Instagram

Theology











TEOLOGI KONTEMPORER - TEOLOGI PENGHARAPAN


BAB I
PENDAHULUAN
            Teologi Kontemporer dalam arti yang sesungguhnya baru lahir pada tahun 1919 di suatu ruang belajar sebuah gereja di Swiss. Perintisnya adalah seorang pendeta muda, Karl Barth (1886-1968), yang sudah melayani di sana sejak 1911. Menifesto dari titik balik teologia baru dalam sejarah ini (yang merupakan pengumandangan awal dari suatu era teologi baru). Perubahan-perubahan arus teologia sejak tahun 1919 juga merupakan bagian dari lautan yang lebih luas, dan bahwa perbedaan antara teologia “modern” dengan teologia “kontemporer” kadang-kadang sedikit sekali dan lebih merupakan tekanan yang berbeda-beda yang berdasarkan pada praanggapan yang sama. Kant mensistematiskan “keyakinan manusia modern pada kemampuan rasio untuk menerangkan segala sesuatu yang ada di luarnya. Dengan demikian, ia menebarkan suatu bayangan bukan hanya pada abad ke-19, tetapi juga pada abad ke-20. Pada tahun 1784, Kant menyimpulkan tuntutan-tuntutan Pencerahan Baru ketika ia menjelaskan sebagai keluarnya manusia dari ketidakmatangan yang ia biarkan mengikat dirinya.
            Kant dan mental Pencerahan menjadikan kelepasan itu lebih dari sekadar suatu penyesuaian diri. Sejak Kant, sejarah pemikiran Barat dan teologi Barat adalah sejarah tentang bagaimana praanggapan religius ini yang dibangun di atas dasar yang diambil alih dari Kekristenan (meskipun sebenarnya saling bertentangan) membentuk suatu dunia yang baru. Mental Pencerahan menuntut kebebasan manusia yang sungguh merdeka, suatu alam yang otonom di mana fakta diceraikan dari arti sesungguhnya di dalam Allah, dan dengan demikian menjadi liar (brutalized). Bagi Kant, otonom ini berarti konsep-konsep Kristen tentang wahyu yang “otonom,” tentang Allah yang membuktikan sendiri keotentikan-Nya dan menyatakan diri-Nya melalui Alkitab, harus diganti dengan rasio manusia yang otonom. Efek dari semuanya itu cukup merusak. Allah dibelenggu oleh Kant di dalam suatu ruangan kedap suara, dihubungkan pada dunia fenomena (menurut Kant) hanya oleh “tali pusat” kebutuhan manusia akan konsep adanya Allah dalam dunia etika. Pintu ruangan itu tetap terbuka, tetapi begitu sempitnya sehingga Allah yang berdaulat, yang “ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci” (Yes. 6:1) tidak dapat menyelusup keluar.
            Hal yang sama pun berlaku bagi manusia. Karena ia sebenarnya tidak dapat memahami hal-hal sebagaimana adanya (baik dalam dunia fenomena maupun noumena), ia juga tidak dapat melalui pintu untuk mengenal Allah. Allah secara efektif telah diasingkan dari manusia, dan manusia pun diasingkan dari Allah. Pengasingan Allah ke dalam dunia noumena itu merupakan teman favorit teologi kontemporer. Hal itu diperkuat melalui tekanan tentang kebebasan yang semakin meningkat dari eksistensialisme, dan muncul dalam bentuk yang diperbaharui dalam tulisan awal Barth tentang Allah sebagai “yang mutlak berbeda” (the wholly other), sebagaioknum yang “tidak dapat dijelaskan sebagaimana benda dapat dijelaskan”. Teologi Pengharapan merupakan salah satu teologi kontemporer yang diperkenalkan melalui Moltmaan di satu segi mencela pandangan eskatologi Kristen yang tradisional yaitu gereja menantikan hadirnya Tuhan yang telah bangkit dalam sejarah di masa mendatanga, namun di segi lain ia berbicara tentang gereja yang berorinteasi pada masa mendatang.



