelamatkan umat-Nya.
Ketika Yesus mati dan bangkit kembali tahun 1900 tahun yang lampau “hari-hari
terakhir” mulailah (Kis. 2:17; Ib. 1:2; 1 Yoh. 2:18). Suatu hari kelak, ketika
Yesus kembali di atas awan-awan kemuliaan, maka penyempurnaan hari-hari akhir
itu pun terjadilah. Tetapi kita tidak menemukan Kristus pada pusat eskatologi
Moltmann. Eskatologinya adalah berpusatkan pada manusia, dengan manusia yang
memandang pada masa depan. Karena itu, para kritikus dengan bijaksana telah
menunjukkan bahwa lebih tepat bila gagasan Moltmann disebut sebagai
“futurologi” daripada “eskatologi”. Sasaran dari masa yang akan datang Moltmann
bukanlah pernyataan sepenuhnya dari kemuliaan Kristus, melainkan kebangunan
Utopia (keadaan yang sempurna) di muka bumi ini.
4.
Bagi Moltmann kerajaan Allah dihantar oleh politik dan revolusi.
Bagi rasul Paulus, Kerajaan Allah adalah, dan akan, didatangkan oleh
pemberitaan kuasa yang menyelamatkan dari Tuhan Yesus Kristus (Kis. 28:30-31).
Bagi Moltmann, kerajaan itu adalah sebagai realitas dunia yang jelas. Bagi
Kristus, Kerajaan Allah hanya dapat dimasuki melalui iman kepada-Nya (Yoh.
3:3,5) dan Kerajaan itu membawa damai, bukan revolusi (Rm. 14:17).
5.
Karena Moltmann membangun pada aksioma (ajaran dasar) filsafat
bahwa waktu adalah substansi realitas, maka ia harus membangun kembali Allah
yang cocok dengan konsep realitasnya yang sempit itu. Masa akan datang bukan
saja menjadi sesuatu yang tak diketahui bagi manusia. Tetapi juga menjadi
sesuatu yang tak diketahui oleh Allah. Allah, menurut Moltmann, tidak lagi yang
akan datang, dihanyutkan oleh gerakan waktu. Di gunung sinai, Allah berkata
kepada Musa, “Aku adalah Aku.” Moltmann tidak membiarkan Allah mengatakan
demikian kepadanya.[16]
Inti
teologi harapan Moltmann ialah teologi politika, yaitu teologi yang pada
hakikatnya mewujudkan praktik dan perealisasi-an pengutusan Kristus di dalam
dunia mi. Pengertian "politik" di sini diambil dalam artinya yang
seluas-luasnya, yang di dalamnya mengandung nasib manusia dan alam semesta.
Oleh karena itu, kawasan politik ialah daerah yang luas, tempat kemungkinan-kemungkinan
yang membangun dan yang merusak dana-dana serta pemanfaatannya dari kuasa-kuasa
alam semesta dan hubungan-hubungan manusia oleh masyarakat manusia. Teologi
kristiani dipanggil untuk menanyakan efek-efek sosial dan politik apa yang
harus dibicarakan secara teologis dalam membicarakan Allah di dalam situasi
yang khususan pengutusan Kristus di dalam dunia ini. Kriteria bagi iman dan
teologi ialah praktik. Sehingga eskatologi kristiani bukan hanya bersikap
menerima dan pasif, melainkan juga harus memiliki harapan yang produktif dan
yang dapat mengubah bentuk-bentuk bagi masa depan. Pengutusan kristiani tidak
akan direalisasikan dalam pemenungan. Pengutusan kristiani tidak hanya berarti
menunggu-nunggu kedatangan Kerajaan Allah dengan membiarkan keadaan masa kini
dalam keadaan seperti ada-nya. Pengutusan itu tidak berarti memimpikan masa
depan, dengan mengosongkan masa kini. Pengutusan itu menarik harapan masa depan
ke dalam kesengsaraan masa kini dan memakainya dalam inisiatif-inisiatif yang
praktis guna mengatasi kesengsaraan mi. Hanya dengan cara inilah para orang
percaya akan mengerti dirinya sebagai teman sekerja Allah dan sebagai
pekerja-pekerja yang mem-bangun masa depan, jadi bukan hanya sebagai para
penafsir masa depan.[17]
BAB III
PENUTUP
Teologi
Pengharapan dari Moltmann dapat dirangkum sebagai berikut: Allah adalah bagian
dari proses waktu dan bergerak ke arah masa depan. Karena itu Allah tidak
Absolut, tetapi Ia sedang berjalan ke arah masa yang akan datang, dimana
janji-janji-Nya akan digenapi. Masa depan merupakan natur esensi dari Allah.
