Instagram

Friday, February 19, 2016

Teologi Kontemporer

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BETHANY SURABAYA









Mata Kuliah: TEOLOGI KONTEMPORER
Dosen: Dr. Kanti Widiastuti



BAB I
PENDAHULUAN
            Teologi Kontemporer dalam arti yang sesungguhnya baru lahir pada tahun 1919 di suatu ruang belajar sebuah gereja di Swiss. Perintisnya adalah seorang pendeta muda, Karl Barth (1886-1968), yang sudah melayani di sana sejak 1911. Menifesto dari titik balik teologia baru dalam sejarah ini (yang merupakan pengumandangan awal dari suatu era teologi baru). Perubahan-perubahan arus teologia sejak tahun 1919 juga merupakan bagian dari lautan yang lebih luas, dan bahwa perbedaan antara teologia “modern” dengan teologia “kontemporer” kadang-kadang sedikit sekali dan lebih merupakan tekanan yang berbeda-beda yang berdasarkan pada praanggapan yang sama. Kant mensistematiskan “keyakinan manusia modern pada kemampuan rasio untuk menerangkan segala sesuatu yang ada di luarnya. Dengan demikian, ia menebarkan suatu bayangan bukan hanya pada abad ke-19, tetapi juga pada abad ke-20. Pada tahun 1784, Kant menyimpulkan tuntutan-tuntutan Pencerahan Baru ketika ia menjelaskan sebagai keluarnya manusia dari ketidakmatangan yang ia biarkan mengikat dirinya.
            Kant dan mental Pencerahan menjadikan kelepasan itu lebih dari sekadar suatu penyesuaian diri. Sejak Kant, sejarah pemikiran Barat dan teologi Barat adalah sejarah tentang bagaimana praanggapan religius ini yang dibangun di atas dasar yang diambil alih dari Kekristenan (meskipun sebenarnya saling bertentangan) membentuk suatu dunia yang baru. Mental Pencerahan menuntut kebebasan manusia yang sungguh merdeka, suatu alam yang otonom di mana fakta diceraikan dari arti sesungguhnya di dalam Allah, dan dengan demikian menjadi liar (brutalized). Bagi Kant, otonom ini berarti konsep-konsep Kristen tentang wahyu yang “otonom,” tentang Allah yang membuktikan sendiri keotentikan-Nya dan menyatakan diri-Nya melalui Alkitab, harus diganti dengan rasio manusia yang otonom. Efek dari semuanya itu cukup merusak. Allah dibelenggu oleh Kant di dalam suatu ruangan kedap suara, dihubungkan pada dunia fenomena (menurut Kant) hanya oleh “tali pusat” kebutuhan manusia akan konsep adanya Allah dalam dunia etika. Pintu ruangan itu tetap terbuka, tetapi begitu sempitnya sehingga Allah yang berdaulat, yang “ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci” (Yes. 6:1) tidak dapat menyelusup keluar.
            Hal yang sama pun berlaku bagi manusia. Karena ia sebenarnya tidak dapat memahami hal-hal sebagaimana adanya (baik dalam dunia fenomena maupun noumena), ia juga tidak dapat melalui pintu untuk mengenal Allah. Allah secara efektif telah diasingkan dari manusia, dan manusia pun diasingkan dari Allah. Pengasingan Allah ke dalam dunia noumena itu merupakan teman favorit teologi kontemporer. Hal itu diperkuat melalui tekanan tentang kebebasan yang semakin meningkat dari eksistensialisme, dan muncul dalam bentuk yang diperbaharui dalam tulisan awal Barth tentang Allah sebagai “yang mutlak berbeda” (the wholly other), sebagaioknum yang “tidak dapat dijelaskan sebagaimana benda dapat dijelaskan”. Teologi Pengharapan merupakan salah satu teologi kontemporer yang diperkenalkan melalui Moltmaan di satu segi mencela pandangan eskatologi Kristen yang tradisional yaitu gereja menantikan hadirnya Tuhan yang telah bangkit dalam sejarah di masa mendatanga, namun di segi lain ia berbicara tentang gereja yang berorinteasi pada masa mendatang.