BAB II
KAJIAN PUSTAKA
TEOLOGI PENGHARAPAN
Seorang tokoh lain yang amat memprihatinkan relevansi iman Kristen bagi "dunia" ialah J. Moltmann. Karya utamanya ialah: Theologie der Hoffiiung (1966): Der gekreuzigte Gott. Das Kreuz Cluisti als gnuid mid Kritik christilicher Tlieologie (1972) dan Trinitat mid Reich Gottes Zur Gottes lehre (1980). Sama seperti Pamienberg, demikian pun Moltmann peka terhadap kritik yang dilontarkan marksisnie terhadap agama pada umumnya dan khusus terhadap agama Kristen. Moltmann. Berdialog dengan neomarksis terkenal E. Bloch yang dalam karyanya "Das Piinzip Hof&iung (1967) menyajikan juga semacam "Yesuologi marksis".[1] Jurgen Moltmann adalah seorang teolog Protestan yang menjadi salah seorang pelopor teologi politis melalui Teologi Pengharapan. Teologi ini menantang struktur-struktur masyarakat dan memandang ke arah kerajaan masa depan yang membebaskan yang berasal dari suatu Allah masa depan. Ia mengakui bahwa teologi perlu berisikan tantangan terhadap struktur-struktur teknologis ilmiali dari masyarakat Barat. Ia percaya bahwa di dunia Barat struktur teknologi telah menjadi suatu perangkap baik bagi manusia maupun bagi ciptaan. Di masa lampau para teolog pembebasan cenderung memandang curiga gerakan hijau, meya-kini bahwa tugas pokok haruslah pembebasan manusia dan bukannya pelestarian spesies bukan manusia. Akan tetapi, dampak global dari krisis lingkungan dan hubungan yang saling terkait antara pembangunan dan lingkungan membawa pengertian bahwa kedua isu ini tidak bisa lagi ditanggapi secara terpisah. Dalam karya Moltmann yang paling baru, ia menekankan bagaimana teologi pengharapan secara langsung berisikan pembebasan atas planet yang sedang menderita dan sekarat, yang merupakan suatu contoh penindasan manusia yang par exelence (yang tak ada bandingannya). Dalam artian ini teologi politis menjadi teologi politis ekologis.[2] Pada tahun 1965, saat gencar-gencarnya gerakan “Allah mati”, ditengah ketakutan sementara orang akan kebangkitan atheism Kristen, terdengarlah di negeri Jerman suatu nada baru dari seorang professor teologia yang masih muda di Universitas Tubingen. Meskipun belum dapat disebut sebagai suatu aliran baru dalam dunia teologia. Teologia pengharapan mendapat perhatian secara luas di Asia. Menurut Moltmann meskipun dalam keadaan kesulitan dan kekecewaan terus menerus. “Harapan-harapan hancur terus menerus, sehingga Moltmann menghimbaukan agar mempunyai pengharapan.[3]
Tema teologi Moltmann, teologi harapan, bukanlah penemuan Moltmann sendiri. Telah dikemukakan bahwa teologi Pannenberg juga disebut teologi harapan. Kecuali Pannenberg memang masih ada lagi tokoh-tokoh lainnya yang mengembangkan teologi yang mengarah ke masa depan, yang semuanya bekerja hampir bersama-an waktunya dengan Moltmann. Tetapi memang teologi Moltmann tidak 100% sama dengan teologi harapan yang lain-lain itu. Di dalam bukunya yang kedua, Der gekreuzigte Gott (Allah yang Disalibkan) teologi harapan Moltmann disebut teologi salib.[4] Menurut Moltmann, para teolog hingga kini mempunyai suatu konsep penyataan atau wahyu yang dikuasai oleh pengertian Yunani tentang hakikat (ousia) dan firman (logos). Padahal yang Alkitabiah ialah jika konsep penyataan atau wahyu itu dikuasai oleh firman sebagai janji. Dengan ini Moltmann mengemukakan suatu konsep penyataan atau wahyu sebagai sejarah firman. Di sinilah letak perbedaan antara Moltmann dan Pannenberg, yang mengemukakan bahwa Allah menyatakan atau mengungkapkan diri di dalam akhir sejarah sebagai rangkuman seluruh sejarah. Juga di sini Moltmann berbeda dengan Bultmann, yang mengajarkan, bahwa firman yang diberitakan mengungkapkan historisitas eksistensi manusia. menurut moltmann, pertentangan di bidang penyataan atau wahyu antara firman dan sejarah ini hanya dapat dipecahkan oleh pandangan yang ketiga, yaitu pandangan tentang penyataan atau wahyu sebagai sejarah firman atau sejarah janji Allah. Penyataan atau wahyu yang dipandang sebagai sejarah firman atau sejarah janji Allah menampakkan bahwa penyataan atau wahyu itulah penyataan atau wahyu yang eskatologis.[5]
Kunci untuk mengerti “teologia futuristik”, menurut Moltmann ialah gagasannya bahwa Allah harus tunduk pada proses waktu. Dalam proses inilah tidaklah sepenuhnya Allah, karena Allah adalah satu bagian dari waktu yang sedang mendesak maju kemasa yang akan datang. Dalam kekristenan tradisional, Allah dan Yesus Kristus berdiri pertama-tama di luar waktu. Menurut dia, Allah Alkitab adalah Allah yang mempunyai “masa yang akan datang sebagai sifat-Nya yang hakiki.[6] Allah tidaklah menyatakan siapakah Ia, namun siapakah Ia kelak akan terjadi di masa yang akan datang. Allah hanya hadir dalam janji-janji-Nya hanya dalam pengharapan. Allah akan menjadi Allah kalau Ia memenuhi janji-janji-Nya dan dengan demikian mendirikan pemerintahan-Nya. Allah tidaklah absolute, Ia adalah Allah yang setiawan yang membuat janji-janji tentang masa akan datang dan Ia sendiri ditentukan oleh masa yang akan datang.[7]
Menurut Moltmann seluruh teologia Kristen harus dicetak dan dibentuk oleh eskatolgi. Eskatolgi dalam konsep Moltmann bukanlah penantian tradisional tentang kedatangan Kristus kedua kalinya. Eskatolgi oleh Moltmann ditafsirkan sebagai keterbukaan kepada masa yang akan dtang, kebebsan masa yang akan datang. Masa mendatang adalah suatu yang tidak dikenal baik oleh manusia maupun Allah. Orang Kristen injili menghubungkan dengan erat kebangkitan Kristus dan ekatologi. Kristus yang sudah bangkit adalah “buah sulung kebangkitan”. Kematian dan kebangkitan Kristus adalah jaminan Allah akan kebangkitan yang akan datang, permulaan daripada kebangkitan akhir, yaitu sebuah fakta sejarah yang member makna pada masa depan. Tetapi menurut Moltmann tidak hanya kebangkitan tubuh Kristus terjadi dalam sejarah. Dalam kekritenan tradisional kebangkitan Kristus adalah dasar dalam sejarah bagi kebangkitan akhir, kebangkitan akhir merupakan dasar kebangkitan Yesus.[8]
Moltmann membalikkan kristologi Pannienberg dan pendekatanya. Kristologi Pannienberg suatu kristologi dari bawah, agak berat sebelah dan terlalu optimis. Pannienberg menonjolkan kebangkitan Yesus sebagai peristiwa yang memutuskan. Tetapi sebenarnya hanya sehubungan dengan pernyataan. Sebab kebangkitan hanya menyingkapkan apa yang sudah terkandung dalam Yesus di dunia. Kebangkitan bukanlah sesuatu yang serba baru, yang menambah sesuatu. Dengan tekanannya pada kebangkitan Pamienberg juga mengaburkan makna khusus kematian Yesus di salib. Kematian itu dalam pendekatan Pamienberg hanya suatu "peralihanan," yang kalau tidak ada tidak berubah apa-apa. Moltman agak sehaluan dengan tradisi Reformasi dan pemikiran K. Barth. Dalam kristologi (dari alas) ditekankan segi soteriologis. Tentu saja soteriologi mengandaikan kristologi, tetapi minat Moltmami tertarik oleh yang pertama. Moltmann tidak menyusun kristologi soteriologinya sekitar "Firman Allah," Yesus Kristus sebagai penyataan Allah (Barth. Pannienberg). Tekanan terletak pada kematian Yesus, yang sudah barang tentu tidak terlepas dari kebangkitan. Kedua ini menjadi satu peristiwa penyelamatan. Moltmann tidak terlalu merepotkan diri dengan masalah historisitas Yesus. Historisitas serta hal ihwal Yesus dalam garis-garis besarnya diterima seperti diwartakan Perjanjian Baru. Itu menjadi prasyarat untuk pemikiran lebih lanjut. Pikiran Moltmann itu berpusatkan penderitaan dan kematian Yesus di salib. Itulah yang menjadi pokok inti iman Kristen. Dililiat daii sisi manusia Yesus dibunuh oleh karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat sosio-religius di zamannya. Dan semua orang yang percaya kepada Yesus Kristus pun tidak pemah dapat menyesuaikan drii. berarti: mereka harus menderita sebagai pengikut Yesus dan menjadi dinamika yang mengubah masyarakat menuju ke akhir yang melampaui dunia, tetapi sekaligus diantisipasikan di dalam dunia yang berisikan penderitaan. kegagalan dan kematian.
Keberatan Moltmann terhadap para ahli tafsir (umpamanya, J. Weiss dan A. Schweitszer) dan para ahli dogmatik (umpamanya, K. Barth dan R. Bultmann) hingga kini bahwa mereka banyak berbicara tentang sifat eskatologis Perjanjian Baru, tetapi tidak berbuat apa-apa terhadap harapan iman kristiani akan masa depan itu. Moltmann menghendaki supaya teologi berbicara tentang Allah secara eskatologis. Ia meninggalkan cara menggambarkan Allah sebagai Tokoh yang kekal, yang tanpa bergerak berada di tempat yang tinggi, atau menggambarkan Allah sebagai Yang Terdalam dari manusia. Sebab Allah bukan berada di tempat yang tinggi atau berada di tempat yang terdalam, melainkan la berjalan mendului kita, serta dari depan menarik kita menuju masa depan. Allah mendahului perjalanan hidup kita. lalah Allah Keluaran (Allah-Exodus), Allah yang membebaskan kita dari segala kuasa. lalah Allah sejarah, Allah yang membangkitkan kita dari antara orang mati. Ialah Allah masa depan, Allah yang mengajar kita berharap.[9]
Hanya yang menderita dan mati di salib itu bukanlah seorang manusia belaka. meskipun seorang manusia tinggal sekali pun; bukan suatu "idea" atau doktrin. Yang menderita dan mati itu ialah Anak Allah yang sesungguhnya. Moltmami tetap mempertahankan ajaran tradisional bahwa Yesus sungguh-siuigguh manusia dan sungguh-sungguh Allah. Nanum Moltmami seperti sekian banyak teolog berkeberatan terhadap minus tentang adanya "dua kodrat" pada Yesus yang hanya satu. Sebab, menurut Moltmann, implikasi ajaran itu ialah: Yang menderita dan mati hanyalah kemanusiaan. sehingga Allah tidak tersentuh. Menumt Moltmann orang mesti berkata bahwa dalam manusia Yesus Allah sendiri menderita dan mati. Dan kematian Yesus dan kematian Allah sertanya benar-benar kematian mutlak. Yesus Allah ditinggalkan Allah, ditolak Allah, mengalami neraka (seperti dalam tradisi Refomasi suka dikatakan). Dengan taat dan rela Yesus menyeralikan diri kepada Allah, tetapi oleh Allah ditolak. Dengan demikian Moltmann secara teologis memempatkan penderitaan dan kematian ini di dalam Allah sendiri. Allah menjadi suatu paradoks di dalam diri-Nya. Allah menjadi nyata sebagai Allah "sub contrario." Menurut Moltmann salib Yesus menyatakan Allah lain daripada Allah yang barangkali ditemukan filsafat dan Allah lain daripada Allah seperti lazimnya dipahami dalam tradisi Kristen. Allah filsafat dan Allah tradisi itu ialah: Allah yang tidak berubah. yang tetap satia, tidak dapat menderita, tidak dapat mati, Allah kekal tak terubah. Tetapi Allah menurut inilah Kristen yang terungkap dalam Perjanjian Baru ialah Allah yang benar-benar menjadi senasib dengan manusia sampai akhir. Moltmann sangat menekankan bahwa diri Yesus menjadi inti imin Kristen. bukan "die Sache Jesu" (Marxsen. apa yang diperjuangkan dan diajarkan Yesus. relasi dengan Yesus). Bersama dengan diri Yesus juga "die Sache Jesu" mengalami kegagalan total. Tetapi tanpa kebangkitan penderitaan dan kematian Yesus tidak bermakna dan hanya menjadi kegagalan belaka. Di lain pihak kebangkitan itu tidak membatalkan penderitaan dan kematian. Itu tetap suatu realitas yang oleh kebangkitan seolah-olah diabadikan. Kebangkitan itu menyatakan siapa yang menderita dan mati di salib, memberi kematian di salib makna penyelamatan dan menjadikan peristiwa penyelamatan itu definitif. Dalam kebangkitan menjadi jelas bahwa kematian Yesus, kematian orang berdosa, nyatanya kematian untuk orang berdosa. Padahal kebangkitan Yesus menjadi kebangkitan manusia Yesus mendahului kebangkitan kita, manusia berdosa. Berkat kebangkitan kematian Yesus nyatanya mempunyai makna dan daya penyelamatan. Tetapi juga sebaliknya: berkat kematian Yesus kebangkitan-Nya mempunyai makna penyelamatan. Kedua peristiwa itu saling melengkapi dan saling membutulkan. Kematian Yesus seolah-olah suatu kekeliruan dari pihak manusia yang membunuh Allah. Kekeliruan itu oleh Allah dibetulkan dengan membangkitkan Yesus. Sasaran utama iman Kristen ialah Yesus, Anak Allah, yang tetap Yesus yang disalibkan dan dibangkitkan.
Gagasan yang demikian itu terdapat juga di dalam Perjanjian Baru. Di sini jelas, demikian menurut Moltmann bahwa Allah itu Allah yang membangkitkan dari antara orang mati. Kitab Perjanjian Baru menceritakan bahwa sesudah Paskah para murid mengenal Yesus sebagai Yang Dulu disalibkan. Mereka bersaksi dan mem-beritakan identitas yang ada antara Yang Bangkit dan Yang Disalibkan. Salib mempunyai unsur historis (kejadian yang terjadi di dalam sejarah), sedang kebangkitan mempunyai unsur eskatologis. Bagaimana kedua unsur yang tidak sama ini dapat dihubungkan di dalam pemberitaan Paskah? Jadi sebenarnya, menurut Moltmann, cerita-cerita Paskah tidak berlagak mengemukakan "apakah kebangkitan dari antara orang mati" itu, juga tidak berlagak menguraikan "apakah sebenarnya yang terjadi" di dalam kebangkitan Yesus itu. Cerita-cerita itu sebenarnya hanya menyimpulkan dari dua pengalaman, yaitu pengalaman pada waktu penyaliban dan pengalaman dalam penampakan-penampakan Yesus. Pengalaman dalam penyaliban Yesus bagi mereka berarti pengalaman yang menunjukkan betapa duta Allah (Yesus) ditinggalkan oleh Allah, atau betapa Allah juga ditimpa oleh kesia-siaan atau ketiadaan yang mutlak. Pengalaman dalam penampakan-penampakan Yesus yang telah disalib yang tampak sebagai Tuhan yang telah hidup, bagi mereka berarti, bahwa yang telah ditinggalkan Allah itu ternyata dekat dengan Allah, atau penampakan-penampakan itu mewujudkan penyataan atau pengungkapan ketuhanan Allah di dalam Kristus yang telah disalibkan dan mati, atau juga dengan penampakan-penampakan itu suatu hal yang baru sama sekali telah meniadakan apa yang sia-sia atau apa yang kosong secara radikal. Namun, keduanya perlu disatukan. Menurut para murid, kesatuannya terdapat di dalam apa yang terjadi di antara kedua macam pengalaman tadi, yang "disebut pembangkitan orang mati". Padahal "pembangkitan dari antara orang mati" itu adalah suatu ungkapan eskatologis. Oleh karena itu, kejadian di antara penyaliban dan penampakan-penampakan Yesus itu sebenarnya suatu kejadian eskatologis. Sebagai kejadian eskatologis kebenarannya akan dibuktikan kelak pada akhir zaman. Dengan ungkapan eskatologis itu para murid tidak bermaksud menceritakan apa yang telah terjadi, tetapi mengungkapkan harapan eskatologis. Demikianlah di dalam Perjanjian Baru, Allah telah memperkenalkan diri-Nya di dalam kebangkitan Yesus. Penyataan atau wahyu Allah di dalam kebangkitan Yesus itulah suatu hal yang baru sama sekali di dalam sejarah. Dengan penyataan yang demikian itu, menurut Moltmann, Allah telah meng-hadirkan secara fragmentaris penyataan atau wahyu-Nya yang terakhir, yang kelak akan diungkapkan di dalam kemuliaan kerajaan-Nya, serta yang kini meraberi perwujudan pendahuluan dari penyataan atau wahyu-Nya yang terakhir itu dalam bentuk janji. Oleh karena itu, hakikat Allah sebenarnya tidak diuraikan dengan ketentuan-ketentuan metafisis yang tradisional. Sebab penyataan atau pengungkapan diri Allah itu dipandang dari segi yang baru sama sekali di dalam sejarah yang akan terjadi yang terakhir. Masa depan Allah ini harus diteguhkan sebagai kedatangan (adventus) atau sebagai kehadiran Qmrousia). Hakikat Allah tidak terletak di dalam proses terjadinya dunia, tetapi di dalam parousia, di dalam kedatangan-Nya yang sekarang dan di dalam kehadiran-Nya yang akan datang. Masa depan diharapkan dari Allah, sebagai kuasa yang menjadikan segala sesuatu menjadi baru serta mengubah bentuk segala sesuatu. Jika masa depan dipandang sebagai cara Allah berada, hal itu berarti, bahwa Allah masa depan itu berbuat terhadap masa kini dan masa yang lampau. Bahwa sekarang Allah belum menyatakan atau mengungkapkan diri sepenuhnya, hal itu disebabkan kini Allah belum memenuhi seluruh apa yang telah la janjikan. Apa yang akan mengungkapkan ketuhanan Allah ialah penjadian segala sesuatu menjadi baru, waktu kemuliaan dan kasih-Nya berada di dalam segala sesuatu yang ada. Hakikat Allah ialah janji-Nya yang diberikan di dalam sejarah, kesatuan dan kekuasaan yang dengan-Nya la memenuhi janji-janji-Nya dan pemenuhan janji-janji itu di masa depan.
Pokok iman itulah menjadi dasar pengharapan yang tak tergoncangkan. Eksistenisi manusia tidak dapat tidak mengalami kegagalan (kematian) dan dari dalam tidak mempunyai makna sama sekali (sepeiti juga dikatakan oleh eksistensialis ateis dari Francis, Sartre. Camus). Tetapi dalam eksistensi dan hal iliwal Yesus tersingkap mana makna dan bagaimana eksistensi manusia bennakna. Dengan pendekatamiya itu Moltmann mengangkat kembali dan dengan caranya sendiri mau memecahkan suatu masalah yang sejak abad EI sudah ada. Soalnya sebagai berikut: Bagaimana dapat dipikirkan sekaligus: Allah (Anak Allah. Firman Allah yang sehakikat dengan Bapa) dan manusia (kemanusiaan) real dan historis, khususnya dalam penderitaan dan kematian real. Problem itu ialah masalah "kenosis" Allah (bandingkan dengan Flp 2:5-11). Di kalangan Refomiasi khususnya di Inggris, masalah itu hangat diperdebatkan selama abad XK dan pada awal abad XX (Misalnya: A. Fairbaim, Chrisin modem Theology. 1893; Ch. Gore. Bampton Lecture. 1891: F. Westton. The One Christ, 1907). Di Jerman pun masalah "kenosis" itu hangat diperdebatkan. kliususnya sehubungan dengan kritikD. E Strauss. Tokoh penting dalam debat itu ialah G. Tliomasius (± 1875). Menurutnya Anak Allah pra-existen (ialah kehendak Allah) dalam inkarnasi menjadi terbatas dalam ciri-ciri yang menyangkut dunia, sehingga misalnya tidak lagi menjadi pengantara penciptaan. W. F Gess (± 1891) inilah berkata bahwa Finnan Allah meninggalkan semua ciri ilahi dan berubah menjadi manusiawi. Usaha untuk memecahkan soal itu sebenamya kurang berhasil. Namun. perdebatan itu menyadarkan kembali masalah yang ada dan misteri dan tidak tertembus. Moltmann sekali lagi berusaha dan boleh dikatakan ia membuka jalan baru, justu dengan meninggalkan paham lama tentang Allah yang tidak berunah dan tidak terkena oleh penderitaan dan kematian Yesus di salib. Di lin pihak pendekatan Moltmann mendapat juga cukup banyak kritik, sehiingga masalah belum juga dipecahkan. Nampaknya bahwa, menumt Moltmann. Allah sendiri menyalibkan Yesus. [10]
            Manusia tidak seharusnya secara pasif menanti masa depan tetapi harus ikut aktif berperan serta dalam masyarakat. Tugas gereja adalah menyampaikan beritanya sedemikian rupa sehingga pada masa kini, masa mendatang dapat menggenggam setiap orang dan mengarahkannya dan mengambil tindakan yang mennetukan untuk membentuk masa yang akan datang. Tujuan dari gereja tidak untuk “melaporkan mengenai masa lalu tetapi untuk mengubah masa yang akan datang. Masa kini sendiri tidaklah penting. Apa yang penting ialah bahwa pada masa kini yang akan datanga menggenggam setiap orang “ Manusia harus sadar akan kemungkinan-kemungkinan “kemesiasan”nya.
Menurut Moltmann tidak ada bentuk-bentuk atau struktur yang mutlak dalam dunia ini yang diberikan Allah pada penciptaan. Berlawanan dengan ajaran Kristen tradisional Moltmann menegaskan bahwa Allah tidak menetapkan peraturan-peraturan yang berotoritas mutlak, yang harus digunakan dalam membentuk masa yang akan datang. Masa yang akan datang adalah kebebasan dan kebebasan adalah relativitas. Tugas gereja adalah menjadi alat dan melalui alat tersebut Allah akan membawa perdamaian sosial yang universal. Sebagaimana seorang komentator tentang Moltmann “Kerajaan anugerah berubah menjadi kerajaan kuasa yang universal”.[11] Peran gereja dalam masyarakat menggunakan revolusi sebagai satu sarana yang pantas, tetapi tidak perlu menjadi satu-satunya sarana. Dan dalam dorongan revolusioner yang menuju ke masa depan ini, “masalah memakai kekerasan atau tidak” disebut “masalah bersifat khayalan”,yang ada hanyalah pertanyaan tentang penggunaan kekuatan yang dibenarkan dan yang tidak dibenarkan, serta pertanyaan apakah sarana-sarananya sesuai dengan tujuannya.[12] Masa yang akan datang dalam masyarakat maka kategori masa lampau dalam masyarakat haruslah dibuang. Menurut Moltmann tidak ada bentuk-bentuk atau struktur yang mutlak dalam dunia ini yang diberikan Allah pada penciptaan, sehingga berlawanan dengan ajaran Kristen tradisional Moltmann.
            Teologi sekuler dalam teologia pengharapan terlihat pula kesadaran yang mendalam akan tanggung jawab gereja terhadap dunia. Penganut-penganut Calvin dapat juga bersimpati dengan keinginan Moltmann untuk melihat Alkitab dari awal sampai akhir sebagai satu kitab eskatologis. Setiap konservatif akan pula menginsyafi kekeliruhan-kekeliruhan yang mencolok dalam ajaran Moltmann dan kengerian yang mungkin dihasilkan oleh pandangan etikanya.
1.      Moltmann berkarya dari praanggapan bahwa “teologi kalam” adalah satu-satunya penunjuk yang “tepat” untuk teologia dialektik.[13] Sebenarnya seperti didalihkan oleh Braaten, Moltmann membawa prinsip-prinsip Barth lebih jauh.[14] Barth telah memindahkan eskatologi ke wilayah di luar pengalaman manusia melalui pemakaiannya akan dialektik Historie-Geschichte. Moltmann membawa polemik yang menentang adanya wilayah sejarah yang obyektif ini selangkah lebih jauh, menolak “sudah terjadinya” sejarah untuk suatu pandangan sejarah yang ditelan oleh “belum terjadinya.” Jika praanggapan Barth mengoyak kemungkinan akan adanya hubungan antara iman dan sejarah, Moltmann telah lebih jauh mengoyak kemungkinan adanya sejarah itu sendiri. Dialektika Kant yang diserang Moltmann dalam Barth justru telah berbalik pada pandangannya sendiri.[15]
2.      Walaupun Moltmann menghiasi teologinya dengan idiom-idiom Alkitabiah, yaitu “eskatologi” dan “kebangkitan” serta “penyempurnaan, “ namun sistemnya jauh lebih berhutang kepada Marxisme daripada kepada Kristus. Dan sekali lagi keserasian paham dialektik yang membentuk inti Marxismes akan menemui titik-titik kontak dengan konsep kebenarang dialektis yang membentuk corak nada baru neo-ortodoksi Moltmann.
3.      Pandangan ekstologi Moltmann kehilangan pusat alkitabiahnya. Pusat tersebut adalah kedatangan Allah di dalam Kristus untuk menyelamatkan umat-Nya. Ketika Yesus mati dan bangkit kembali tahun 1900 tahun yang lampau “hari-hari terakhir” mulailah (Kis. 2:17; Ib. 1:2; 1 Yoh. 2:18). Suatu hari kelak, ketika Yesus kembali di atas awan-awan kemuliaan, maka penyempurnaan hari-hari akhir itu pun terjadilah. Tetapi kita tidak menemukan Kristus pada pusat eskatologi Moltmann. Eskatologinya adalah berpusatkan pada manusia, dengan manusia yang memandang pada masa depan. Karena itu, para kritikus dengan bijaksana telah menunjukkan bahwa lebih tepat bila gagasan Moltmann disebut sebagai “futurologi” daripada “eskatologi”. Sasaran dari masa yang akan datang Moltmann bukanlah pernyataan sepenuhnya dari kemuliaan Kristus, melainkan kebangunan Utopia (keadaan yang sempurna) di muka bumi ini.
4.      Bagi Moltmann kerajaan Allah dihantar oleh politik dan revolusi. Bagi rasul Paulus, Kerajaan Allah adalah, dan akan, didatangkan oleh pemberitaan kuasa yang menyelamatkan dari Tuhan Yesus Kristus (Kis. 28:30-31). Bagi Moltmann, kerajaan itu adalah sebagai realitas dunia yang jelas. Bagi Kristus, Kerajaan Allah hanya dapat dimasuki melalui iman kepada-Nya (Yoh. 3:3,5) dan Kerajaan itu membawa damai, bukan revolusi (Rm. 14:17).
5.      Karena Moltmann membangun pada aksioma (ajaran dasar) filsafat bahwa waktu adalah substansi realitas, maka ia harus membangun kembali Allah yang cocok dengan konsep realitasnya yang sempit itu. Masa akan datang bukan saja menjadi sesuatu yang tak diketahui bagi manusia. Tetapi juga menjadi sesuatu yang tak diketahui oleh Allah. Allah, menurut Moltmann, tidak lagi yang akan datang, dihanyutkan oleh gerakan waktu. Di gunung sinai, Allah berkata kepada Musa, “Aku adalah Aku.” Moltmann tidak membiarkan Allah mengatakan demikian kepadanya.[16]