Kebangkitan Yesus Kristus sebagai peristiwa sejarah adalah tidak penting.
Kepentingan dari kebangkitan Kristus adalah eskatologikal dan harus dipandang
dari masa depan, karena hal itu memberikan suatu pengharapan bagi kebangkitan
umum di masa depan. Jangan melihat dari masa depan dari kuburan yang kosong.
Moltmann mengusulkan untuk melihat ke masa depan yang disahkan oleh kebangkitan
Kristus. Manusia juga harus dilihat dari sudut pandang masa depan, “manusia
dapat dipahami, hanya dalam kaitan dengan referensi pada suatu sejarah yang
tidak damai, dan terus menerus menguak sejarah dalam relasi dengan masa depan
Allah.”
Solusi
bagi manusia adalah mengasosiasikan dirinya dengan Allah “yang menyingkapkan
diri-Nya, pada saat manusiaa direndahkan dan dilecehkan.” Moltmann menyebut hal
itu sebagai teologi salib. Manusia berbagi dalam teologi salib ini dengan
menerima tantangan hidup sebagai saat masa depan yang masuk ke masa sekarang.
Manusia harus secara aktif berperan serta dalam masyarakat untuk menghasilkan
perubahan-perubahan. Gereja-gereja suku, kelas sosial, status dan nasional’
harus dihapuskan. Gereja memiliki kemampuan untuk membentuk masa depan dan
harus dapat membawa berita yang mengubah masyarakat. Gereja harus melihat lebih
jauh dari keselamatan pribadi dan menantang semua penghalang dan struktur di
antara orang-orang yang berbeda. Gereja merupakan alat untuk Allah membawa
perubahan dan rekonsiliasi antara yang kaya dan yang miskin, antara suku-suku
dan struktur-struktur yang palsu. Revolusi dapat menjadi salah satu cara yang dipakai
gereja untuk mengakibatkan perubahan.
Moltmann
berdasarkan penekanannya pada masa depan, menyangkali sejarah yang umum dan
normal. Ia menolak signifikansi dan kehistorisan kebangkitan Yesus Kristus.
Dalam usaha menyejajarkan sejarah dan eskatologi, ia meyangkali arti sebenarnya
dari sejarah dan peristiwa-peristiwa sejarah. Dalam konsepnya tentang Allah,
Moltmann menyangkali ketidakberubahan Allah (Mal. 3:6) dan mengusulkan Allah
yang tidak absolut, “tetapi yang sedang begerak ke masa depan.”
[1]
Wisma Padia, Isu-isu Kristologi Kontemporer, (Sekolah Tinggi Theology Injil Philadelphia),
55-56.
[2]Celia Deane- Drummod, Teologi dan ekologi (Jakarta: Gunung
Mulia, 2006), 132
[3]
Harvie M. Conn, Teologi Kontemporer, (Malang: Literatur
SAAT, 2012), 96-97.
[4]
Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris abad ke 20 (Jakarta:
Gunung Mulia, 2004), 135.
[5]
Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris abad ke 20 (Jakarta:
Gunung Mulia, 2004), 136.
[6] Jurgen Moltmann, The Theology of Hope (New York: Harper
and Row, 1967), 29-42.
[7]
Harvie M. Conn, Teologi Kontemporer, (Malang: Literatur
SAAT, 2012), 98.
[8] Jurgen Moltmann, Religions, Revolution and the Future (New
York: Charles Scribner’s Sons, 1969), 52.
[9]
Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris abad ke 20 (Jakarta:
Gunung Mulia, 2004), 136.
[10]
Wisma Padia, Isu-isu Kristologi Kontemporer, (Sekolah Tinggi Theology Injil Philadelphia),
55-56.
[11] David Scaer, op. Cit., 76.
[12] Moltmann, op. Cit., 143.
[13] Disebut dalam James M. Robinson
dan John B. Cobb, Jr., Theology as
History (New York: Harper and Row, 1967) 17.
[14] Carl Braaten, History and Hermeneutcs, op. Cit., 178.
[15] Van Till, The Great Debate Today, op. Cit,
202-204.
[16] Harvie M. Conn, Teologi Kontemporer, (Malang: Literatur
SAAT, 2012), 103-104.
[17]Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris abad ke 20 (Jakarta:
Gunung Mulia, 2004), 138.