BAB II
KAJIAN PUSTAKA
TEOLOGI PENGHARAPAN
Seorang tokoh lain yang amat memprihatinkan relevansi iman Kristen bagi "dunia" ialah J. Moltmann. Karya utamanya ialah: Theologie der Hoffiiung (1966): Der gekreuzigte Gott. Das Kreuz Cluisti als gnuid mid Kritik christilicher Tlieologie (1972) dan Trinitat mid Reich Gottes Zur Gottes lehre (1980). Sama seperti Pamienberg, demikian pun Moltmann peka terhadap kritik yang dilontarkan marksisnie terhadap agama pada umumnya dan khusus terhadap agama Kristen. Moltmann. Berdialog dengan neomarksis terkenal E. Bloch yang dalam karyanya "Das Piinzip Hof&iung (1967) menyajikan juga semacam "Yesuologi marksis".[1] Jurgen Moltmann adalah seorang teolog Protestan yang menjadi salah seorang pelopor teologi politis melalui Teologi Pengharapan. Teologi ini menantang struktur-struktur masyarakat dan memandang ke arah kerajaan masa depan yang membebaskan yang berasal dari suatu Allah masa depan. Ia mengakui bahwa teologi perlu berisikan tantangan terhadap struktur-struktur teknologis ilmiali dari masyarakat Barat. Ia percaya bahwa di dunia Barat struktur teknologi telah menjadi suatu perangkap baik bagi manusia maupun bagi ciptaan. Di masa lampau para teolog pembebasan cenderung memandang curiga gerakan hijau, meya-kini bahwa tugas pokok haruslah pembebasan manusia dan bukannya pelestarian spesies bukan manusia. Akan tetapi, dampak global dari krisis lingkungan dan hubungan yang saling terkait antara pembangunan dan lingkungan membawa pengertian bahwa kedua isu ini tidak bisa lagi ditanggapi secara terpisah. Dalam karya Moltmann yang paling baru, ia menekankan bagaimana teologi pengharapan secara langsung berisikan pembebasan atas planet yang sedang menderita dan sekarat, yang merupakan suatu contoh penindasan manusia yang par exelence (yang tak ada bandingannya). Dalam artian ini teologi politis menjadi teologi politis ekologis.[2] Pada tahun 1965, saat gencar-gencarnya gerakan “Allah mati”, ditengah ketakutan sementara orang akan kebangkitan atheism Kristen, terdengarlah di negeri Jerman suatu nada baru dari seorang professor teologia yang masih muda di Universitas Tubingen. Meskipun belum dapat disebut sebagai suatu aliran baru dalam dunia teologia. Teologia pengharapan mendapat perhatian secara luas di Asia. Menurut Moltmann meskipun dalam keadaan kesulitan dan kekecewaan terus menerus. “Harapan-harapan hancur terus menerus, sehingga Moltmann menghimbaukan agar mempunyai pengharapan.[3]
Tema teologi Moltmann, teologi harapan, bukanlah penemuan Moltmann sendiri. Telah dikemukakan bahwa teologi Pannenberg juga disebut teologi harapan. Kecuali Pannenberg memang masih ada lagi tokoh-tokoh lainnya yang mengembangkan teologi yang mengarah ke masa depan, yang semuanya bekerja hampir bersama-an waktunya dengan Moltmann. Tetapi memang teologi Moltmann tidak 100% sama dengan teologi harapan yang lain-lain itu. Di dalam bukunya yang kedua, Der gekreuzigte Gott (Allah yang Disalibkan) teologi harapan Moltmann disebut teologi salib.[4] Menurut Moltmann, para teolog hingga kini mempunyai suatu konsep penyataan atau wahyu yang dikuasai oleh pengertian Yunani tentang hakikat (ousia) dan firman (logos). Padahal yang Alkitabiah ialah jika konsep penyataan atau wahyu itu dikuasai oleh firman sebagai janji. Dengan ini Moltmann mengemukakan suatu konsep penyataan atau wahyu sebagai sejarah firman. Di sinilah letak perbedaan antara Moltmann dan Pannenberg, yang mengemukakan bahwa Allah menyatakan atau mengungkapkan diri di dalam akhir sejarah sebagai rangkuman seluruh sejarah. Juga di sini Moltmann berbeda dengan Bultmann, yang mengajarkan, bahwa firman yang diberitakan mengungkapkan historisitas eksistensi manusia. menurut moltmann, pertentangan di bidang penyataan atau wahyu antara firman dan sejarah ini hanya dapat dipecahkan oleh pandangan yang ketiga, yaitu pandangan tentang penyataan atau wahyu sebagai sejarah firman atau sejarah janji Allah. Penyataan atau wahyu yang dipandang sebagai sejarah firman atau sejarah janji Allah menampakkan bahwa penyataan atau wahyu itulah penyataan atau wahyu yang eskatologis.[5]
Kunci untuk mengerti “teologia futuristik”, menurut Moltmann ialah gagasannya bahwa Allah harus tunduk pada proses waktu. Dalam proses inilah tidaklah sepenuhnya Allah, karena Allah adalah satu bagian dari waktu yang sedang mendesak maju kemasa yang akan datang. Dalam kekristenan tradisional, Allah dan Yesus Kristus berdiri pertama-tama di luar waktu. Menurut dia, Allah Alkitab adalah Allah yang mempunyai “masa yang akan datang sebagai sifat-Nya yang hakiki.[6] Allah tidaklah menyatakan siapakah Ia, namun siapakah Ia kelak akan terjadi di masa yang akan datang. Allah hanya hadir dalam janji-janji-Nya hanya dalam pengharapan. Allah akan menjadi Allah kalau Ia memenuhi janji-janji-Nya dan dengan demikian mendirikan pemerintahan-Nya. Allah tidaklah absolute, Ia adalah Allah yang setiawan yang membuat janji-janji tentang masa akan datang dan Ia sendiri ditentukan oleh masa yang akan datang.[7]
Menurut Moltmann seluruh teologia Kristen harus dicetak dan dibentuk oleh eskatolgi. Eskatolgi dalam konsep Moltmann bukanlah penantian tradisional tentang kedatangan Kristus kedua kalinya. Eskatolgi oleh Moltmann ditafsirkan sebagai keterbukaan kepada masa yang akan dtang, kebebsan masa yang akan datang. Masa mendatang adalah suatu yang tidak dikenal baik oleh manusia maupun Allah. Orang Kristen injili menghubungkan dengan erat kebangkitan Kristus dan ekatologi. Kristus yang sudah bangkit adalah “buah sulung kebangkitan”. Kematian dan kebangkitan Kristus adalah jaminan Allah akan kebangkitan yang akan datang, permulaan daripada kebangkitan akhir, yaitu sebuah fakta sejarah yang member makna pada masa depan. Tetapi menurut Moltmann tidak hanya kebangkitan tubuh Kristus terjadi dalam sejarah. Dalam kekritenan tradisional kebangkitan Kristus adalah dasar dalam sejarah bagi kebangkitan akhir, kebangkitan akhir merupakan dasar kebangkitan Yesus.[8]
Moltmann membalikkan kristologi Pannienberg dan pendekatanya. Kristologi Pannienberg suatu kristologi dari bawah, agak berat sebelah dan terlalu optimis. Pannienberg menonjolkan kebangkitan Yesus sebagai peristiwa yang memutuskan. Tetapi sebenarnya hanya sehubungan dengan pernyataan. Sebab kebangkitan hanya menyingkapkan apa yang sudah terkandung dalam Yesus di dunia. Kebangkitan bukanlah sesuatu yang serba baru, yang menambah sesuatu. Dengan tekanannya pada kebangkitan Pamienberg juga mengaburkan makna khusus kematian Yesus di salib. Kematian itu dalam pendekatan Pamienberg hanya suatu "peralihanan," yang kalau tidak ada tidak berubah apa-apa. Moltman agak sehaluan dengan tradisi Reformasi dan pemikiran K. Barth. Dalam kristologi (dari alas) ditekankan segi soteriologis. Tentu saja soteriologi mengandaikan kristologi, tetapi minat Moltmami tertarik oleh yang pertama. Moltmann tidak menyusun kristologi soteriologinya sekitar "Firman Allah," Yesus Kristus sebagai penyataan Allah (Barth. Pannienberg). Tekanan terletak pada kematian Yesus, yang sudah barang tentu tidak terlepas dari kebangkitan. Kedua ini menjadi satu peristiwa penyelamatan. Moltmann tidak terlalu merepotkan diri dengan masalah historisitas Yesus. Historisitas serta hal ihwal Yesus dalam garis-garis besarnya diterima seperti diwartakan Perjanjian Baru. Itu menjadi prasyarat untuk pemikiran lebih lanjut. Pikiran Moltmann itu berpusatkan penderitaan dan kematian Yesus di salib. Itulah yang menjadi pokok inti iman Kristen. Dililiat daii sisi manusia Yesus dibunuh oleh karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat sosio-religius di zamannya. Dan semua orang yang percaya kepada Yesus Kristus pun tidak pemah dapat menyesuaikan drii. berarti: mereka harus menderita sebagai pengikut Yesus dan menjadi dinamika yang mengubah masyarakat menuju ke akhir yang melampaui dunia, tetapi sekaligus diantisipasikan di dalam dunia yang berisikan penderitaan. kegagalan dan kematian.
Keberatan Moltmann terhadap para ahli tafsir (umpamanya, J. Weiss dan A. Schweitszer) dan para ahli dogmatik (umpamanya, K. Barth dan R. Bultmann) hingga kini bahwa mereka banyak berbicara tentang sifat eskatologis Perjanjian Baru, tetapi tidak berbuat apa-apa terhadap harapan iman kristiani akan masa depan itu. Moltmann menghendaki supaya teologi berbicara tentang Allah secara eskatologis. Ia meninggalkan cara menggambarkan Allah sebagai Tokoh yang kekal, yang tanpa bergerak berada di tempat yang tinggi, atau menggambarkan Allah sebagai Yang Terdalam dari manusia. Sebab Allah bukan berada di tempat yang tinggi atau berada di tempat yang terdalam, melainkan la berjalan mendului kita, serta dari depan menarik kita menuju masa depan. Allah mendahului perjalanan hidup kita. lalah Allah Keluaran (Allah-Exodus), Allah yang membebaskan kita dari segala kuasa. lalah Allah sejarah, Allah yang membangkitkan kita dari antara orang mati. Ialah Allah masa depan, Allah yang mengajar kita berharap.[9]
Hanya yang menderita dan mati di salib itu bukanlah seorang manusia belaka. meskipun seorang manusia tinggal sekali pun; bukan suatu "idea" atau doktrin. Yang menderita dan mati itu ialah Anak Allah yang sesungguhnya. Moltmami tetap mempertahankan ajaran tradisional bahwa Yesus sungguh-siuigguh manusia dan sungguh-sungguh Allah. Nanum Moltmami seperti sekian banyak teolog berkeberatan terhadap minus tentang adanya "dua kodrat" pada Yesus yang hanya satu. Sebab, menurut Moltmann, implikasi ajaran itu ialah: Yang menderita dan mati hanyalah kemanusiaan. sehingga Allah tidak tersentuh. Menumt Moltmann orang mesti berkata bahwa dalam manusia Yesus Allah sendiri menderita dan mati. Dan kematian Yesus dan kematian Allah sertanya benar-benar kematian mutlak. Yesus Allah ditinggalkan Allah, ditolak Allah, mengalami neraka (seperti dalam tradisi Refomasi suka dikatakan). Dengan taat dan rela Yesus menyeralikan diri kepada Allah, tetapi oleh Allah ditolak. Dengan demikian Moltmann secara teologis memempatkan penderitaan dan kematian ini di dalam Allah sendiri. Allah menjadi suatu paradoks di dalam diri-Nya. Allah menjadi nyata sebagai Allah "sub contrario." Menurut Moltmann salib Yesus menyatakan Allah lain daripada Allah yang barangkali ditemukan filsafat dan Allah lain daripada Allah seperti lazimnya dipahami dalam tradisi Kristen. Allah filsafat dan Allah tradisi itu ialah: Allah yang tidak berubah. yang tetap satia, tidak dapat menderita, tidak dapat mati, Allah kekal tak terubah. Tetapi Allah menurut inilah Kristen yang terungkap dalam Perjanjian Baru ialah Allah yang benar-benar menjadi senasib dengan manusia sampai akhir. Moltmann sangat menekankan bahwa diri Yesus menjadi inti imin Kristen. bukan "die Sache Jesu" (Marxsen. apa yang diperjuangkan dan diajarkan Yesus. relasi dengan Yesus). Bersama dengan diri Yesus juga "die Sache Jesu" mengalami kegagalan total. Tetapi tanpa kebangkitan penderitaan dan kematian Yesus tidak bermakna dan hanya menjadi kegagalan belaka. Di lain pihak kebangkitan itu tidak membatalkan penderitaan dan kematian. Itu tetap suatu realitas yang oleh kebangkitan seolah-olah diabadikan. Kebangkitan itu menyatakan siapa yang menderita dan mati di salib, memberi kematian di salib makna penyelamatan dan menjadikan peristiwa penyelamatan itu definitif. Dalam kebangkitan menjadi jelas bahwa kematian Yesus, kematian orang berdosa, nyatanya kematian untuk orang berdosa. Padahal kebangkitan Yesus menjadi kebangkitan manusia Yesus mendahului kebangkitan kita, manusia berdosa. Berkat kebangkitan kematian Yesus nyatanya mempunyai makna dan daya penyelamatan. Tetapi juga sebaliknya: berkat kematian Yesus kebangkitan-Nya mempunyai makna penyelamatan. Kedua peristiwa itu saling melengkapi dan saling membutulkan. Kematian Yesus seolah-olah suatu kekeliruan dari pihak manusia yang membunuh Allah. Kekeliruan itu oleh Allah dibetulkan dengan membangkitkan Yesus. Sasaran utama iman Kristen ialah Yesus, Anak Allah, yang tetap Yesus yang disalibkan dan dibangkitkan.
Gagasan yang demikian itu terdapat juga di dalam Perjanjian Baru. Di sini jelas, demikian menurut Moltmann bahwa Allah itu Allah yang membangkitkan dari antara orang mati. Kitab Perjanjian Baru menceritakan bahwa sesudah Paskah para murid mengenal Yesus sebagai Yang Dulu disalibkan. Mereka bersaksi dan mem-beritakan identitas yang ada antara Yang Bangkit dan Yang Disalibkan. Salib mempunyai unsur historis (kejadian yang terjadi di dalam sejarah), sedang kebangkitan mempunyai unsur eskatologis. Bagaimana kedua unsur yang tidak sama ini dapat dihubungkan di dalam pemberitaan Paskah? Jadi sebenarnya, menurut Moltmann, cerita-cerita Paskah tidak berlagak mengemukakan "apakah kebangkitan dari antara orang mati" itu, juga tidak berlagak menguraikan "apakah sebenarnya yang terjadi" di dalam kebangkitan Yesus itu. Cerita-cerita itu sebenarnya hanya menyimpulkan dari dua pengalaman, yaitu pengalaman pada waktu penyaliban dan pengalaman dalam penampakan-penampakan Yesus. Pengalaman dalam penyaliban Yesus bagi mereka berarti pengalaman yang menunjukkan betapa duta Allah (Yesus) ditinggalkan oleh Allah, atau betapa Allah juga ditimpa oleh kesia-siaan atau ketiadaan yang mutlak. Pengalaman dalam penampakan-penampakan Yesus yang telah disalib yang tampak sebagai Tuhan yang telah hidup, bagi mereka berarti, bahwa yang telah ditinggalkan Allah itu ternyata dekat dengan Allah, atau penampakan-penampakan itu mewujudkan penyataan atau pengungkapan ketuhanan Allah di dalam Kristus yang telah disalibkan dan mati, atau juga dengan penampakan-penampakan itu suatu hal yang baru sama sekali telah meniadakan apa yang sia-sia atau apa yang kosong secara radikal. Namun, keduanya perlu disatukan. Menurut para murid, kesatuannya terdapat di dalam apa yang terjadi di antara kedua macam pengalaman tadi, yang "disebut pembangkitan orang mati". Padahal "pembangkitan dari antara orang mati" itu adalah suatu ungkapan eskatologis. Oleh karena itu, kejadian di antara penyaliban dan penampakan-penampakan Yesus itu sebenarnya suatu kejadian eskatologis. Sebagai kejadian eskatologis kebenarannya akan dibuktikan kelak pada akhir zaman. Dengan ungkapan eskatologis itu para murid tidak bermaksud menceritakan apa yang telah terjadi, tetapi mengungkapkan harapan eskatologis. Demikianlah di dalam Perjanjian Baru, Allah telah memperkenalkan diri-Nya di dalam kebangkitan Yesus. Penyataan atau wahyu Allah di dalam kebangkitan Yesus itulah suatu hal yang baru sama sekali di dalam sejarah. Dengan penyataan yang demikian itu, menurut Moltmann, Allah telah meng-hadirkan secara fragmentaris penyataan atau wahyu-Nya yang terakhir, yang kelak akan diungkapkan di dalam kemuliaan kerajaan-Nya, serta yang kini meraberi perwujudan pendahuluan dari penyataan atau wahyu-Nya yang terakhir itu dalam bentuk janji. Oleh karena itu, hakikat Allah sebenarnya tidak diuraikan dengan ketentuan-ketentuan metafisis yang tradisional. Sebab penyataan atau pengungkapan diri Allah itu dipandang dari segi yang baru sama sekali di dalam sejarah yang akan terjadi yang terakhir. Masa depan Allah ini harus diteguhkan sebagai kedatangan (adventus) atau sebagai kehadiran Qmrousia). Hakikat Allah tidak terletak di dalam proses terjadinya dunia, tetapi di dalam parousia, di dalam kedatangan-Nya yang sekarang dan di dalam kehadiran-Nya yang akan datang. Masa depan diharapkan dari Allah, sebagai kuasa yang menjadikan segala sesuatu menjadi baru serta mengubah bentuk segala sesuatu. Jika masa depan dipandang sebagai cara Allah berada, hal itu berarti, bahwa Allah masa depan itu berbuat terhadap masa kini dan masa yang lampau. Bahwa sekarang Allah belum menyatakan atau mengungkapkan diri sepenuhnya, hal itu disebabkan kini Allah belum memenuhi seluruh apa yang telah la janjikan. Apa yang akan mengungkapkan ketuhanan Allah ialah penjadian segala sesuatu menjadi baru, waktu kemuliaan dan kasih-Nya berada di dalam segala sesuatu yang ada. Hakikat Allah ialah janji-Nya yang diberikan di dalam sejarah, kesatuan dan kekuasaan yang dengan-Nya la memenuhi janji-janji-Nya dan pemenuhan janji-janji itu di masa depan.
Pokok iman itulah menjadi dasar pengharapan yang tak tergoncangkan. Eksistenisi manusia tidak dapat tidak mengalami kegagalan (kematian) dan dari dalam tidak mempunyai makna sama sekali (sepeiti juga dikatakan oleh eksistensialis ateis dari Francis, Sartre. Camus). Tetapi dalam eksistensi dan hal iliwal Yesus tersingkap mana makna dan bagaimana eksistensi manusia bennakna. Dengan pendekatamiya itu Moltmann mengangkat kembali dan dengan caranya sendiri mau memecahkan suatu masalah yang sejak abad EI sudah ada. Soalnya sebagai berikut: Bagaimana dapat dipikirkan sekaligus: Allah (Anak Allah. Firman Allah yang sehakikat dengan Bapa) dan manusia (kemanusiaan) real dan historis, khususnya dalam penderitaan dan kematian real. Problem itu ialah masalah "kenosis" Allah (bandingkan dengan Flp 2:5-11). Di kalangan Refomiasi khususnya di Inggris, masalah itu hangat diperdebatkan selama abad XK dan pada awal abad XX (Misalnya: A. Fairbaim, Chrisin modem Theology. 1893; Ch. Gore. Bampton Lecture. 1891: F. Westton. The One Christ, 1907). Di Jerman pun masalah "kenosis" itu hangat diperdebatkan. kliususnya sehubungan dengan kritikD. E Strauss. Tokoh penting dalam debat itu ialah G. Tliomasius (± 1875). Menurutnya Anak Allah pra-existen (ialah kehendak Allah) dalam inkarnasi menjadi terbatas dalam ciri-ciri yang menyangkut dunia, sehingga misalnya tidak lagi menjadi pengantara penciptaan. W. F Gess (± 1891) inilah berkata bahwa Finnan Allah meninggalkan semua ciri ilahi dan berubah menjadi manusiawi. Usaha untuk memecahkan soal itu sebenamya kurang berhasil. Namun. perdebatan itu menyadarkan kembali masalah yang ada dan misteri dan tidak tertembus. Moltmann sekali lagi berusaha dan boleh dikatakan ia membuka jalan baru, justu dengan meninggalkan paham lama tentang Allah yang tidak berunah dan tidak terkena oleh penderitaan dan kematian Yesus di salib. Di lin pihak pendekatan Moltmann mendapat juga cukup banyak kritik, sehiingga masalah belum juga dipecahkan. Nampaknya bahwa, menumt Moltmann. Allah sendiri menyalibkan Yesus. [10]
            Manusia tidak seharusnya secara pasif menanti masa depan tetapi harus ikut aktif berperan serta dalam masyarakat. Tugas gereja adalah menyampaikan beritanya sedemikian rupa sehingga pada masa kini, masa mendatang dapat menggenggam setiap orang dan mengarahkannya dan mengambil tindakan yang mennetukan untuk membentuk masa yang akan datang. Tujuan dari gereja tidak untuk “melaporkan mengenai masa lalu tetapi untuk mengubah masa yang akan datang. Masa kini sendiri tidaklah penting. Apa yang penting ialah bahwa pada masa kini yang akan datanga menggenggam setiap orang “ Manusia harus sadar akan kemungkinan-kemungkinan “kemesiasan”nya.
Menurut Moltmann tidak ada bentuk-bentuk atau struktur yang mutlak dalam dunia ini yang diberikan Allah pada penciptaan. Berlawanan dengan ajaran Kristen tradisional Moltmann menegaskan bahwa Allah tidak menetapkan peraturan-peraturan yang berotoritas mutlak, yang harus digunakan dalam membentuk masa yang akan datang. Masa yang akan datang adalah kebebasan dan kebebasan adalah relativitas. Tugas gereja adalah menjadi alat dan melalui alat tersebut Allah akan membawa perdamaian sosial yang universal. Sebagaimana seorang komentator tentang Moltmann “Kerajaan anugerah berubah menjadi kerajaan kuasa yang universal”.[11] Peran gereja dalam masyarakat menggunakan revolusi sebagai satu sarana yang pantas, tetapi tidak perlu menjadi satu-satunya sarana. Dan dalam dorongan revolusioner yang menuju ke masa depan ini, “masalah memakai kekerasan atau tidak” disebut “masalah bersifat khayalan”,yang ada hanyalah pertanyaan tentang penggunaan kekuatan yang dibenarkan dan yang tidak dibenarkan, serta pertanyaan apakah sarana-sarananya sesuai dengan tujuannya.[12] Masa yang akan datang dalam masyarakat maka kategori masa lampau dalam masyarakat haruslah dibuang. Menurut Moltmann tidak ada bentuk-bentuk atau struktur yang mutlak dalam dunia ini yang diberikan Allah pada penciptaan, sehingga berlawanan dengan ajaran Kristen tradisional Moltmann.
            Teologi sekuler dalam teologia pengharapan terlihat pula kesadaran yang mendalam akan tanggung jawab gereja terhadap dunia. Penganut-penganut Calvin dapat juga bersimpati dengan keinginan Moltmann untuk melihat Alkitab dari awal sampai akhir sebagai satu kitab eskatologis. Setiap konservatif akan pula menginsyafi kekeliruhan-kekeliruhan yang mencolok dalam ajaran Moltmann dan kengerian yang mungkin dihasilkan oleh pandangan etikanya.
1.      Moltmann berkarya dari praanggapan bahwa “teologi kalam” adalah satu-satunya penunjuk yang “tepat” untuk teologia dialektik.[13] Sebenarnya seperti didalihkan oleh Braaten, Moltmann membawa prinsip-prinsip Barth lebih jauh.[14] Barth telah memindahkan eskatologi ke wilayah di luar pengalaman manusia melalui pemakaiannya akan dialektik Historie-Geschichte. Moltmann membawa polemik yang menentang adanya wilayah sejarah yang obyektif ini selangkah lebih jauh, menolak “sudah terjadinya” sejarah untuk suatu pandangan sejarah yang ditelan oleh “belum terjadinya.” Jika praanggapan Barth mengoyak kemungkinan akan adanya hubungan antara iman dan sejarah, Moltmann telah lebih jauh mengoyak kemungkinan adanya sejarah itu sendiri. Dialektika Kant yang diserang Moltmann dalam Barth justru telah berbalik pada pandangannya sendiri.[15]
2.      Walaupun Moltmann menghiasi teologinya dengan idiom-idiom Alkitabiah, yaitu “eskatologi” dan “kebangkitan” serta “penyempurnaan, “ namun sistemnya jauh lebih berhutang kepada Marxisme daripada kepada Kristus. Dan sekali lagi keserasian paham dialektik yang membentuk inti Marxismes akan menemui titik-titik kontak dengan konsep kebenarang dialektis yang membentuk corak nada baru neo-ortodoksi Moltmann.
3.      Pandangan ekstologi Moltmann kehilangan pusat alkitabiahnya. Pusat tersebut adalah kedatangan Allah di dalam Kristus untuk menyelamatkan umat-Nya. Ketika Yesus mati dan bangkit kembali tahun 1900 tahun yang lampau “hari-hari terakhir” mulailah (Kis. 2:17; Ib. 1:2; 1 Yoh. 2:18). Suatu hari kelak, ketika Yesus kembali di atas awan-awan kemuliaan, maka penyempurnaan hari-hari akhir itu pun terjadilah. Tetapi kita tidak menemukan Kristus pada pusat eskatologi Moltmann. Eskatologinya adalah berpusatkan pada manusia, dengan manusia yang memandang pada masa depan. Karena itu, para kritikus dengan bijaksana telah menunjukkan bahwa lebih tepat bila gagasan Moltmann disebut sebagai “futurologi” daripada “eskatologi”. Sasaran dari masa yang akan datang Moltmann bukanlah pernyataan sepenuhnya dari kemuliaan Kristus, melainkan kebangunan Utopia (keadaan yang sempurna) di muka bumi ini.
4.      Bagi Moltmann kerajaan Allah dihantar oleh politik dan revolusi. Bagi rasul Paulus, Kerajaan Allah adalah, dan akan, didatangkan oleh pemberitaan kuasa yang menyelamatkan dari Tuhan Yesus Kristus (Kis. 28:30-31). Bagi Moltmann, kerajaan itu adalah sebagai realitas dunia yang jelas. Bagi Kristus, Kerajaan Allah hanya dapat dimasuki melalui iman kepada-Nya (Yoh. 3:3,5) dan Kerajaan itu membawa damai, bukan revolusi (Rm. 14:17).
5.      Karena Moltmann membangun pada aksioma (ajaran dasar) filsafat bahwa waktu adalah substansi realitas, maka ia harus membangun kembali Allah yang cocok dengan konsep realitasnya yang sempit itu. Masa akan datang bukan saja menjadi sesuatu yang tak diketahui bagi manusia. Tetapi juga menjadi sesuatu yang tak diketahui oleh Allah. Allah, menurut Moltmann, tidak lagi yang akan datang, dihanyutkan oleh gerakan waktu. Di gunung sinai, Allah berkata kepada Musa, “Aku adalah Aku.” Moltmann tidak membiarkan Allah mengatakan demikian kepadanya.[16]