Inti teologi harapan Moltmann ialah teologi politika, yaitu teologi yang pada hakikatnya mewujudkan praktik dan perealisasi-an pengutusan Kristus di dalam dunia mi. Pengertian "politik" di sini diambil dalam artinya yang seluas-luasnya, yang di dalamnya mengandung nasib manusia dan alam semesta. Oleh karena itu, kawasan politik ialah daerah yang luas, tempat kemungkinan-kemungkinan yang membangun dan yang merusak dana-dana serta pemanfaatannya dari kuasa-kuasa alam semesta dan hubungan-hubungan manusia oleh masyarakat manusia. Teologi kristiani dipanggil untuk menanyakan efek-efek sosial dan politik apa yang harus dibicarakan secara teologis dalam membicarakan Allah di dalam situasi yang khususan pengutusan Kristus di dalam dunia ini. Kriteria bagi iman dan teologi ialah praktik. Sehingga eskatologi kristiani bukan hanya bersikap menerima dan pasif, melainkan juga harus memiliki harapan yang produktif dan yang dapat mengubah bentuk-bentuk bagi masa depan. Pengutusan kristiani tidak akan direalisasikan dalam pemenungan. Pengutusan kristiani tidak hanya berarti menunggu-nunggu kedatangan Kerajaan Allah dengan membiarkan keadaan masa kini dalam keadaan seperti ada-nya. Pengutusan itu tidak berarti memimpikan masa depan, dengan mengosongkan masa kini. Pengutusan itu menarik harapan masa depan ke dalam kesengsaraan masa kini dan memakainya dalam inisiatif-inisiatif yang praktis guna mengatasi kesengsaraan mi. Hanya dengan cara inilah para orang percaya akan mengerti dirinya sebagai teman sekerja Allah dan sebagai pekerja-pekerja yang mem-bangun masa depan, jadi bukan hanya sebagai para penafsir masa depan.[17]





BAB III
PENUTUP
Teologi Pengharapan dari Moltmann dapat dirangkum sebagai berikut: Allah adalah bagian dari proses waktu dan bergerak ke arah masa depan. Karena itu Allah tidak Absolut, tetapi Ia sedang berjalan ke arah masa yang akan datang, dimana janji-janji-Nya akan digenapi. Masa depan merupakan natur esensi dari Allah. Kebangkitan Yesus Kristus sebagai peristiwa sejarah adalah tidak penting. Kepentingan dari kebangkitan Kristus adalah eskatologikal dan harus dipandang dari masa depan, karena hal itu memberikan suatu pengharapan bagi kebangkitan umum di masa depan. Jangan melihat dari masa depan dari kuburan yang kosong. Moltmann mengusulkan untuk melihat ke masa depan yang disahkan oleh kebangkitan Kristus. Manusia juga harus dilihat dari sudut pandang masa depan, “manusia dapat dipahami, hanya dalam kaitan dengan referensi pada suatu sejarah yang tidak damai, dan terus menerus menguak sejarah dalam relasi dengan masa depan Allah.”
Solusi bagi manusia adalah mengasosiasikan dirinya dengan Allah “yang menyingkapkan diri-Nya, pada saat manusiaa direndahkan dan dilecehkan.” Moltmann menyebut hal itu sebagai teologi salib. Manusia berbagi dalam teologi salib ini dengan menerima tantangan hidup sebagai saat masa depan yang masuk ke masa sekarang. Manusia harus secara aktif berperan serta dalam masyarakat untuk menghasilkan perubahan-perubahan. Gereja-gereja suku, kelas sosial, status dan nasional’ harus dihapuskan. Gereja memiliki kemampuan untuk membentuk masa depan dan harus dapat membawa berita yang mengubah masyarakat. Gereja harus melihat lebih jauh dari keselamatan pribadi dan menantang semua penghalang dan struktur di antara orang-orang yang berbeda. Gereja merupakan alat untuk Allah membawa perubahan dan rekonsiliasi antara yang kaya dan yang miskin, antara suku-suku dan struktur-struktur yang palsu. Revolusi dapat menjadi salah satu cara yang dipakai gereja untuk mengakibatkan perubahan.
Moltmann berdasarkan penekanannya pada masa depan, menyangkali sejarah yang umum dan normal. Ia menolak signifikansi dan kehistorisan kebangkitan Yesus Kristus. Dalam usaha menyejajarkan sejarah dan eskatologi, ia meyangkali arti sebenarnya dari sejarah dan peristiwa-peristiwa sejarah. Dalam konsepnya tentang Allah, Moltmann menyangkali ketidakberubahan Allah (Mal. 3:6) dan mengusulkan Allah yang tidak absolut, “tetapi yang sedang begerak ke masa depan.”




[1] Wisma Padia, Isu-isu Kristologi Kontemporer, (Sekolah Tinggi Theology Injil Philadelphia), 55-56.
[2]Celia Deane- Drummod, Teologi dan ekologi (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 132
[3] Harvie M. Conn, Teologi Kontemporer, (Malang: Literatur SAAT, 2012), 96-97.
[4] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris abad ke 20 (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 135.
[5] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris abad ke 20 (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 136.
[6] Jurgen Moltmann, The Theology of Hope (New York: Harper and Row, 1967), 29-42.
[7] Harvie M. Conn, Teologi Kontemporer, (Malang: Literatur SAAT, 2012), 98.
[8] Jurgen Moltmann, Religions, Revolution and the Future (New York: Charles Scribner’s Sons, 1969), 52.
[9] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris abad ke 20 (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 136.
[10] Wisma Padia, Isu-isu Kristologi Kontemporer, (Sekolah Tinggi Theology Injil Philadelphia), 55-56.
[11] David Scaer, op. Cit., 76.
[12] Moltmann, op. Cit., 143.
[13] Disebut dalam James M. Robinson dan John B. Cobb, Jr., Theology as History (New York: Harper and Row, 1967) 17.
[14] Carl Braaten, History and Hermeneutcs, op. Cit., 178.
[15] Van Till,  The Great Debate Today, op. Cit, 202-204.
[16] Harvie M. Conn, Teologi Kontemporer, (Malang: Literatur SAAT, 2012), 103-104.
[17]Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris abad ke 20 (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 138.