Inti teologi harapan Moltmann ialah teologi politika, yaitu teologi yang pada hakikatnya mewujudkan praktik dan perealisasi-an pengutusan Kristus di dalam dunia mi. Pengertian "politik" di sini diambil dalam artinya yang seluas-luasnya, yang di dalamnya mengandung nasib manusia dan alam semesta. Oleh karena itu, kawasan politik ialah daerah yang luas, tempat kemungkinan-kemungkinan yang membangun dan yang merusak dana-dana serta pemanfaatannya dari kuasa-kuasa alam semesta dan hubungan-hubungan manusia oleh masyarakat manusia. Teologi kristiani dipanggil untuk menanyakan efek-efek sosial dan politik apa yang harus dibicarakan secara teologis dalam membicarakan Allah di dalam situasi yang khususan pengutusan Kristus di dalam dunia ini. Kriteria bagi iman dan teologi ialah praktik. Sehingga eskatologi kristiani bukan hanya bersikap menerima dan pasif, melainkan juga harus memiliki harapan yang produktif dan yang dapat mengubah bentuk-bentuk bagi masa depan. Pengutusan kristiani tidak akan direalisasikan dalam pemenungan. Pengutusan kristiani tidak hanya berarti menunggu-nunggu kedatangan Kerajaan Allah dengan membiarkan keadaan masa kini dalam keadaan seperti ada-nya. Pengutusan itu tidak berarti memimpikan masa depan, dengan mengosongkan masa kini. Pengutusan itu menarik harapan masa depan ke dalam kesengsaraan masa kini dan memakainya dalam inisiatif-inisiatif yang praktis guna mengatasi kesengsaraan mi. Hanya dengan cara inilah para orang percaya akan mengerti dirinya sebagai teman sekerja Allah dan sebagai pekerja-pekerja yang mem-bangun masa depan, jadi bukan hanya sebagai para penafsir masa depan.[17]





BAB III
PENUTUP
Teologi Pengharapan dari Moltmann dapat dirangkum sebagai berikut: Allah adalah bagian dari proses waktu dan bergerak ke arah masa depan. Karena itu Allah tidak Absolut, tetapi Ia sedang berjalan ke arah masa yang akan datang, dimana janji-janji-Nya akan digenapi. Masa depan merupakan natur esensi dari Allah. Kebangkitan Yesus Kristus sebagai peristiwa sejarah adalah tidak penting. Kepentingan dari kebangkitan Kristus adalah eskatologikal dan harus dipandang dari masa depan, karena hal itu memberikan suatu pengharapan bagi kebangkitan umum di masa depan. Jangan melihat dari masa depan dari kuburan yang kosong. Moltmann mengusulkan untuk melihat ke masa depan yang disahkan oleh kebangkitan Kristus. Manusia juga harus dilihat dari sudut pandang masa depan, “manusia dapat dipahami, hanya dalam kaitan dengan referensi pada suatu sejarah yang tidak damai, dan terus menerus menguak sejarah dalam relasi dengan masa depan Allah.”
Solusi bagi manusia adalah mengasosiasikan dirinya dengan Allah “yang menyingkapkan diri-Nya, pada saat manusiaa direndahkan dan dilecehkan.” Moltmann menyebut hal itu sebagai teologi salib. Manusia berbagi dalam teologi salib ini dengan menerima tantangan hidup sebagai saat masa depan yang masuk ke masa sekarang. Manusia harus secara aktif berperan serta dalam masyarakat untuk menghasilkan perubahan-perubahan. Gereja-gereja suku, kelas sosial, status dan nasional’ harus dihapuskan. Gereja memiliki kemampuan untuk membentuk masa depan dan harus dapat membawa berita yang mengubah masyarakat. Gereja harus melihat lebih jauh dari keselamatan pribadi dan menantang semua penghalang dan struktur di antara orang-orang yang berbeda. Gereja merupakan alat untuk Allah membawa perubahan dan rekonsiliasi antara yang kaya dan yang miskin, antara suku-suku dan struktur-struktur yang palsu. Revolusi dapat menjadi salah satu cara yang dipakai gereja untuk mengakibatkan perubahan.
Moltmann berdasarkan penekanannya pada masa depan, menyangkali sejarah yang umum dan normal. Ia menolak signifikansi dan kehistorisan kebangkitan Yesus Kristus. Dalam usaha menyejajarkan sejarah dan eskatologi, ia meyangkali arti sebenarnya dari sejarah dan peristiwa-peristiwa sejarah. Dalam konsepnya tentang Allah, Moltmann menyangkali ketidakberubahan Allah (Mal. 3:6) dan mengusulkan Allah yang tidak absolut, “tetapi yang sedang begerak ke masa depan.”




[1] Wisma Padia, Isu-isu Kristologi Kontemporer, (Sekolah Tinggi Theology Injil Philadelphia), 55-56.
[2]Celia Deane- Drummod, Teologi dan ekologi (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 132
[3] Harvie M. Conn, Teologi Kontemporer, (Malang: Literatur SAAT, 2012), 96-97.
[4] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris abad ke 20 (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 135.
[5] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris abad ke 20 (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 136.
[6] Jurgen Moltmann, The Theology of Hope (New York: Harper and Row, 1967), 29-42.
[7] Harvie M. Conn, Teologi Kontemporer, (Malang: Literatur SAAT, 2012), 98.
[8] Jurgen Moltmann, Religions, Revolution and the Future (New York: Charles Scribner’s Sons, 1969), 52.
[9] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris abad ke 20 (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 136.
[10] Wisma Padia, Isu-isu Kristologi Kontemporer, (Sekolah Tinggi Theology Injil Philadelphia), 55-56.
[11] David Scaer, op. Cit., 76.
[12] Moltmann, op. Cit., 143.
[13] Disebut dalam James M. Robinson dan John B. Cobb, Jr., Theology as History (New York: Harper and Row, 1967) 17.
[14] Carl Braaten, History and Hermeneutcs, op. Cit., 178.
[15] Van Till,  The Great Debate Today, op. Cit, 202-204.
[16] Harvie M. Conn, Teologi Kontemporer, (Malang: Literatur SAAT, 2012), 103-104.
[17]Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris abad ke 20 (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 138.