ANALISA BENTUK KONTEKS KITAB ROMA



ANALISA BENTUK
Konteks Umum
Kitab Roma adalah kitab doktrinal tulisan Rasul Paulus yang paling logis dan sistematis. Dipengaruhi oleh kenyataan-kenyataan di Roma, kitab ini adalah suatu dokuman yang “langka”. Ada sesuatu yang terjadi yang menyebabkan Paulus untuk menulis surat ini. Sebagai tulisan Paulus yang paling bersifat netral, di dalamnya cara Paulus menghadapi permasalahan yang ada (barangkali kecemburuan yang terdapat diantara orang-orang Yahudi yang percaya dengan kepemimpinan kafir, bandingkan pasal 14:1-15:13) merupakan pernyataan yang jelas dari Injil beriikut penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.  Pemberitaan injil oleh Paulus di kitab Roma telah mempengaruhi kehidupan gereja di segala zaman. Memahami kitab Roma adalah memahami Kekristenan! Surat ini membentuk kehidupan dan pengajaran Yesus menjadu suatu batu dasar kebenaran bagi gereja di segala zaman. Martin Luther berkata mengenai kitab Roma: “Buku terutama dari Perjanjian Baru dan injil yang paling murni!” [1]
Beberapa orang menganggap Surat Roma sebagai suatu ringkasan komprehensif dari seluruh teologi Paulus, letapi itu asumsi yang kurang tepat dan tak berfaedah. Memang Paulus ada dalam keadaan jiwa yang lebih reflektif ketika ia menulis Surat Roma ketimbang sewaklu menulis surat Galatia atau Surat-surat Korintus. Tetapi ada beberapa aspek in mikirannya yang penting yang tidak tampak sama sekali di sini - antara lain kepercayaannya akan kedatangan kembali Yesus (parousia), dan tentang hidup setelah mati. Apa yang dikatakannya tentang sifat jemaat djlam Surat Roma juga sangat terbatas dibanding dengan uraiannya yang. Lebih lengkap dalam 1 Korintus.
Surat Roma lebih baik dipahami sebagai suatu uraian yang disusun secara lebih teratur terhadap beberapa tema pokok yang dibahas Paulus dalam Surat Galatia dan 1-2 Korintus (terutama 1 Korintus). Ahli terkemuka abad kc-19, J. B. Lightfoot. pernah menulis, "Hubungan Surat Galatia dengan Surat Roma adalah seperti hubungan model yang kasar dengan patung yang telah selesai". Pengamatan ini cocok, namun situasi di Korintus pasti juga di benak Paulus pada waktu itu. Mungkin Iebih tepat bila dikatakan Surat Roma adalah penguraian dari Surat Galatia, yang dipandang melalui kacamata situasi di Korintus.[2]
Dalam Surat Roma, Paulus tidak hanya menyiapkan diri bagi kunjungannya ke ibu kota kerajaan, ia juga sedang memperhalus beberapa aspek pemikirannya yang ternyata dapat disalahtafsirkan. Hal ini merupakan prioritas utama pada waktu itu, sebab Paulus tahu netibanya di Yerusalem dengan dana yang dikumpulkan, ia harus memberikan penjelasan yang memuaskan mengenai dirinya kepada orang Kristen Yahudi di sana. Mungkin Surat Roma merupakan konsep dari apa yang hendak dikatakannya kepada mereka.
Oleh karena isi Surat Roma begitu dekat hubungannya dengan surat-surat Paulus sebelumnya kepada jemaat-jemaat di Galatia dan di Korintus, kita tidak perlu meringkaskan dengan begitu rinci. Surat Roma dapat dibagi dalam tiga bagian utama yaitu, Bagaimana mengenal Allah (Rm. 1-8), Israel dan keselamatan (Rm. 9-11) dan Perilaku Kristen (Rm. 12-15).[3]
Surat Roma ini merupakan surat Paulus yang paling panjang, paling teologis, dan paling berpengaruh. Mungkin karena alasan-alasan itulah surat ini diletakkan di depan ketiga belas suratnya yang lain. Paulus menulis surat ini dalam rangka pelayanan rasulinya kepada dunia bukan Yahudi. Bertentangan dengan tradisi gereja Katolik-Roma, jemaat di Roma tidak didirikan oleh Petrus atau rasul yang lain. Jemaat di Roma ini mungkin didirikan oleh orang dari Makedonia dan Asia yang bertobat di bawah pelayanan Paulus, mungkin juga oleh orang-orang Yahudi yang bertobat pada hari Pentakosta (Kis 2:10). Paulus tidak memandang Roma sebagai wilayah khusus dari rasul lain (Rom 15:20).
Di surat Roma Paulus meyakinkan orang percaya di Roma bahwa dia sudah berkali-kali merencanakan untuk memberitakan Injil kepada mereka, namun hingga saat itu kedatangannya masih dihalangi (Rom 1:13-15; Rom 15:22). Dia menegaskan kerinduan yang sungguh untuk mengunjungi mereka sehingga menyatakan rencananya untuk datang dengan segera (Rom 15:23-32).[4]
Ketika menulis surat ini, menjelang akhir perjalanan misioner yang ketiga (bd. Rom 15:25-26; Kis 20:2-3; 1Kor 16:5-6), Paulus berada di Korintus di rumah Gayus (Rom 16:23; 1Kor 1:14). Sementara menulis surat ini melalui pembantunya Tertius (Rom 16:22), dia sedang merencanakan kembali keYerusalem untuk hari Pentakosta (Kis 20:16; sekitar musim semi tahun 57 atau 58) untuk menyampaikan secara pribadi persembahan dari gereja-gereja non-Yahudi kepada orang-orang kudus yang miskin di Yerusalem (Rom 15:25-27). Segera setelah itu, Paulus mengharapkan dapat pergi ke Spanyol untuk menginjil dan mengunjungi gereja di Roma pada perjalanannya untuk memperoleh bantuan dari mereka bila makin ke barat (Rom 15:24,28).
Tema Surat Roma diketengahkan dalam Rom 1:16-17, yaitu bahwa di dalam Tuhan Yesus dinyatakan kebenaran Allah sebagai jawaban terhadap murka-Nya kepada dosa. Kemudian Paulus menguraikan kebenaran-kebenaran dasar dari Injil. Pertama, Paulus menekankan bahwa persoalan dosa dan kebutuhan manusia akan kebenaran adalah umum (Rom 1:18--3:20). Karena baik orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi berada di bawah dosa dan karena itu di bawah murka Allah, tidak ada seorang pun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah terlepas dari karunia kebenaran melalui iman kepada Yesus Kristus (Rom 3:21--4:25).
Setelah dibenarkan secara cuma-cuma oleh kasih karunia melalui iman dan setelah mendapatkan keyakinan akan keselamatan kita (pasal 5; Rom 5:1-21), karunia kebenaran Allah itu dinyatakan dalam kematian kita bagi dosa dengan Kristus (pasal 6; Rom 6:1-23), pembebasan kita dari pergumulan untuk mencapai kebenaran menurut hukum Taurat (pasal 7; Rom 7:1-26), pengangkatan kita sebagai anak-anak Allah dan hidup baru kita "melalui Roh" yang menuntun kita kepada kemuliaan (pasal 8; Rom 8:1-39). Allah sedang mengerjakan rencana penebusan-Nya kendatipun ketidakpercayaan Israel (pasal 9-11; Rom 9:1--11:36).
Akhirnya, Paulus menyatakan bahwa kehidupan yang diubah dalam Kristus mengakibatkan penerapan kebenaran dan kasih pada semua bidang kelakuan -- sosial, sipil, dan moral (pasal 12-14; Rom 12:1--14:23). Paulus mengakhiri Surat Roma dengan keterangan tentang rencananya pribadi (pasal 15; Rom 15:1-33) dan ucapan salam pribadi yang panjang, nasihat terakhir, dan sebuah kidung pujian (pasal 16; Rom 16:1-27).[5]