Analisa Bentuk Konteks Kitab Roma


ANALISA BENTUK
Konteks Umum
Kitab Roma adalah kitab doktrinal tulisan Rasul Paulus yang paling logis dan sistematis. Dipengaruhi oleh kenyataan-kenyataan di Roma, kitab ini adalah suatu dokuman yang “langka”. Ada sesuatu yang terjadi yang menyebabkan Paulus untuk menulis surat ini. Sebagai tulisan Paulus yang paling bersifat netral, di dalamnya cara Paulus menghadapi permasalahan yang ada (barangkali kecemburuan yang terdapat diantara orang-orang Yahudi yang percaya dengan kepemimpinan kafir, bandingkan pasal 14:1-15:13) merupakan pernyataan yang jelas dari Injil beriikut penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.  Pemberitaan injil oleh Paulus di kitab Roma telah mempengaruhi kehidupan gereja di segala zaman. Memahami kitab Roma adalah memahami Kekristenan! Surat ini membentuk kehidupan dan pengajaran Yesus menjadu suatu batu dasar kebenaran bagi gereja di segala zaman. Martin Luther berkata mengenai kitab Roma: “Buku terutama dari Perjanjian Baru dan injil yang paling murni!” [1]
Beberapa orang menganggap Surat Roma sebagai suatu ringkasan komprehensif dari seluruh teologi Paulus, letapi itu asumsi yang kurang tepat dan tak berfaedah. Memang Paulus ada dalam keadaan jiwa yang lebih reflektif ketika ia menulis Surat Roma ketimbang sewaklu menulis surat Galatia atau Surat-surat Korintus. Tetapi ada beberapa aspek in mikirannya yang penting yang tidak tampak sama sekali di sini - antara lain kepercayaannya akan kedatangan kembali Yesus (parousia), dan tentang hidup setelah mati. Apa yang dikatakannya tentang sifat jemaat djlam Surat Roma juga sangat terbatas dibanding dengan uraiannya yang. Lebih lengkap dalam 1 Korintus.
Surat Roma lebih baik dipahami sebagai suatu uraian yang disusun secara lebih teratur terhadap beberapa tema pokok yang dibahas Paulus dalam Surat Galatia dan 1-2 Korintus (terutama 1 Korintus). Ahli terkemuka abad kc-19, J. B. Lightfoot. pernah menulis, "Hubungan Surat Galatia dengan Surat Roma adalah seperti hubungan model yang kasar dengan patung yang telah selesai". Pengamatan ini cocok, namun situasi di Korintus pasti juga di benak Paulus pada waktu itu. Mungkin Iebih tepat bila dikatakan Surat Roma adalah penguraian dari Surat Galatia, yang dipandang melalui kacamata situasi di Korintus.[2]
Dalam Surat Roma, Paulus tidak hanya menyiapkan diri bagi kunjungannya ke ibu kota kerajaan, ia juga sedang memperhalus beberapa aspek pemikirannya yang ternyata dapat disalahtafsirkan. Hal ini merupakan prioritas utama pada waktu itu, sebab Paulus tahu netibanya di Yerusalem dengan dana yang dikumpulkan, ia harus memberikan penjelasan yang memuaskan mengenai dirinya kepada orang Kristen Yahudi di sana. Mungkin Surat Roma merupakan konsep dari apa yang hendak dikatakannya kepada mereka.
Oleh karena isi Surat Roma begitu dekat hubungannya dengan surat-surat Paulus sebelumnya kepada jemaat-jemaat di Galatia dan di Korintus, kita tidak perlu meringkaskan dengan begitu rinci. Surat Roma dapat dibagi dalam tiga bagian utama yaitu, Bagaimana mengenal Allah (Rm. 1-8), Israel dan keselamatan (Rm. 9-11) dan Perilaku Kristen (Rm. 12-15).[3]
Surat Roma ini merupakan surat Paulus yang paling panjang, paling teologis, dan paling berpengaruh. Mungkin karena alasan-alasan itulah surat ini diletakkan di depan ketiga belas suratnya yang lain. Paulus menulis surat ini dalam rangka pelayanan rasulinya kepada dunia bukan Yahudi. Bertentangan dengan tradisi gereja Katolik-Roma, jemaat di Roma tidak didirikan oleh Petrus atau rasul yang lain. Jemaat di Roma ini mungkin didirikan oleh orang dari Makedonia dan Asia yang bertobat di bawah pelayanan Paulus, mungkin juga oleh orang-orang Yahudi yang bertobat pada hari Pentakosta (Kis 2:10). Paulus tidak memandang Roma sebagai wilayah khusus dari rasul lain (Rom 15:20).
Di surat Roma Paulus meyakinkan orang percaya di Roma bahwa dia sudah berkali-kali merencanakan untuk memberitakan Injil kepada mereka, namun hingga saat itu kedatangannya masih dihalangi (Rom 1:13-15; Rom 15:22). Dia menegaskan kerinduan yang sungguh untuk mengunjungi mereka sehingga menyatakan rencananya untuk datang dengan segera (Rom 15:23-32).[4]
Ketika menulis surat ini, menjelang akhir perjalanan misioner yang ketiga (bd. Rom 15:25-26; Kis 20:2-3; 1Kor 16:5-6), Paulus berada di Korintus di rumah Gayus (Rom 16:23; 1Kor 1:14). Sementara menulis surat ini melalui pembantunya Tertius (Rom 16:22), dia sedang merencanakan kembali keYerusalem untuk hari Pentakosta (Kis 20:16; sekitar musim semi tahun 57 atau 58) untuk menyampaikan secara pribadi persembahan dari gereja-gereja non-Yahudi kepada orang-orang kudus yang miskin di Yerusalem (Rom 15:25-27). Segera setelah itu, Paulus mengharapkan dapat pergi ke Spanyol untuk menginjil dan mengunjungi gereja di Roma pada perjalanannya untuk memperoleh bantuan dari mereka bila makin ke barat (Rom 15:24,28).
Tema Surat Roma diketengahkan dalam Rom 1:16-17, yaitu bahwa di dalam Tuhan Yesus dinyatakan kebenaran Allah sebagai jawaban terhadap murka-Nya kepada dosa. Kemudian Paulus menguraikan kebenaran-kebenaran dasar dari Injil. Pertama, Paulus menekankan bahwa persoalan dosa dan kebutuhan manusia akan kebenaran adalah umum (Rom 1:18--3:20). Karena baik orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi berada di bawah dosa dan karena itu di bawah murka Allah, tidak ada seorang pun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah terlepas dari karunia kebenaran melalui iman kepada Yesus Kristus (Rom 3:21--4:25).
Setelah dibenarkan secara cuma-cuma oleh kasih karunia melalui iman dan setelah mendapatkan keyakinan akan keselamatan kita (pasal 5; Rom 5:1-21), karunia kebenaran Allah itu dinyatakan dalam kematian kita bagi dosa dengan Kristus (pasal 6; Rom 6:1-23), pembebasan kita dari pergumulan untuk mencapai kebenaran menurut hukum Taurat (pasal 7; Rom 7:1-26), pengangkatan kita sebagai anak-anak Allah dan hidup baru kita "melalui Roh" yang menuntun kita kepada kemuliaan (pasal 8; Rom 8:1-39). Allah sedang mengerjakan rencana penebusan-Nya kendatipun ketidakpercayaan Israel (pasal 9-11; Rom 9:1--11:36).
Akhirnya, Paulus menyatakan bahwa kehidupan yang diubah dalam Kristus mengakibatkan penerapan kebenaran dan kasih pada semua bidang kelakuan -- sosial, sipil, dan moral (pasal 12-14; Rom 12:1--14:23). Paulus mengakhiri Surat Roma dengan keterangan tentang rencananya pribadi (pasal 15; Rom 15:1-33) dan ucapan salam pribadi yang panjang, nasihat terakhir, dan sebuah kidung pujian (pasal 16; Rom 16:1-27).[5]