Konteks Khusus
Konteks Dekat
            Pada masa Paulus kota Roma sangat penting. Paulus sendiri menyatakan betapa kuat keinginannya untuk memberitakan Injil di sana. Sebagai ahli siasat memberitakan Injil, ia menyadari pentingnya peranan jemaat Kristen di pusat kerajaan Romawi itu dan, boleh jadi hal ini mempengaruhi bentuk Surat Roma. Asal usul jemaat yg begitu penting ini tidak kita diketahui, dan mereka-rekanya tidaklah berfaedah. Mungkin jemaat itu didirikan oleh orang-orang yg bertobat pada hari Pentakosta, yg kembali ke rumah mereka di Roma dengan luapan kegembiraan karena iman mereka yg baru. Tapi kendati orang Roma disebut dalam Kis 2, tidaklah dirinci apakah mereka bertobat dan menjadi pengikut Kristus pada hari itu. Perjalanan antara Roma dan kota-kota propinsi relatif mudah zaman itu, dan tentu banyak pengikut Kristus yg bepergian melalui jalan raja kerajaan. Ketika Paulus menulis kepada jemaat Roma, jemaat itu sudah cukup besar. Kaisar Klaudius mengusir orang Yahudi dari Roma, yg menurut Suetonius adalah karena ‘Chrestus’. Jika pengusiran itu berkaitan dengan jemaat Kristen, maka mungkin jumlah anggota jemaat Roma sudah sangat besar. Besar kemungkinan bahwa anggota jemaat Roma terdiri dari Yahudi dan non Yahudi, dan kelompok terakhir adalah mayoritas. Komposisi demikian cocok dengan keadaan kota metropolitan di mana Yahudi adalah minoritas, dan kemungkinan ini didukung oleh Rm. Nampaknya Paulus kadang-kadang berbicara khusus kepada kelompok Yahudi, seperti teracu dalam sebutan Abraham ‘bapak kits’ (Kis 4:1) dan acuan pembicaraan langsung dengan para penanya Yahudi dalam ps 2; pada bagian lain ia berbicara kepada non-Yahudi (Kis 1:5 dab; Rom 11:13,28-31). Hanya ada sedikit acuan bahwa tradisi jemaat Roma mengikuti aliran Kristen-Yahudi yg berpandangan sempit, maka wajar menduga bahwa masyarakat Kristen Roma sepaham dengan Paulus. Juga tidak ada bukti perihal ketegangan antara Yahudi dan non-Yahudi seperti nyata dalam Surat Galatia.[6]
Suatu kehidupan yang dari Allah disedikan bagi setiap orang yang dibenarkan karena iman. Dengan memperkenalkan dirinya kepada mereka dalam nada yang agak lebih akrab, Paulus kembali lagi berbicara mengenai Injil Kristus, dan dengan ini perkenalan Paulus sudah mencapai puncaknya. Di dalam Injil Kristus kebenaran Allah dinyatakan, sehingga Dia dapat menyelamatkan orang yang percaya dari murkaNya. Inilah tema Surat Roma. Ini sebabnya dia rindu untuk datang dan memberitakan Injil kepada mereka. Sebenarnya dalam bahasa aslinya Paulus berkata, Sebab aku tidak malu terhadap Injil Kristus, dan bukan bahwa dia "mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil." Memang Paulus sadar bahwa orang percaya selalu tetap digoda untuk malu terhadap Injil Kristus. Dari segi pandangan manusia, Injil Kristus tidak membanggakan. Raja kita dibunuh dengan sebuah salib, suatu kematian yang amat hina. Kita memberitakan kasih Allah, suatu berita yang mudah dicemoohkan.  ...karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya...
Dia yakin bahwa Injil adalah kekuatan Allah, maka dia tidak malu memberitakannya di Roma. Keselamatan yang diceritakan di sini adalah keselamatan dari murka Allah, menurut pasal 5:9. Mulai dengan pasal 1:18, murka Allah diceritakan. Oleh karena murka itu adalah suatu murka yang sekarang dinyatakan atas segala macam kejahatan manusia, maka kita boleh mengerti bahwa kuasa Allah ini menyelamatkan orang dari hukuman dosa yang dialami sekarang (sesuai dengan penjelasan dari murka Allah, 1:18 dst.). [7]
Paulus sebenarnya telah lama ingin mengunjungi orang Kristen di Roma, tetapi keinginan tersebut selalu terhalang (Rm. 1:10-11). Menurut Roma 15:22-25, 28-32, Paulus ingin melewati Roma dalam perjalanannya ke Spanyol. Menurut Roma 1:13-15 dan 15:15-16, Paulus ingin memberitakan Injil kepada orang-orang bukan Yahudi di Roma. Jadi, nampaknya Paulus menjadikan Roma sebagai basis untuk memperluas pelayanannya ke bagian barat kekaisaran Roma. [8] Karena Paukus bukan pendiri jemaat di Roma, maka ia tidak banyak mengetahui keadaan jemaat itu. Rupanya ia memperoleh sedikit informasi mengenai keadaan jemaat itu. Rupanya ia memperoleh sedikit informasi mengenai keadaan jemaat di sana dari orang-orang Kristen yang berasal dari kota Roma. Oleh karena itu, dalam suratnya ini, ia membahas hal-hal yang berkaitan dengan keadaan nyata jemaat. Dalam surat ini, Paulus ingin meletakkan kerangka dasar Injil yang ia beritakan. [9]
Konteks Jauh
Bagian pertama Surat Roma, merupakan suatu dasar teologis yang panjang, dimulai dengan nats dari Nabi Habakuk: “Orang yang benar akan hidup oleh kepercayaannya” (Hab. 2:4). Disini Pulus melakukan gaya pembelaan yang sudah kita kenal dari Surat Galatia; dan memang banyak pokok yang dikemukakannya sama dengan pokok-pokok Surat Galatia. Semua orang, baik orang Yahudi maupun orang bukan Yhudi di bawah kuasa dosa. Di luar Kristus tidak ada jalan keluar untuk luput dari kutukan Allah terhadao dia (Rm. 1:18-3:20). Namun terbuka kemungkinan untuk menerima “kebenaran Allah”, yakni pembebasan dari vonis penghukuman Allah dan kuasa untuk mendapat bagian dalam kebaikkan Allah sendiri. Ini sesuatu yang dapat diperoleh hanya melalui iman kepada Kristus, dan bukan karena perbuatan baik (Rm, 3:21-4:25).
Sama seperti dalam Surat Galatia, Paulus menjelaskan tema ini dengan mengambil contoh dari kehidupan Abraham (Rm. 4). Ia kemudian melanjutkan (Rm. 5-8) dengan menggambarkan hasil hubungan baru dengan Allah ini: Kebebasan dari murka Allah; kebebasan dan perhambaan dosa; kebebasan dari hukum Taurat; dan kebebasan dari kematian melalui pekerjaan Roh Allah di dalam Kristus. “Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita” (Rm. 8:37). Paulus langsung membahas persoalan inti-nomianisme dalam Roma 6:1-8:39. Ia menerangkan walaupun orang-orang Kristen dibebaskan dari semua peraturan hukum eksternal dalam upaya memperoleh status yang berkenan kepada Allah, mereka pada kenyataannya telah memasuki suatu jenis pelayanan lain. Mereka bukan lagi hamba dosa (Rm. 6:17); mereka sekarang hamba Allah (Rm. 6:22). Orang-orang Kristen dibebaskan bukan untuk berbuat sesuka hatinya, melainkan supaya “menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya” (Rm. 8:29) melalui pekerjaan Roh Kudus dalam dirinya. [10]
Paulus mungkin mengutip kata-kata Yesus dalam Mar 8:38 dan Luk 9:26. Ia tidak malu terhadap isi dari injil maupun penganiayaan yang diakibatkannya (II Tim 1:12,16,18). Dalam I Kor 1:23 Orang Yahudi malu terhadap Injil karena peneguhannya tentang Mesias yang menderita, juga terhadap orang Yunani karena Injil mengajarkan kebangkitan tubuh.
Injil adalah untuk semua manusia (Oh. betapa saya suka kata-kata "setiap orang". "barang siapa". "semua"), namun percaya adalah salah satu syarat untuk penerimaan (lili. Kis 16:30-31). Syarat lain adalah pertobatan (lih. Mar 1:15: Kis 3:16.19: 20:21). Allah menghadapi manusia dengan cara membuat perjanjian. Ia selalu mengambil inisiatif dan menetapkan agenda (lih. Yoh 6:44.65). Namun ada beberapa syarat-syarat balasannya. lihat catatan pada 1:5.
Kata Yunani. yang disini diterjemahkan sebagai "percaya". dapat juga diterjeinahkan menjadi "iman" dan "kepercayaan (trust)". Kata-kata Yunani memiliki konotasi yang lebih luas dibanding kata apapun dalam bahasa Inggris. Perhatikan. bentuk kata ini adalah PRESENT PARTICIPLE. Iman yang menyelamatkan adalah iman yang bersifat terns menerus (lih. I Kor 1:18: 15:2: II Kor 2:15:1 Tes. 4:14).[11]
Aslinya kata Ibrani yang berhubungan dibalik kata Yunani "iman" berarti suatu kuda-kuda yang stabil. seorang laki-laki dengan posisi kaki yang terbuka sehingga tak mudah digeser. Lawan kata dari penggambaran PL adalah "kakiku ada dalam lumpur rawa" (Maz 40:3). sedikit lagi kakiku terpeleset" (Maz 73:2). Akar kata Ibrani tersebut adalah emttn. emunah. aman. dipakai untuk menggambarkan seseorang yang bisa dipercaya. loyal dan dapat diandalkan. Iman yang menyelamatkan tidak mencerminkan kemampuna manusia yang telah jatuli untuk berlaku setia. namun mencerminkan kesetiaan Allah! Pengharapan orang-orang percaya tidak terletak pada kemampuan mereka. namun dalam karakter dan janji-janji Allah. Ini adalah kebisa-dipercayaanNya. kesetianNya. dan janjiNya!
"Pertama-taina orang Yahudi"' Alasan dari hal ini didiskusikan secara singkat dalam 2:9-10 dan 3 dan akan dikembangkan sepenuhnya dalam pasal 9-11. Ini mengikuti pemyataan yesus dalam Mat 10:6: 15:24; Mar 7:27.
Ini mungkin berkaitan dengan kecemburuan antara Orang percaya Yahudi dan Non Yahudi di gereja Roma.[12]
            1:17 "kebenaran Allah" Frasa ini dalam konteks menuujuk pada (1) karakter Allah, dan (2) bagaiinana la memberikan karakter tersebut pada manusia berdosa. Terjemahan Jerusalem Bible menulis "ini adalah yang mengungkapkan keadilan Allah". Walau hal ini menuujuk pada gaya hidup moral dari orang-orang percaya, namun tekanan utamanya adalah status hokum mereka dihadapan Hakim yang Benar. Penganugerahan Kebenaran Allah kepada manusia yang sudah jatuh dan berdosa, sejak Reformasi. Telah dika akteristikka 11 sebagai "pembenaran oleli iman" (lib. II Kor 5:21; Flp 3:9). Inilah ayat yang telah mengubalikan kehidupan dan teologi dari Martin Luther! Naniim demikian. sasaran dari pembenaran adalah penyucian, keserupaan dengan Kristus, atau karakter kebenaran Allah (lib. Rom 8:28-29; Ef 1:4; 2:10; Gal 4:19).
Frasa ini memiliki dua PREPOSISI, ek dan eis, yang menekankan pada transisi atau pembangunan. Ia menggunakan struktur yang sama dalam II Kor 2:16 dan apo dan eis dalam II Kor 3:18. Kekristenan adalah anugerah yang diharapkan akan menjadi karakteristik dan gaya hidup. Ada beberapa kemungkiiian dalam penterjemahan frasa ini. PB dari Williams menterjemahkannya sebagai "Jalan dari iman yang memimpin kepada iman yang lebih besar". Titik teologis utama disini adalah: (1) iman datang dari Allah ("dinyatakan"); (2) manusia hams menanggapi dan terns menanggapi; dan (3) iman hams nienghasilkan kehidupan kudus. Satu hal yang pasti, "iman" dalam Kristus adalah sangat penting (lib. 5:1, Flp 3:9). Penawaran Allah akan keselamatan tergantung daiipada tanggapan iman (Mar 1:15; Yoh 1:12; 3:16; Kis 3:16, 19:20:21).
Ini adalah kutipan dari Hab 2:4. nannm bukan dari Naskah Masoratis atau Sepaiaginta. Dalam PL "iman" memiliki arti pengga kepada". Iman yang menyelamatkan didasari oleh kesetiaan Allah (lih 3:5,21,22,25,26). Bagaimanapun kesetiaan manusia adalah suatu bukti bahwa seseorang telah mempercayai syarat-syarat Allah. Teks PL yang sama dikutip dalam gal 3:11 dan Ibr 10:38. Unit tulisan yang berikut, Roma 1:18-3:20. mengungkapkan lawan dari kesetiaan Allah.[13]

Sitz Im Leben
Gendre
Logical discourse. Genre kesusastraan Alkitab ini juga disebut kesusastraan berbentuk ‘surat’ dan menunjuk pada surat-surat di Perjanjian Baru, dari mulai Kitab Roma sampai Yudas.[14]
Sastra surat-surat dalam PB yang biasa disebut sebagai epistel (epistolary literature), banyak kesesamaannya dengan jenis tulisan sastra dalam tradisi Hellenisme. Stereotip tulisan itu selalu mempunyai rangka:
1)        Pembukaan surat (prescript), yang berisi penulis, orang yang dialamatkan dan salam yang berisi harapan atau keinginan untuk sehat, mohon doa restu dan informasi lainnya.
2)        Batang tubuh surat mengungkapkan isi surat, yang berasaskan dia kepada Allah, rasa terima kasih, pemahaman situasi penulis atau kenangan bersama dan hubungan penulis dan orang yang dialamatkan, dan barulah menyentuh isi surat, apa yang diminta, harapan perkunjungan atau tantangan yang perlu dihadapi.
3)        Akhir surat, yang diikuti salam penutup, termasuk keinginan akan kesehatan orang yang dialamatkan atau orang-orang yang dikenal.
Dari jenis surat itu banyak kesamaannya dengan jenis-jenis surat dalam PB, terlebih-lebih bentuk koresponden pribadi dalam waktu Hellenisme.
dialamatkan, dan barulah menyentuh isi surat, apa yang diminta, harapan perkunjungan atau tantangan yang perlu dihadapi.
1)        Tulisan Paulus, yang tidak dipermasalahkan Paulus sebagai penulisnya. Tulisan itu ditulis di sekitar pertengahan abad pertama seperti Surat Roma, 1 Tesalonika, 1-2 Korintus, Filemon, Galatia, Filipi.
2)        Tulisan Paulus, yang dipermasalahkan karena dianggap gaya bahasa dan isi logikanya tidak sesuai dengan identitas Paulus. Surat-surat itu selalu disebut sebagai Pseudo-Paulus. Surat-surat itu ialah 2 Tesalonika, Kolose dan Efesus. Surat lain berisi masalah penggembalaan (pastoral), yang ditang-gapi oleh para penulisnya tidak lain adalah Paulus, yaitu 1-2 Timotius dan Titus.[15]
Surat-surat Paulus (bahasa InggrisPauline epistlesEpistles of Paul, atau Letters of Paul) adalah kumpulan sejumlah surat-surat tulisan Paulus yang kemudian menjadi kitab-kitab dalam Perjanjian Baru di Alkitab Kristen. Ada tiga belas surat yang dimulai dengan nama "Paulus" (Παῦλος) pada kata pertamanya, dan dengan demikian memberikan identitas Paulus sebagai penulisnya. Di antara surat-surat ini terkandung ajaran-ajaran paling awal dalam Kekristenan, termasuk perdebatan prinsip dalam gereja mula-mula, munculnya aliran-aliran yang tidak sejalan dan, sebagai bagian dari Kanon Alkitab, semua surat ini terus menerus menjadi landasan teologi Kristiani dan etika KristenSurat Ibrani tidak memuat nama "Paulus" sama sekali, meskipun pada zaman kuno dianggap juga merupakan tulisan Paulus, pada zaman sekarang masih diragukan apakah benar-benar tulisannya.[16]
Surat-surat Rasul Paulus (sama seperti surat-surat lain di Perjanjian Baru) merupakan karya sastra yang unik. Surat-surat ini berbeda dari semua gaya surat yang ditemukan dalam sastra di luar Alkitab. Di banyak surat yang ditulis atas papirus, salam penutup ditulis dalam tulisan yang berbeda dari bagian lain surat itu. Surat-surat Paulus mengikuti susunan umum ini. Yang menjadikan surat-surat ini bersifat khusus adalah unsur pernyataan dan nasihat rasuli, yang memberikannya wibawa khotbah-khotbah tertulis. Paulus mengembangkan salam baku yang hambar menjadi suatu gabungan berharga dari "kasih karunia" dan "damai sejahtera" - gagasan-gagasan yang khas kristiani dan Ibrani. Kemudian ia mengganti bagian berikut (ucapan syukur karena kesehatan dan kebahagiaan si penerima) dengan suatu berkat (yaitu, ucapan syukur karena berkat-berkat yang diterima dari Allah). Bagian utama surat-surat Paulus dimulai dengan suatu metode terkenal yang diambil dari aturan seni pidato Yunani dan Romawi. Dalam usahanya untuk menegakkan hubungan baik dengan para pembacanya, Paulus mengajukan permohonan, himbauan, atau nasihat. Kadang-kadang ia menggunakan sebuah "formula penyingkapan" (mis., "Aku mau supaya kamu mengetahui," dan "Kami tidak mau bahwa kamu tidak mengetahui"). Pada saat lain, ia mengucapkan selamat kepada para pembacanya atas keberhasilan pekerjaan mereka (bdg. Flp. 1:3-6; I Tes. 1:2-10) dan keadaan rohani mereka yang sehat (I Tes. 1:4-5; II Tes. 1:3-4). [17]
Surat-surat Paulus biasanya ditempatkan di antara Kisah Para Rasul dan Surat-surat Am. Pada sejumlah naskah kuno, misalnya minuscule 175325336, dan 1424, surat-surat Paulus ditempatkan di akhir Perjanjian Baru. Semua surat-surat tersebut memuat nama Paulus sebagai penulisnya. Sejumlah klasifikasi memasukkan Surat Ibrani, yang tidak memuat nama penulis, sebagai surat-surat Paulus, bukan termasuk ke dalam Surat-surat Am, tetapi siapa penulis Surat Ibrani masih diperdebatkan sejak zaman dahulu sampai sekarang, dan banyak yang meragukan bahwa penulisnya adalah Paulus.  Pada naskah-naskah kuno Perjanjian Baru Surat Ibrani ditempatkan di antara surat-surat Paulus:
·         antara Rom dan 1 Kor dalam mss ("naskah-naskah"): Papirus 46 dan dalam minuscule103455, 1961, 1964, 1977, 1994.[18]
Paulus mengirimkan surat ini kepada gereja yang tidak didiri-kannya dan tidak pernah dikunjunginya. Karena itu, tidak heran kalau dokumen ini berbeda sifatnya dengan surat-surat Rasul yang lainnya. Ia tidak dapat mengacu kepada kunjungannya kepada gereja itu ataupun peristiwa-peristiwa yang telah terjadi setelah keberangkatannya. Ia pun tidak membahas dalam suratnya ini 'urusan-urusannya dengan gereja itu'. Karena itu, pertanyaan yang pertama-tama muncul ialah, mengapa ia sampai menulis surat itu. 
Sebuah alasan meskipun hanya suatu alasan langsung -yang dapat segera disebutkan ialah bahwa Paulus akhirnya bermaksud, dalam memenuhi kerinduannya yang telah lama tersimpan (bnd. 1:13) untuk mengunjungi gereja itu (15:22 dyb.). Hal ini akan memberikannya alasan menulis sebuah surat. Namun anehnya ialah bahwa Paulus hanya sambil lalu saja berbicara mengenai rencananya itu dan kita tentunya tidak dapat mengata-kan bahwa rencana-rencana itu adalah tenia suratnya. Pada kenyataannya surat ini memberikan kesan sebagai suatu risalat. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah Paulus, sehubungan dengan niat kunjungannya itu, mengirimkan risalat demikian hanya kepada orang-orang di Roma.[19]
Kalau demikian halnya, dari sudut pandang yang murni sastra, dokumen ini akan menyajikan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang telah kita bicarakan sejauh ini dalam semua surat Paulus, di mana isi suratnya selalu mempunyai kaitan langsung kepada keadaan jemaat. Kita masih akan memiliki surat menurut definisi Deissmann, tetapi surat itu telah berkembang begitu jauh sehingga menjadi suatu 'episteF. Sejauh menyangkut masalah tafsiran, hal ini berarti bahwa kita tak perlu menaruh perhatian apa pun kepada situasi di Roma. Kalau surat itu meru-pakan risalat, maka pada prinsipnya ia, mungkin telah dikirimkan ke mana-mana, dan kita harus mempertimbangkan keadaan itu hanya sejauh hal itu berhubungan dengan keadaan umum jemaat-jemaat Paulus, seperti yang dilihat oleh rasul itu pada masa itu.[20]
Karena itu, masalah corak sastra dokumen ini merupakan masalah pengantar yang cukup penting. Bila kita salah menjawabnya, jelas kita akan dibawa kepada kesalahpahaman akan keseluruhan dokumen itu. Kita akan memeriksa masalah ini langkah demi langkah. Dalam 15:22-26 Paulus menulis, 'Itulah sebabnya aku selalu terhalang untuk mengunjungi kamu. Tetapi sekarang, karena aku tidak lagi mempunyai topos (tempat kerja) di daerah ini (yaitu di Timur) dan karena aku telah beberapa tahun lamanya ingin mengunjungi kamu, aku harap dalam perjalananku ke Spanyol (aku dapat singgah di tempatmu dan bertemu dengan kamu, sehingga kamu dapat mengantarkan aku ke sana . . .) Apa yang diuraikan rasul di sini adalah confessiones-nya.Hal ini berhubungan, demikian Feine-Behm, khususnya dengan latar belakang Yahudinya, yang di sini harus dihadapinya. 'Untuk alasan itu surat ini memberikan kesan lebih sebagai suatu mo-nolog ketimbang sesuatu yang ditulis untuk orang lain.' Peralihan baru pekerjaan penginjilan itu membawanya pada tindakan pe-meriksaan diri serta penjelasan, untuk menyusun suatu neraca keseimbangan atas kegiatan-kegiatannya selama ini. Usul-usul ini cukup penting untuk persoalan kategori sastra bila kita meng-golongkan surat ini, karena confessiones ini - paling tidak secara teoritis - dapat dikirim ke mana saja oleh Paulus. Tetapi dapatkah kita sungguh-sungguh menggambarkan surat ini secara tepat sebagai suatu monolog? Dan bila kita membahas masalahnya dari sudut pandang psikologis dan mengatakan bahwa saat itu merupa-kan saat yang tepat bagi Paulus untuk meninjau ulang pelayanan.
Perlawanan terhadap rasul tidak muncul karena masalah antara Kekristenan Yahudi dan bukan Yahudi, melainkan antara Kekristenan dan Gnostisisme (meskipun benar bahwa yang kedua itu mengambil bentuk Kristen-Yahudi). Untuk itu hanya ada satu kekecualian - yaitu Yerusalem. Bila kita memandang ke belakang pada Sidang para Rasul, Paulus mungkin sekali telah mengatakan bahwa ada satu masalah di sini. Karena itu, Fuchs3" telah meng-usulkan bahwa Yerusalem itulah yang secara rahasia menjadi alamat surat Roma. Bagaimanapun, hal ini sama sekali tidak menyelesaikan masalahnya, karena surat Roma bukanlah sebuah surat rahasia untuk Yerusalem, melainkan jelas merupakan surat untuk Roma. Kendati masalah-masalah ini memang Paulus hadapi di Yerusalem (dan jelas memang inilah masalahnya), hal ini tidak menjelaskan apa sebabnya ia mengirimkan surat itu - seperti yang terpaksa harus kita katakan - kepada 'alamat yang rahasia'. Sudah tentu, mungkin saja bahwa dalam menulis surat ini Paulus (dalam batas-batas tertentu) membayangkan masalah-masalah di Yerusalem.[21]
Cukup penting untuk persoalan kategori sastra bila kita menggolongkan surat ini, karena confessiones ini - paling tidak secara teoritis - dapat dikirim ke mana saja oleh Paulus. Tetapi dapatkah kita sungguh-sungguh menggambarkan surat ini secara tepat sebagai suatu monolog? Dan bila kita membahas masalahnya dari sudut pan dang psikologis dan mengatakan bahwa saat itu merupa-kan saat yang tepat bagi Paulus untuk meninjau ulang pelayanan-nya selama ini, apakah akan dapat dimengerti, atau lebih di-mengerti, kalau surat ini mengambil bentuk surat perpisahan kepada jemaat-jemaat yang telah didirikannya? Mengapa Paulus menujukan confesiones-nya ini secara khusus kepada Roma? Kita harus berupaya untuk mendapatkan alasan untuk hal itu.
Michel30' memberi penjelasan lebih lanjut. Ia berpendapat bahwa dalam 'surat didaktis' ini Paulus memaparkan suatu apolo­gia. 'Masalah sesungguhnya yang membangkitkan perlawanan berulang-ulang kepada rasul ini ialah hubungan antara Yudaisme dan paganisme (kekaflran) atau Kekristenan asal Yahudi dan Kekristenan bukan Yahudi dalam pemberitaannya.' Pemberitaan Paulus membuat ma rah "sinagoge" dari waktu ke waktu, dan Paulus tentunya takut bahwa gereja Roma akan mempercayai laporan buruk mengenai dia. Karena itu, Michel secara khusus menolak penggambaran surat ini sebagai suatu confessio.[22]
Sub Gendre
Sub-genre dari sastra tulisan PB ditemukan banyak jenisnya1", yaitu:
1.         Topos dalam Rm. 13 dan 1 Ptr. 4:7 - 5:11.
2.             Daftar sifat buruk dan kebajikan (1 Kor. 5:10-11; Kol. 3:12-14; Rm. 1:29-31; 1 Kor. 6:9-10; 2 Kor. 6:6-7; Gal. 5:19-23; Ef. 6:14-17; Flp. 4:8; Tit. 1:7-8; Yak. 3:17; 1 Ptr. 4:3; 2 Ptr. 1:5-8; Why. 9:20-21).
3.         Daftar keadaan sekitar (2 Kor. 12:10; 11:23-28).
4.         Daftar aturan perilaku dalam persekutuan Kristen (Ef. 5:21 -6:9; Kol. 3:18 - 4:1; 1 Tim. 2:1-15; 5:1-21; Tit. 2:1-10; 2 Ptr. 2:13 - 3:7).
5.         Ucapan hikmat (Gal. 5:9; 1 Kor. 15:33; Ef. 5:16).
6.         Pernyataan konfessi (Rm. 10:9; 1 Tim. 3:16).
7.         Nyanyian pujian (Flp. 2:6-11).
8.         Metafora (1 Kor. 3:9b; 2 Ptr. 2:17a; Yak. 3:6a; 1 Kor. 6:19a).
9.         Diatribe [kecaman tajam] (Rm. 6; Yak. 2:18-22).
10.     Captatio bene volentiae (Rm. 7:1; 1 Kor. 9:24) di mana penulisnya membujuk si pendengarnya/pembacanya sesuatu yang diketa-huinya.
11.     Rangkaian kata yang berisi suatu gagasan (Rm. 5:3-5; 2 Ptr. 1:57) atau yang berisi pertanyaan retorik (Rm. 8:31-32), personifi-kasi (Yak. 1:15), suatu ikatan atau kekhususan (bnd. Istilah "satu" dan semua dalam Ef. 4:4-6; istilah "baik maupun" dalam Rm. 8:38-39).[23]
Surat yang didiktekan (Paulus memperkembangkan gagasannya dalam saat mendikte) kepada seorang penulis Tertius (Rom 16:22) dalam bahasa Yunani melengkapi kekurangan sistema dan kelengkapan ajaran dengan suatu dinamika yang hidup dan asli. Pada umumnya menyolok sekali corak khotbah di situ. Uraian theologi dan nukilan-nukilan perenetis dibuat bergantian (bdk.: Rom 6:1-14). Penafsiran PL (oleh Paulus) merupakan cara penguraian yang lazim sekali dalam Yudaisme pada saat itu dan kini kadang-kadang asing sekali bagi kita. Di situ nampak jelas adanya susunan yang tertentu: (1) Pendahuluan: Salam dan hubungannya dengan Roma (Rom 1:1-17). (2) Bagian utama:
a)      Injil tentang kebenaran Allah dan dibenarkannya manusia atas dasar iman (Rom 1:18-8:39).
b)      Tempat bangsa Isr. di dalam rencana keselamatan Allah (Rom 9:1-11:36).
c)      Petunjuk-petunjuk praktis (Rom 12:1-15:13).
3)        Penutup: Salam dan permintaan perhatian (Rom 15:14-16:24) serta doksologi (Rom 16:25-27).[24]






[1] Bob Utley, Kumpulan Komentari Paduan Belajar Perjanjian Baru, Vol. 5, (TEXAS: Bible Lessons International, Marshall, 2010), 22.
[2] Jhon Drane, Memahami Perjanjian Baru, (Jakarta: Bpk. Gunung Mulia, 2011), 369.
[3] Ibid, 370.
[4] Donald C. Stamps, Alkitab Penuntun: Hidup Berkelimpahan,( Malang: Gandum Mas, 2010), 1832.
[5] Ibid, 1833.
[6] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini
[7] Dave Hagelberg, Tafsiran Alkitab oleh Dave Hagelberg, (Surabaya: Penerbit Momentum, 2011)
[8] Perjanjian Baru Sejarah, Pengantar dan Pokok-pokok (Jakarta; Bina Media Informasi, 2010), 200.
[9] Udo Schnelle, Op. Cit., hal. 109, 110, 112.
[10] Jhon Drane, Memahami Perjanjian Baru, (Malang; BPK Gunung Mulia, 2011), 370.
[11] Bob Utley, Kumpulan Komentari Paduan Belajar Perjanjian Baru, Vol. 5, (TEXAS: Bible Lessons International, Marshall, 2010), 45.
[12] Ibid, 46
[13] Ibid, 47-48
[15] Sitompul A.a. & Beyer U. Dr, Metode Penafsiran Alkitab, (Jakarta: Gunung Mulia, 2008),243.