Konteks Khusus
Konteks Dekat
            Pada masa Paulus kota Roma sangat penting. Paulus sendiri menyatakan betapa kuat keinginannya untuk memberitakan Injil di sana. Sebagai ahli siasat memberitakan Injil, ia menyadari pentingnya peranan jemaat Kristen di pusat kerajaan Romawi itu dan, boleh jadi hal ini mempengaruhi bentuk Surat Roma. Asal usul jemaat yg begitu penting ini tidak kita diketahui, dan mereka-rekanya tidaklah berfaedah. Mungkin jemaat itu didirikan oleh orang-orang yg bertobat pada hari Pentakosta, yg kembali ke rumah mereka di Roma dengan luapan kegembiraan karena iman mereka yg baru. Tapi kendati orang Roma disebut dalam Kis 2, tidaklah dirinci apakah mereka bertobat dan menjadi pengikut Kristus pada hari itu. Perjalanan antara Roma dan kota-kota propinsi relatif mudah zaman itu, dan tentu banyak pengikut Kristus yg bepergian melalui jalan raja kerajaan. Ketika Paulus menulis kepada jemaat Roma, jemaat itu sudah cukup besar. Kaisar Klaudius mengusir orang Yahudi dari Roma, yg menurut Suetonius adalah karena ‘Chrestus’. Jika pengusiran itu berkaitan dengan jemaat Kristen, maka mungkin jumlah anggota jemaat Roma sudah sangat besar. Besar kemungkinan bahwa anggota jemaat Roma terdiri dari Yahudi dan non Yahudi, dan kelompok terakhir adalah mayoritas. Komposisi demikian cocok dengan keadaan kota metropolitan di mana Yahudi adalah minoritas, dan kemungkinan ini didukung oleh Rm. Nampaknya Paulus kadang-kadang berbicara khusus kepada kelompok Yahudi, seperti teracu dalam sebutan Abraham ‘bapak kits’ (Kis 4:1) dan acuan pembicaraan langsung dengan para penanya Yahudi dalam ps 2; pada bagian lain ia berbicara kepada non-Yahudi (Kis 1:5 dab; Rom 11:13,28-31). Hanya ada sedikit acuan bahwa tradisi jemaat Roma mengikuti aliran Kristen-Yahudi yg berpandangan sempit, maka wajar menduga bahwa masyarakat Kristen Roma sepaham dengan Paulus. Juga tidak ada bukti perihal ketegangan antara Yahudi dan non-Yahudi seperti nyata dalam Surat Galatia.[6]
Suatu kehidupan yang dari Allah disedikan bagi setiap orang yang dibenarkan karena iman. Dengan memperkenalkan dirinya kepada mereka dalam nada yang agak lebih akrab, Paulus kembali lagi berbicara mengenai Injil Kristus, dan dengan ini perkenalan Paulus sudah mencapai puncaknya. Di dalam Injil Kristus kebenaran Allah dinyatakan, sehingga Dia dapat menyelamatkan orang yang percaya dari murkaNya. Inilah tema Surat Roma. Ini sebabnya dia rindu untuk datang dan memberitakan Injil kepada mereka. Sebenarnya dalam bahasa aslinya Paulus berkata, Sebab aku tidak malu terhadap Injil Kristus, dan bukan bahwa dia "mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil." Memang Paulus sadar bahwa orang percaya selalu tetap digoda untuk malu terhadap Injil Kristus. Dari segi pandangan manusia, Injil Kristus tidak membanggakan. Raja kita dibunuh dengan sebuah salib, suatu kematian yang amat hina. Kita memberitakan kasih Allah, suatu berita yang mudah dicemoohkan.  ...karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya...
Dia yakin bahwa Injil adalah kekuatan Allah, maka dia tidak malu memberitakannya di Roma. Keselamatan yang diceritakan di sini adalah keselamatan dari murka Allah, menurut pasal 5:9. Mulai dengan pasal 1:18, murka Allah diceritakan. Oleh karena murka itu adalah suatu murka yang sekarang dinyatakan atas segala macam kejahatan manusia, maka kita boleh mengerti bahwa kuasa Allah ini menyelamatkan orang dari hukuman dosa yang dialami sekarang (sesuai dengan penjelasan dari murka Allah, 1:18 dst.). [7]
Paulus sebenarnya telah lama ingin mengunjungi orang Kristen di Roma, tetapi keinginan tersebut selalu terhalang (Rm. 1:10-11). Menurut Roma 15:22-25, 28-32, Paulus ingin melewati Roma dalam perjalanannya ke Spanyol. Menurut Roma 1:13-15 dan 15:15-16, Paulus ingin memberitakan Injil kepada orang-orang bukan Yahudi di Roma. Jadi, nampaknya Paulus menjadikan Roma sebagai basis untuk memperluas pelayanannya ke bagian barat kekaisaran Roma. [8] Karena Paukus bukan pendiri jemaat di Roma, maka ia tidak banyak mengetahui keadaan jemaat itu. Rupanya ia memperoleh sedikit informasi mengenai keadaan jemaat itu. Rupanya ia memperoleh sedikit informasi mengenai keadaan jemaat di sana dari orang-orang Kristen yang berasal dari kota Roma. Oleh karena itu, dalam suratnya ini, ia membahas hal-hal yang berkaitan dengan keadaan nyata jemaat. Dalam surat ini, Paulus ingin meletakkan kerangka dasar Injil yang ia beritakan. [9]
Konteks Jauh
Bagian pertama Surat Roma, merupakan suatu dasar teologis yang panjang, dimulai dengan nats dari Nabi Habakuk: “Orang yang benar akan hidup oleh kepercayaannya” (Hab. 2:4). Disini Pulus melakukan gaya pembelaan yang sudah kita kenal dari Surat Galatia; dan memang banyak pokok yang dikemukakannya sama dengan pokok-pokok Surat Galatia. Semua orang, baik orang Yahudi maupun orang bukan Yhudi di bawah kuasa dosa. Di luar Kristus tidak ada jalan keluar untuk luput dari kutukan Allah terhadao dia (Rm. 1:18-3:20). Namun terbuka kemungkinan untuk menerima “kebenaran Allah”, yakni pembebasan dari vonis penghukuman Allah dan kuasa untuk mendapat bagian dalam kebaikkan Allah sendiri. Ini sesuatu yang dapat diperoleh hanya melalui iman kepada Kristus, dan bukan karena perbuatan baik (Rm, 3:21-4:25).
Sama seperti dalam Surat Galatia, Paulus menjelaskan tema ini dengan mengambil contoh dari kehidupan Abraham (Rm. 4). Ia kemudian melanjutkan (Rm. 5-8) dengan menggambarkan hasil hubungan baru dengan Allah ini: Kebebasan dari murka Allah; kebebasan dan perhambaan dosa; kebebasan dari hukum Taurat; dan kebebasan dari kematian melalui pekerjaan Roh Allah di dalam Kristus. “Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita” (Rm. 8:37). Paulus langsung membahas persoalan inti-nomianisme dalam Roma 6:1-8:39. Ia menerangkan walaupun orang-orang Kristen dibebaskan dari semua peraturan hukum eksternal dalam upaya memperoleh status yang berkenan kepada Allah, mereka pada kenyataannya telah memasuki suatu jenis pelayanan lain. Mereka bukan lagi hamba dosa (Rm. 6:17); mereka sekarang hamba Allah (Rm. 6:22). Orang-orang Kristen dibebaskan bukan untuk berbuat sesuka hatinya, melainkan supaya “menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya” (Rm. 8:29) melalui pekerjaan Roh Kudus dalam dirinya. [10]
Paulus mungkin mengutip kata-kata Yesus dalam Mar 8:38 dan Luk 9:26. Ia tidak malu terhadap isi dari injil maupun penganiayaan yang diakibatkannya (II Tim 1:12,16,18). Dalam I Kor 1:23 Orang Yahudi malu terhadap Injil karena peneguhannya tentang Mesias yang menderita, juga terhadap orang Yunani karena Injil mengajarkan kebangkitan tubuh.
Injil adalah untuk semua manusia (Oh. betapa saya suka kata-kata "setiap orang". "barang siapa". "semua"), namun percaya adalah salah satu syarat untuk penerimaan (lili. Kis 16:30-31). Syarat lain adalah pertobatan (lih. Mar 1:15: Kis 3:16.19: 20:21). Allah menghadapi manusia dengan cara membuat perjanjian. Ia selalu mengambil inisiatif dan menetapkan agenda (lih. Yoh 6:44.65). Namun ada beberapa syarat-syarat balasannya. lihat catatan pada 1:5.
Kata Yunani. yang disini diterjemahkan sebagai "percaya". dapat juga diterjeinahkan menjadi "iman" dan "kepercayaan (trust)". Kata-kata Yunani memiliki konotasi yang lebih luas dibanding kata apapun dalam bahasa Inggris. Perhatikan. bentuk kata ini adalah PRESENT PARTICIPLE. Iman yang menyelamatkan adalah iman yang bersifat terns menerus (lih. I Kor 1:18: 15:2: II Kor 2:15:1 Tes. 4:14).[11]
Aslinya kata Ibrani yang berhubungan dibalik kata Yunani "iman" berarti suatu kuda-kuda yang stabil. seorang laki-laki dengan posisi kaki yang terbuka sehingga tak mudah digeser. Lawan kata dari penggambaran PL adalah "kakiku ada dalam lumpur rawa" (Maz 40:3). sedikit lagi kakiku terpeleset" (Maz 73:2). Akar kata Ibrani tersebut adalah emttn. emunah. aman. dipakai untuk menggambarkan seseorang yang bisa dipercaya. loyal dan dapat diandalkan. Iman yang menyelamatkan tidak mencerminkan kemampuna manusia yang telah jatuli untuk berlaku setia. namun mencerminkan kesetiaan Allah! Pengharapan orang-orang percaya tidak terletak pada kemampuan mereka. namun dalam karakter dan janji-janji Allah. Ini adalah kebisa-dipercayaanNya. kesetianNya. dan janjiNya!
"Pertama-taina orang Yahudi"' Alasan dari hal ini didiskusikan secara singkat dalam 2:9-10 dan 3 dan akan dikembangkan sepenuhnya dalam pasal 9-11. Ini mengikuti pemyataan yesus dalam Mat 10:6: 15:24; Mar 7:27.
Ini mungkin berkaitan dengan kecemburuan antara Orang percaya Yahudi dan Non Yahudi di gereja Roma.[12]
            1:17 "kebenaran Allah" Frasa ini dalam konteks menuujuk pada (1) karakter Allah, dan (2) bagaiinana la memberikan karakter tersebut pada manusia berdosa. Terjemahan Jerusalem Bible menulis "ini adalah yang mengungkapkan keadilan Allah". Walau hal ini menuujuk pada gaya hidup moral dari orang-orang percaya, namun tekanan utamanya adalah status hokum mereka dihadapan Hakim yang Benar. Penganugerahan Kebenaran Allah kepada manusia yang sudah jatuh dan berdosa, sejak Reformasi. Telah dika 1 akteristikka 11 sebagai "pembenaran oleli iman" (lib. II Kor 5:21; Flp 3:9). Inilah ayat yang telah mengubalikan kehidupan dan teologi dari Martin Luther! Naniim demikian. sasaran dari pembenaran adalah penyucian, keserupaan dengan Kristus, atau karakter kebenaran Allah (lib. Rom 8:28-29; Ef 1:4; 2:10; Gal 4:19).
Frasa ini memiliki dua PREPOSISI, ek dan eis, yang menekankan pada transisi atau pembangunan. Ia menggunakan struktur yang sama dalam II Kor 2:16 dan apo dan eis dalam II Kor 3:18. Kekristenan adalah anugerah yang diharapkan akan menjadi karakteristik dan gaya hidup. Ada beberapa kemungkiiian dalam penterjemahan frasa ini. PB dari Williams menterjemahkannya sebagai "Jalan dari iman yang memimpin kepada iman yang lebih besar". Titik teologis utama disini adalah: (1) iman datang dari Allah ("dinyatakan"); (2) manusia hams menanggapi dan terns menanggapi; dan (3) iman hams nienghasilkan kehidupan kudus. Satu hal yang pasti, "iman" dalam Kristus adalah sangat penting (lib. 5:1, Flp 3:9). Penawaran Allah akan keselamatan tergantung daiipada tanggapan iman (Mar 1:15; Yoh 1:12; 3:16; Kis 3:16, 19:20:21).
Ini adalah kutipan dari Hab 2:4. nannm bukan dari Naskah Masoratis atau Sepaiaginta. Dalam PL "iman" memiliki arti pengga kepada". Iman yang menyelamatkan didasari oleh kesetiaan Allah (lih 3:5,21,22,25,26). Bagaimanapun kesetiaan manusia adalah suatu bukti bahwa seseorang telah mempercayai syarat-syarat Allah. Teks PL yang sama dikutip dalam gal 3:11 dan Ibr 10:38. Unit tulisan yang berikut, Roma 1:18-3:20. mengungkapkan lawan dari kesetiaan Allah.[13]