[16] http://id.wikipedia.org/wiki/Surat-surat_Paulus , diambil pada tanggal 21 Februari 2015 pukul 14:52.
[17]http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=778&res=almanac , diambil pada tanggal 21 February 2015 pukul 18:33.
[18]Ibid.
[19] Willy Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, (Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2008), 105.
[20] Ibid, 106.
[21] Ibid, 106-107
[22] Ibid, 107-108
[23] Sitompul A.a. & Beyer U. Dr, Metode Penafsiran Alkitab, (Jakarta: Gunung Mulia, 2008),243.
[24] http://alkitab.sabda.org/dictionary.php?word=Surat diambil pada tanggal 21 februari 2015 pukul 19:09.



PENGINJILAN DAN PERTUMBUHAN GEREJA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Gereja sudah seharusnya menjadi jawaban bagi dunia ini dan selamanya Gereja harus melayani. Gereja adalah alat sekaligus wakil dari Roh Kudus untuk melaksanakan rencana dan maksud yang telah ditetapkan Tuhan Yesus Kristus, untuk menjangkau seluruh umat manusia ke seluruh dunia sesuai dengan Amanat Agung, "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." Mat 28:18-20.[1]
Amanat Agung ini ditujukan kepada semua orang, yang berarti tidak mengenal suku, bangsa dan agama, tugas kita sebagai orang percaya adalah tetap memberitakan kabar baik dengan cara yang baik dan benar. Tentunya ini juga tugas Gereja untuk melatih jemaatnya, dalam khotbah, pendalaman Alkitab, komunitas sel atau sekolah Alkitab, supaya dapat memberitakan injil dengan cara-cara yang praktis dan mudah dimengerti. Sehingga tidak hanya sekedar memenangkan jiwa saja, tetapi Gereja juga bertumbuh secara kualitas maupun secara kuantitas.
1.2  Tujuan dari Tema
Dalam pengembalaan dan penginjilan kita dapat membantu pertumbuhan Gereja dengan menjadikan semua bangsa murid Yesus" dan "jadi saksi Yesus", sehingga banyak orang yang datang sujud menyembah Tuhan. Tujuan penginjilan juga adalah menghasilkan buah-buah Injil. Firman Allah, ketika diberitakan dengan kuasa Roh Kudus akan dapat merobohkan segala kubu perlawanan di dalam pikiran manusia dan membawa hati manusia kembali untuk menaklukkan diri di hadapan takhta Allah,[2] dan juga supaya orang-orang mengerti bahwa Allah menawarkan keselamatan dan supaya mereka menerima keselamatan itu dengan iman, lalu hidup sebagai murid Yesus. Seperti yang ditetapkan dalam Perjanjian Lausanne, "Menginjili ialah memberitakan Kabar Baik bahwa Yesus Kristus mati bagi dosa-dosa kita, dan Ia sudah dibangkitkan dari antara orang mati, menurut Kitab Suci. Dalam pertumbuhan gereja yang sehat tidak pula ditentukan dari banyaknya orang dan ramainya orang berkumpul dalam suatu peribadatan yang berlangsung di hari Minggu atau tengah minggu. Keseimbangan antara kualitas dan kuantitas tentu sangatlah penting. Kualitas iman yang baik dari perkumpulan orang percaya harus dapat menarik banyak orang datang kepada Allah. Namun sebuah realitas yang baru harus dipahami bahwa gereja yang bertumbuh harus pula dapat mengembangkan pos-pos pelayanan yang pada akhirnya didewasakan dan terus berkembang. Jadi gereja yang bertumbuh harus dapat menyebar, sesuai dengan Amanat Agung. "Pertumbuhan gereja adalah suatu disiplin ilmu yang menyelidiki sifat-sifat, perluasan, perintisan, pelipatgandaan, fungsi, dan kesejahteraan gereja-gereja Kristen dalam hubungannya dengan penerapan yang efektif dari amanat Allah untuk "menjadikan semua bangsa murid-Nya" (Matius 28:18-20)

1.3  Indikator
1.      Jemaat dapat memahami dan mengerti pengertian dari Penginjilan
2.      Jemaat dapat memahami dan mengerti pengertian dari Pertumbuhan Gereja
3.      Jemaat dapat mengetahui hubungan antara Penginjilan dan Pertumbuhan Gereja
4.      Dapat mengimplikasikan dalam kehidupan pelayanan bergereja

1.4  Pembahasan
1.      Pengertian dari Pengembalaan dalam Pertumbuhan Gereja
2.      Pengertian dari Penginjilan dalam Pertumbuhan Gereja
3.      Pengertian dalam Pertumbuhan Gereja






BAB II
DESKRIPASI
Penguraikan dan penjelasan dari segi etimologisnya mengenai Misi, sehingga kita dapat memahami arti penginjilan itu apa dan dapat dalam pertumbuhan Gereja. Missiologi berasal dari kata dalam bahasa Latin missio dan bahasa Yunani logos. Mission berarti perutusan dengan pesan atau message khusus untuk disampaikan atau tugas khusus untuk dilaksanakan. Logos berarti ilmu atau studi, kata atau wacana, yang dari beberapa pengertian itu kita bisa mengambil kesimpulan bahwa misiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang perutusan. Berangkat dari segi etimologis dari kata itu, missiologi kurang lebih bisa diartikan sebagai tugas atau pesan khusus yang harus disampaikan dengan cara yang khusus pula.[3] Dalam rangka merefleksikannya secara teologis maka missiologi tidak hanya ilmu tentang perutusan melainkan juga adalah teologi tentang perutusan karena menyangkut refleksi serta tanggapan ilmiah tentang dimensi iman gereja kepada Allah dan Yesus Kristus serta keterbukaan gereja terhadap dunia. Gereja mengalami bahwa telah dipanggil dalam iman kepada Tritunggal itu dan diutus untuk mewartakan kabar sukacita kepada seluruh suku bangsa sampai ke ujung dunia.[4]  Pekabaran Injil berasal dari Allah (Missio Dei). Keinginan untuk pekabaran Injil dari semula sudah berada di dalam rencana dan tindakan  Allah. Pekabaran Injil bukanlah sebuah gagasan Perjanjian Baru atau beberapa ayat Alkitab saja, tetapi pekabaran Injil terdapat di seluruh Alkitab yang berarti bahwa misi itu merupakan sebuah kebutuhan dan juga tanggung jawab yang sangat besar bagi gereja bagi rencana Allah untuk dunia ini secara holistik.
            Kata misi sangat sering juga kita dengar dalam ruang lingkup gereja, yang berkaitan dengan tugas penginjilan dan pelayanan gereja di tengah-tengah dunia ini. Berangkat dari pengertian misi lalu kaitannya dengan tugas gereja ditengah-tengah dunia ini penulis akan memberikan beberapa gambaran terkait tugas tersebut. Masa kini, gereja tinggal memelihara dan memupuk jemaat hasil dari penginjilan yang lama, sangat sedikit sekali gereja yang mengutus pendeta atau penginjil ( missioner ) ke daerah-daerah yang benar-benar baru untuk memberitakan Injil atau melaksanakan misi seperti perintah yang disampaikan oleh Yesus dalam Amanat Agung. Menginjil ialah memberitakan Kabar Baik yang mencakup segenap daya upaya gereja dalam rangka memberitakan tentang kasih Allah, tentang dosa manusia yang kemudian melalui kematian Kristus beroleh pengampunan dengan menerima Dia sebagai Juruselamat. Penginjilan adalah berita anugerah bahwa ada pengampunan dosa oleh Allah melalui Yesus yang mati di kayu salib.[5]  Tugas gereja yang merupakan sebagai sarana penginjilan ini, diharapkan bisa dilaksanakan dengan seefektif mungkin agar mencapai sasaran dan tujuan yang telah disebutkan dalam Amanat Agung tersebut. Tugas gereja ialah pergi untuk membaptiskan dan mengajarkan kepada setiap orang, setiap suku bangsa dibumi tentang kasih Yesus yang tidak ingin ada satupun dari umat-Nya yang terhilang dari kawananannya
1.      Pengertian dari Pengembalaan dalam Pertumbuhan Gereja
Ukuran keberhasilan dalam pelayanan penggembalaan tidak bisa diukur dari kuantitas belaka tanpa memperhitungkan kualitas rohani. Justru penilaian kualitas rohani inilah yang lebih penting dari sekedar jumlah (kuantitas). Dalam surat-surat penggembalaan, Paulus selalu menasihati Timotius dan Titus untuk meningkatkan kualitas jemaat melalui ajaran-ajaran yang sehat, dan memperingatkan jemaat bahaya-bahaya atau ancaman-ancaman terhadap pertumbuhan kerohanian mereka.
Nampaknya, bagi Paulus jumlah jemaat merupakan prioritas kedua, namun kualitas jauh lebih penting. Tuhan akan merasa lebih senang melihat para penatua, diaken, dan para penilik jemaat memenuhi kriteria yang ditetapkan dan selanjutnya mempertahankan hidup rohani mereka sesuai kriteria dan standar yang benar dan sesuai dengan kehendak-Nya. Tuhan juga akan lebih senang melihat para umat-Nya tidak hanya berdoa bagi kepentingan mereka sendiri, tetapi kepentingan semua orang, termasuk para pembesar dan aparat pemerintah yang mungkin tidak mereka sukai atau menindas mereka, karena pada dasarnya Allah menginginkan keselamatan semua orang.[6]
Jadi, ukuran keberhasilan dalam pertumbuhan gereja dan pelayanan penggembalaan, harusnya diutamakan pada peningkatan kualitas rohani, sehingga kuasa doa dan karya Roh Kudus tidak sia-sia. Bila kualitas jemaat meningkat karena doa dan karya Roh Kudus, maka secara otomatis ini merupakan magnet yang mampu menarik banyak orang sehingga jumlah jemaat akan meningkat pesat.
Secara umum pelayanan penggembalaan masa kini masih mengacu pada Alkitab yang diyakini sebagai Firman Tuhan. Dengan demikian, apa yang dicantumkan dalam Alkitab harus tetap up to date dan berlaku abadi sampai kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali. Doa malahan lebih dan semakin dibutuhkan di tengah masyarakat yang semakin beragam dan semakin menuntut. Tanpa doa mustahil gereja bisa bertahan. Tanpa doa yang terus menerus (Ef 6:18-20) dari jemaat, pelayanan akan goyah dan mungkin hancur total. Ini juga berlaku Indonesia yang masih diliputi ketidakpastian (dalam bidang poleksosbud) tentunya sangat membutuhkan doa syafaat yang berkelanjutan untuk pemulihannya.[7]
Di samping itu, seperti urapan yang turun ke atas Yesus dalam Luk 4, peran Roh Kudus masih dan akan tetap dibutuhkan oleh setiap gembala. Kuasa inilah yang mampu memenuhi kebutuhan jemaat, baik secara fisik (sakit penyakit) maupun psikis - misalnya lemah mental, dan sebagainya. Kejahatan manusia yang semakin meningkat sedikit banyak pasti mempengaruhi iman dan pertumbuhan rohani seseorang. Peran Roh Kudus yang senantiasa mengingatkan dapat "dimanfaatkan" untuk membangun jemaat ke arah pertumbuhan rohani yang lebih baik.
2.      Pengertian dari Penginjilan dalam Pertumbuhan Gereja
Kitab yang menjadi pegangan utama mengenai penginjilan ke seluruh dunia dan pertumbuhan Gereja adalah Kitab Kisah Para Rasul. Kita tidak akan salah dalam memahami maksud penulis jika kita menerima ayat pendahuluan sebagai pernyataan tujuan dari kitab ini, serta Kisah Para Rasul 1:8 sebagai tema utama untuk menafsirkan bagian atau perikop pendahuluan tersebut.[8]
John Mott[9] pernah berkata: “Penginjilan itu berarti memperkenalkan Yesus Kristus, sehingga ia dikasihi, dipercayai dan ditaati”. Menurut D.T. Niles, penginjilan itu seumpama menerangkan kepada orang yang hampir mati kelaparan dan dahaga, dimana ia dapat menemukan makanan dan minuman.[10] Singkatnya, penginjilan adalah "memberitakan Kabar Baik tentang Kristus". Penginjilan itu lebih daripada sekadar metode; penginjilan adalah sebuah berita. Berita tentang kasih Allah, tentang dosa manusia, tentang kematian Kristus, tentang penguburan-Nya, dan kebangkitan-Nya. Penginjilan adalah berita tentang pengampunan dosa dari Allah. Penginjilan adalah berita yang menuntut suatu tanggapan menerima Injil itu dengan iman, lalu menjadi murid Yesus. Istilah "penginjilan" mencakup segala usaha untuk memberitakan Kabar Baik tentang Yesus Kristus. Tujuannya ialah supaya orang-orang mengerti bahwa Allah menawarkan keselamatan dan supaya mereka menerima keselamatan itu dengan iman, lalu hidup sebagai murid Yesus. Menginjili ialah memberitakan Kabar Baik bahwa Yesus Kristus mati bagi dosa-dosa kita, dan Ia sudah dibangkitkan dari antara orang mati, menurut Kitab Suci.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, penginjilan harus berpusatkan pada Kristus. Seperti yang dikatakan oleh Samuel Boon, bahwa penginjilan bukan hanya sekedar memberitakan tentang Kristus, tetapi tindakan atau kehidupan penginjil juga harus menceritakan Kristus atau Injil itu sendiri. Penginjilan harus mencakup dua aspek baik secara verbal maupun tindakan, karena orang lebih mudah meneladani seseorang yang bertindak dibandingkan dengan yang hanya berbicara saja. Sehingga kehidupan seorang penginjil harus dijaga dengan baik.
Sehingga prinsip-prinsip penginjilan dari Amanat Agung dapat kita lihat bahwa:
Amanat adalah pesan atau perintah.[11] Biasanya amanat diberikan karena orang tersebut akan meninggalkan dalam jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Bisa jadi amanat diberikan waktu seseorang merasa usianya sudah tidak lama lagi di dunia. Sebelum Yesus terangkat ke Sorga, Ia memberi pesan sekaligus perintah kepada murid-muridNya. Perintah ini lebih sering dikenal dengan nama Amanat Agung. Perintah Yesus untuk mewartakan kabar gembira ke semua orang di seluruh dunia. Inilah yang seringkali disebut dengan penginjilan. Ada beberapa prinsip penginjilan yang dapat kita pelajari dari Amanat Agung ini (Mat 28:18-20).