Sitz Im Leben
Gendre
Logical discourse. Genre kesusastraan Alkitab ini juga disebut kesusastraan berbentuk ‘surat’ dan menunjuk pada surat-surat di Perjanjian Baru, dari mulai Kitab Roma sampai Yudas.[14]
Sastra surat-surat dalam PB yang biasa disebut sebagai epistel (epistolary literature), banyak kesesamaannya dengan jenis tulisan sastra dalam tradisi Hellenisme. Stereotip tulisan itu selalu mempunyai rangka:
1)        Pembukaan surat (prescript), yang berisi penulis, orang yang dialamatkan dan salam yang berisi harapan atau keinginan untuk sehat, mohon doa restu dan informasi lainnya.
2)        Batang tubuh surat mengungkapkan isi surat, yang berasaskan dia kepada Allah, rasa terima kasih, pemahaman situasi penulis atau kenangan bersama dan hubungan penulis dan orang yang dialamatkan, dan barulah menyentuh isi surat, apa yang diminta, harapan perkunjungan atau tantangan yang perlu dihadapi.
3)        Akhir surat, yang diikuti salam penutup, termasuk keinginan akan kesehatan orang yang dialamatkan atau orang-orang yang dikenal.
Dari jenis surat itu banyak kesamaannya dengan jenis-jenis surat dalam PB, terlebih-lebih bentuk koresponden pribadi dalam waktu Hellenisme.
dialamatkan, dan barulah menyentuh isi surat, apa yang diminta, harapan perkunjungan atau tantangan yang perlu dihadapi.
1)        Tulisan Paulus, yang tidak dipermasalahkan Paulus sebagai penulisnya. Tulisan itu ditulis di sekitar pertengahan abad pertama seperti Surat Roma, 1 Tesalonika, 1-2 Korintus, Filemon, Galatia, Filipi.
2)        Tulisan Paulus, yang dipermasalahkan karena dianggap gaya bahasa dan isi logikanya tidak sesuai dengan identitas Paulus. Surat-surat itu selalu disebut sebagai Pseudo-Paulus. Surat-surat itu ialah 2 Tesalonika, Kolose dan Efesus. Surat lain berisi masalah penggembalaan (pastoral), yang ditang-gapi oleh para penulisnya tidak lain adalah Paulus, yaitu 1-2 Timotius dan Titus.[15]
Surat-surat Paulus (bahasa InggrisPauline epistlesEpistles of Paul, atau Letters of Paul) adalah kumpulan sejumlah surat-surat tulisan Paulus yang kemudian menjadi kitab-kitab dalam Perjanjian Baru di Alkitab Kristen. Ada tiga belas surat yang dimulai dengan nama "Paulus" (Παῦλος) pada kata pertamanya, dan dengan demikian memberikan identitas Paulus sebagai penulisnya. Di antara surat-surat ini terkandung ajaran-ajaran paling awal dalam Kekristenan, termasuk perdebatan prinsip dalam gereja mula-mula, munculnya aliran-aliran yang tidak sejalan dan, sebagai bagian dari Kanon Alkitab, semua surat ini terus menerus menjadi landasan teologi Kristiani dan etika KristenSurat Ibrani tidak memuat nama "Paulus" sama sekali, meskipun pada zaman kuno dianggap juga merupakan tulisan Paulus, pada zaman sekarang masih diragukan apakah benar-benar tulisannya.[16]
Surat-surat Rasul Paulus (sama seperti surat-surat lain di Perjanjian Baru) merupakan karya sastra yang unik. Surat-surat ini berbeda dari semua gaya surat yang ditemukan dalam sastra di luar Alkitab. Di banyak surat yang ditulis atas papirus, salam penutup ditulis dalam tulisan yang berbeda dari bagian lain surat itu. Surat-surat Paulus mengikuti susunan umum ini. Yang menjadikan surat-surat ini bersifat khusus adalah unsur pernyataan dan nasihat rasuli, yang memberikannya wibawa khotbah-khotbah tertulis. Paulus mengembangkan salam baku yang hambar menjadi suatu gabungan berharga dari "kasih karunia" dan "damai sejahtera" - gagasan-gagasan yang khas kristiani dan Ibrani. Kemudian ia mengganti bagian berikut (ucapan syukur karena kesehatan dan kebahagiaan si penerima) dengan suatu berkat (yaitu, ucapan syukur karena berkat-berkat yang diterima dari Allah). Bagian utama surat-surat Paulus dimulai dengan suatu metode terkenal yang diambil dari aturan seni pidato Yunani dan Romawi. Dalam usahanya untuk menegakkan hubungan baik dengan para pembacanya, Paulus mengajukan permohonan, himbauan, atau nasihat. Kadang-kadang ia menggunakan sebuah "formula penyingkapan" (mis., "Aku mau supaya kamu mengetahui," dan "Kami tidak mau bahwa kamu tidak mengetahui"). Pada saat lain, ia mengucapkan selamat kepada para pembacanya atas keberhasilan pekerjaan mereka (bdg. Flp. 1:3-6; I Tes. 1:2-10) dan keadaan rohani mereka yang sehat (I Tes. 1:4-5; II Tes. 1:3-4). [17]
Surat-surat Paulus biasanya ditempatkan di antara Kisah Para Rasul dan Surat-surat Am. Pada sejumlah naskah kuno, misalnya minuscule 175325336, dan 1424, surat-surat Paulus ditempatkan di akhir Perjanjian Baru. Semua surat-surat tersebut memuat nama Paulus sebagai penulisnya. Sejumlah klasifikasi memasukkan Surat Ibrani, yang tidak memuat nama penulis, sebagai surat-surat Paulus, bukan termasuk ke dalam Surat-surat Am, tetapi siapa penulis Surat Ibrani masih diperdebatkan sejak zaman dahulu sampai sekarang, dan banyak yang meragukan bahwa penulisnya adalah Paulus.  Pada naskah-naskah kuno Perjanjian Baru Surat Ibrani ditempatkan di antara surat-surat Paulus:
·         antara Rom dan 1 Kor dalam mss ("naskah-naskah"): Papirus 46 dan dalam minuscule103455, 1961, 1964, 1977, 1994.[18]
Paulus mengirimkan surat ini kepada gereja yang tidak didiri-kannya dan tidak pernah dikunjunginya. Karena itu, tidak heran kalau dokumen ini berbeda sifatnya dengan surat-surat Rasul yang lainnya. Ia tidak dapat mengacu kepada kunjungannya kepada gereja itu ataupun peristiwa-peristiwa yang telah terjadi setelah keberangkatannya. Ia pun tidak membahas dalam suratnya ini 'urusan-urusannya dengan gereja itu'. Karena itu, pertanyaan yang pertama-tama muncul ialah, mengapa ia sampai menulis surat itu. 
Sebuah alasan meskipun hanya suatu alasan langsung -yang dapat segera disebutkan ialah bahwa Paulus akhirnya bermaksud, dalam memenuhi kerinduannya yang telah lama tersimpan (bnd. 1:13) untuk mengunjungi gereja itu (15:22 dyb.). Hal ini akan memberikannya alasan menulis sebuah surat. Namun anehnya ialah bahwa Paulus hanya sambil lalu saja berbicara mengenai rencananya itu dan kita tentunya tidak dapat mengata-kan bahwa rencana-rencana itu adalah tenia suratnya. Pada kenyataannya surat ini memberikan kesan sebagai suatu risalat. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah Paulus, sehubungan dengan niat kunjungannya itu, mengirimkan risalat demikian hanya kepada orang-orang di Roma.[19]
Kalau demikian halnya, dari sudut pandang yang murni sastra, dokumen ini akan menyajikan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang telah kita bicarakan sejauh ini dalam semua surat Paulus, di mana isi suratnya selalu mempunyai kaitan langsung kepada keadaan jemaat. Kita masih akan memiliki surat menurut definisi Deissmann, tetapi surat itu telah berkembang begitu jauh sehingga menjadi suatu 'episteF. Sejauh menyangkut masalah tafsiran, hal ini berarti bahwa kita tak perlu menaruh perhatian apa pun kepada situasi di Roma. Kalau surat itu meru-pakan risalat, maka pada prinsipnya ia, mungkin telah dikirimkan ke mana-mana, dan kita harus mempertimbangkan keadaan itu hanya sejauh hal itu berhubungan dengan keadaan umum jemaat-jemaat Paulus, seperti yang dilihat oleh rasul itu pada masa itu.[20]
Karena itu, masalah corak sastra dokumen ini merupakan masalah pengantar yang cukup penting. Bila kita salah menjawabnya, jelas kita akan dibawa kepada kesalahpahaman akan keseluruhan dokumen itu. Kita akan memeriksa masalah ini langkah demi langkah. Dalam 15:22-26 Paulus menulis, 'Itulah sebabnya aku selalu terhalang untuk mengunjungi kamu. Tetapi sekarang, karena aku tidak lagi mempunyai topos (tempat kerja) di daerah ini (yaitu di Timur) dan karena aku telah beberapa tahun lamanya ingin mengunjungi kamu, aku harap dalam perjalananku ke Spanyol (aku dapat singgah di tempatmu dan bertemu dengan kamu, sehingga kamu dapat mengantarkan aku ke sana . . .) Apa yang diuraikan rasul di sini adalah confessiones-nya.y Hal ini berhubungan, demikian Feine-Behm, khususnya dengan latar belakang Yahudinya, yang di sini harus dihadapinya. 'Untuk alasan itu surat ini memberikan kesan lebih sebagai suatu mo-nolog ketimbang sesuatu yang ditulis untuk orang lain.' Peralihan baru pekerjaan penginjilan itu membawanya pada tindakan pe-meriksaan diri serta penjelasan, untuk menyusun suatu neraca keseimbangan atas kegiatan-kegiatannya selama ini. Usul-usul ini cukup penting untuk persoalan kategori sastra bila kita meng-golongkan surat ini, karena confessiones ini - paling tidak secara teoritis - dapat dikirim ke mana saja oleh Paulus. Tetapi dapatkah kita sungguh-sungguh menggambarkan surat ini secara tepat sebagai suatu monolog? Dan bila kita membahas masalahnya dari sudut pandang psikologis dan mengatakan bahwa saat itu merupa-kan saat yang tepat bagi Paulus untuk meninjau ulang pelayanan.
Perlawanan terhadap rasul tidak muncul karena masalah antara Kekristenan Yahudi dan bukan Yahudi, melainkan antara Kekristenan dan Gnostisisme (meskipun benar bahwa yang kedua itu mengambil bentuk Kristen-Yahudi). Untuk itu hanya ada satu kekecualian - yaitu Yerusalem. Bila kita memandang ke belakang pada Sidang para Rasul, Paulus mungkin sekali telah mengatakan bahwa ada satu masalah di sini. Karena itu, Fuchs3" telah meng-usulkan bahwa Yerusalem itulah yang secara rahasia menjadi alamat surat Roma. Bagaimanapun, hal ini sama sekali tidak menyelesaikan masalahnya, karena surat Roma bukanlah sebuah surat rahasia untuk Yerusalem, melainkan jelas merupakan surat untuk Roma. Kendati masalah-masalah ini memang Paulus hadapi di Yerusalem (dan jelas memang inilah masalahnya), hal ini tidak menjelaskan apa sebabnya ia mengirimkan surat itu - seperti yang terpaksa harus kita katakan - kepada 'alamat yang rahasia'. Sudah tentu, mungkin saja bahwa dalam menulis surat ini Paulus (dalam batas-batas tertentu) membayangkan masalah-masalah di Yerusalem.[21]
Cukup penting untuk persoalan kategori sastra bila kita menggolongkan surat ini, karena confessiones ini - paling tidak secara teoritis - dapat dikirim ke mana saja oleh Paulus. Tetapi dapatkah kita sungguh-sungguh menggambarkan surat ini secara tepat sebagai suatu monolog? Dan bila kita membahas masalahnya dari sudut pan dang psikologis dan mengatakan bahwa saat itu merupa-kan saat yang tepat bagi Paulus untuk meninjau ulang pelayanan-nya selama ini, apakah akan dapat dimengerti, atau lebih di-mengerti, kalau surat ini mengambil bentuk surat perpisahan kepada jemaat-jemaat yang telah didirikannya? Mengapa Paulus menujukan confesiones-nya ini secara khusus kepada Roma? Kita harus berupaya untuk mendapatkan alasan untuk hal itu.
Michel30' memberi penjelasan lebih lanjut. Ia berpendapat bahwa dalam 'surat didaktis' ini Paulus memaparkan suatu apolo­gia. 'Masalah sesungguhnya yang membangkitkan perlawanan berulang-ulang kepada rasul ini ialah hubungan antara Yudaisme dan paganisme (kekaflran) atau Kekristenan asal Yahudi dan Kekristenan bukan Yahudi dalam pemberitaannya.' Pemberitaan Paulus membuat ma rah "sinagoge" dari waktu ke waktu, dan Paulus tentunya takut bahwa gereja Roma akan mempercayai laporan buruk mengenai dia. Karena itu, Michel secara khusus menolak penggambaran surat ini sebagai suatu confessio.[22]
Sub Gendre
Sub-genre dari sastra tulisan PB ditemukan banyak jenisnya1", yaitu:
1.         Topos dalam Rm. 13 dan 1 Ptr. 4:7 - 5:11.
2.             Daftar sifat buruk dan kebajikan (1 Kor. 5:10-11; Kol. 3:12-14; Rm. 1:29-31; 1 Kor. 6:9-10; 2 Kor. 6:6-7; Gal. 5:19-23; Ef. 6:14-17; Flp. 4:8; Tit. 1:7-8; Yak. 3:17; 1 Ptr. 4:3; 2 Ptr. 1:5-8; Why. 9:20-21).
3.         Daftar keadaan sekitar (2 Kor. 12:10; 11:23-28).
4.         Daftar aturan perilaku dalam persekutuan Kristen (Ef. 5:21 -6:9; Kol. 3:18 - 4:1; 1 Tim. 2:1-15; 5:1-21; Tit. 2:1-10; 2 Ptr. 2:13 - 3:7).
5.         Ucapan hikmat (Gal. 5:9; 1 Kor. 15:33; Ef. 5:16).
6.         Pernyataan konfessi (Rm. 10:9; 1 Tim. 3:16).
7.         Nyanyian pujian (Flp. 2:6-11).
8.         Metafora (1 Kor. 3:9b; 2 Ptr. 2:17a; Yak. 3:6a; 1 Kor. 6:19a).
9.         Diatribe [kecaman tajam] (Rm. 6; Yak. 2:18-22).
10.     Captatio bene volentiae (Rm. 7:1; 1 Kor. 9:24) di mana penulisnya membujuk si pendengarnya/pembacanya sesuatu yang diketa-huinya.
11.     Rangkaian kata yang berisi suatu gagasan (Rm. 5:3-5; 2 Ptr. 1:57) atau yang berisi pertanyaan retorik (Rm. 8:31-32), personifi-kasi (Yak. 1:15), suatu ikatan atau kekhususan (bnd. Istilah "satu" dan semua dalam Ef. 4:4-6; istilah "baik maupun" dalam Rm. 8:38-39).[23]
Surat yang didiktekan (Paulus memperkembangkan gagasannya dalam saat mendikte) kepada seorang penulis Tertius (Rom 16:22) dalam bahasa Yunani melengkapi kekurangan sistema dan kelengkapan ajaran dengan suatu dinamika yang hidup dan asli. Pada umumnya menyolok sekali corak khotbah di situ. Uraian theologi dan nukilan-nukilan perenetis dibuat bergantian (bdk.: Rom 6:1-14). Penafsiran PL (oleh Paulus) merupakan cara penguraian yang lazim sekali dalam Yudaisme pada saat itu dan kini kadang-kadang asing sekali bagi kita. Di situ nampak jelas adanya susunan yang tertentu: (1) Pendahuluan: Salam dan hubungannya dengan Roma (Rom 1:1-17). (2) Bagian utama:
a)      Injil tentang kebenaran Allah dan dibenarkannya manusia atas dasar iman (Rom 1:18-8:39).
b)      Tempat bangsa Isr. di dalam rencana keselamatan Allah (Rom 9:1-11:36).
c)      Petunjuk-petunjuk praktis (Rom 12:1-15:13).
3)        Penutup: Salam dan permintaan perhatian (Rom 15:14-16:24) serta doksologi (Rom 16:25-27).[24]






[1] Bob Utley, Kumpulan Komentari Paduan Belajar Perjanjian Baru, Vol. 5, (TEXAS: Bible Lessons International, Marshall, 2010), 22.
[2] Jhon Drane, Memahami Perjanjian Baru, (Jakarta: Bpk. Gunung Mulia, 2011), 369.
[3] Ibid, 370.
[4] Donald C. Stamps, Alkitab Penuntun: Hidup Berkelimpahan,( Malang: Gandum Mas, 2010), 1832.
[5] Ibid, 1833.
[6] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini
[7] Dave Hagelberg, Tafsiran Alkitab oleh Dave Hagelberg, (Surabaya: Penerbit Momentum, 2011)
[8] Perjanjian Baru Sejarah, Pengantar dan Pokok-pokok (Jakarta; Bina Media Informasi, 2010), 200.
[9] Udo Schnelle, Op. Cit., hal. 109, 110, 112.
[10] Jhon Drane, Memahami Perjanjian Baru, (Malang; BPK Gunung Mulia, 2011), 370.
[11] Bob Utley, Kumpulan Komentari Paduan Belajar Perjanjian Baru, Vol. 5, (TEXAS: Bible Lessons International, Marshall, 2010), 45.
[12] Ibid, 46
[13] Ibid, 47-48
[15] Sitompul A.a. & Beyer U. Dr, Metode Penafsiran Alkitab, (Jakarta: Gunung Mulia, 2008),243.

[16] http://id.wikipedia.org/wiki/Surat-surat_Paulus , diambil pada tanggal 21 Februari 2015 pukul 14:52.
[17]http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=778&res=almanac , diambil pada tanggal 21 February 2015 pukul 18:33.
[18]Ibid.
[19] Willy Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, (Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2008), 105.
[20] Ibid, 106.
[21] Ibid, 106-107
[22] Ibid, 107-108
[23] Sitompul A.a. & Beyer U. Dr, Metode Penafsiran Alkitab, (Jakarta: Gunung Mulia, 2008),243.
[24] http://alkitab.sabda.org/dictionary.php?word=Surat diambil pada tanggal 21 februari 2015 pukul 19:09.