A. Target Jiwa.
Alkitab mencatat bahwa target penginjilan adalah “semua bangsa” (Mat 28:19). Mungkin terlihat mustahil untuk menginjil ke semua bangsa di seluruh dunia ini, karena terlalu banyak jumlah penduduknya. Tetapi dalam Kis 1:8 diingatkan kepada kita untuk memulai dari tempat kita terlebih dahulu. “…kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." Yerusalem pada saat itu adalah tempat murid-murid Yesus berada. Artinya dalam menginjil, kita tidak harus selalu ke tempat yang jauh, tetapi dari lingkungan sekitar terlebih dahulu. Tentunya masih banyak orang yang belum percaya di lingkungan kita.
B. Empat perintah (amanat) Tuhan Yesus.
Dalam Amanat Agung terdapat empat kata perintah secara langsung yang Yesus katakan kepada murid-muridNya. Kata ini mengandung makna yang sangat mendalam dalam penginjilan.
Ay.19. Pergilah!
Yesus dengan jelas memberi perintah kepada murid-muridNya untuk pergi menjangkau jiwa. Untuk memenuhi Amanat Agung kita tidak bisa tinggal di dalam zona kenyamanan kita. Tetapi kita harus pergi mencari jiwa yang terhilang. Kita harus pergi memberitakan kabar gembira. Tentunya seperti yang sudah dibahas sebelumnya, itu semua dimulai dari lingkungan sekitar kita. Kita harus membuat tujuan secara spesifik, kemana kita akan memulai penginjilan kita. Mungkin dari pembantu di rumah, atau dari saudara kita yang belum percaya. Kita bisa menjalin persahabatan terlebih dahulu sebelum menguraikan kebenaran firman Tuhan, karena biasanya orang akan dengan mudahnya menolak tawaran kita, apabila belum mengenalnya. Untuk itulah kita harus memulai dengan menjadi sahabatnya terlebih dahulu, sehingga kita bisa juga menyisipkan kebenaran firman Tuhan dalam setiap percakapan.
Ay.19. Jadikanlah semua bangsa murid-Ku!
Perintah yang kedua adalah menjadikan semua bangsa murid Yesus. Yang artinya kita harus memuridkan target jiwa tersebut. Sebelum memuridkan orang lain, tentunya kita juga harus menjadi murid Yesus terlebih dahulu. Untuk itulah pengetahuan tentang Alkitab sangat penting. Kita sebagai mahasiswa Teologi bertanggung jawab untuk mengajar anak-anak Tuhan yang tidak belajar Teologi secara akademis. Sehingga kita bisa memberi pengajaran kepada anak-anak Tuhan yang rindu menginjil melalui pendalaman Alkitab dalam suatu Gereja. Dan setelah mereka belajar menjadi murid, mereka juga bisa memuridkan orang lain. Semua bangsa bukan pekerjaan yang mudah, tetapi dengan bantuan jemaat Tuhan yang rindu melayani, pasti akan mempengaruhi penginjilan kita.
Ay.19. Baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus!
Baptisan air melambangkan kematian kita terhadap dosa, dan bersama dengan Kristus kita dibangkitkan untuk hidup baru (Rom.6:3-4). Kita dilahirkan kembali oleh air dan Roh (Yoh.3:5). Baptisan menandai hidup baru itu dan bahwa kita dibersihkan dari dosa (1Ptr.3:21). Maka makna baptisan adalah tindakan iman bahwa kehidupan lama dengan seluruh dosa kita dikuburkan bersama kematian dan penguburan Yesus Kristus Tuhan dan dibangkitkan bersama dengan Kristus Yesus oleh kemuliaan Allah, dan memperoleh hidup baru didalam Yesus Kristus.
Perintah ketiga adalah perintah untuk membaptis. Apabila Tuhan Yesus menyempatkan diri untuk memberi pesan sebelum naik ke sorga berarti hal ini sangat penting bagi kehidupan orang percaya. Baptisan sangat penting, karena apabila baptisan tidak penting, maka tidak mungkin Yesus yang tidak berdosa (Luk 1:35; Ibr 4:15; 1Yoh 3:5) menyempatkan diri meminta diriNya sendiri untuk dibaptis. Berarti Yesus sudah menjadi teladan yang baik dalam hal ini. Untuk itulah kita juga harus mengajar target jiwa kita untuk memberi dirinya dibaptis.
Ay.20. Ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu!
Perintah keempat yang Yesus berikan kepada kita adalah perintah untuk mengajar. Pengajaran sangat penting untuk mengkokohkan iman seseorang, untuk itulah kita juga harus mengorbankan waktu, tenaga dan materi untuk mengajar target jiwa kita. Karena pengenalan yang dangkal terhadap Tuhan Yesus Kristus, keraguan yang timbul dan pertanyaan- pertanyaan yang tidak terjawab hanya akan membuat orang-orang tersebut tidak dapat berdiri dengan teguh pada kebenaran yang kudus. Karena itu, perlu ada pengajar-pengajar yang terus meneguhkan dan mengokohkan iman percayanya kepada Tuhan, sehingga mereka dapat terus bertumbuh dan tidak mudah digoyahkan oleh apa pun juga. Tugas kita tidak berhenti sampai tahap pengenalan kepada Yesus Kristus saja, tetapi tugas kita juga harus sampai kepada pengajaran tentang Yesus Kristus supaya mereka tidak tersesat lagi. Untuk itulah kita juga harus selalu belajar Alkitab, sehingga bisa menjadi jawaban bagi mereka yang mempertanyakan iman Kristen.
C. Janji Tuhan Yesus.
Yesus tidak hanya memberi amanat lalu lepas tangan, tetapi Yesus juga berjanji kepada kita bahwa Dia akan menyertai kita senantiasa sampai kepada akhir zaman (Mat 28:20). Mungkin kita merasa khawatir karena ketidakmampuan kita dalam menginjil, tetapi dalam ayat 20, Yesus berjanji kepada kita untuk selalu mendampingi kita. Untuk itulah kita harus menginjil sesuai dengan kemampuan kita. Apabila kita bertindak maka Tuhan juga akan melakukan bagianNya. Sehingga kita tidak perlu khawatir lagi, karena Tuhan beserta kita.
3.      Pengertian dalam Pertumbuhan Gereja
Kata pertumbuhan memiliki kata dasar tumbuh, yang artinya adalah timbul (hidup) dan bertambah besar atau sempurna. Sedangkan pertumbuhan itu sendiri adalah perkembangan atau kemajuan.[12] Sedangkan kata Gereja adalah gedung atau rumah tempat berdoa dan melakukan upacara agama Kristen.[13]
Sebagaimana kehidupan tanaman memerlukan pertumbuhan secara alami, maka gereja pun memerlukan pertumbuhan yang berlangsung secara sehat dan alamiah. Suatu tumbuhan dapat bertumbuh dengan baik bila terdapat ketersediaan media dan sari makanan yang cukup. Demikian pula gereja dapat bertumbuh dengan baik bila kehidupan orang-orang percaya di dalamnya memiliki kehidupan yang memaknai kebenaran firman Allah dalam kehidupan sehari-hari sebagai makanan rohani bagi pertumbuhan tersebut. Sehingga dengan demikian pertumbuhan gereja tidak dapat didasarkan pada karya tangan manusia. Megahnya sebuah gedung ibadah, peralatan musik, dan meriahnya suasana perkumpulan bukan sebuah indikator utama dalam sebuah pertumbuhan Gereja. Hal tersebut dilihat secara obyektif bahwa ada orang-orang Kristen yang mengalami penganiayaan, mereka berada di tempat yang sunyi dan besembunyi di balik batu-batu untuk beribadah. Mereka memiliki iman yang tidak kalah dengan orang-orang di perkotaan yang sering kali nyaman dengan kehidupan gereja yang melimpah dalam hal fasilitas. Dalam pertumbuhan gereja yang sehat tidak pula ditentukan dari banyaknya orang dan ramainya orang berkumpul dalam suatu peribadatan yang berlangsung di hari Minggu atau tengah minggu.
Dengan demikian sebaiknya orang Kristen melihat lebih dalam lagi untuk memahami arti pertumbuhan yang sesungguhnya. Keseimbangan antara kualitas dan kuantitas tentu sangatlah penting. Kualitas iman yang baik dari perkumpulan orang percaya harus dapat menarik banyak orang datang kepada Allah. Namun sebuah realitas yang baru harus dipahami bahwa gereja yang bertumbuh harus pula dapat mengembangkan pos-pos pelayanan yang pada akhirnya didewasakan dan terus berkembang. Jadi gereja yang bertumbuh harus dapat menyebar, sesuai dengan Amanat Agung. "Pertumbuhan gereja adalah suatu disiplin ilmu yang menyelidiki sifat-sifat, perluasan, perintisan, pelipatgandaan, fungsi, dan kesejahteraan gereja-gereja Kristen dalam hubungannya dengan penerapan yang efektif dari amanat Allah untuk "menjadikan semua bangsa murid-Nya" (Matius 28:18-20). Para penyelidik pertumbuhan gereja berusaha keras untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip teologi yang abadi dari firman Allah perihal perluasan gereja dengan wawasan-wawasan yang mutakhir di bidang ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu perilaku. Hal di atas dilakukan dengan menggunakan sebagai kerangka acuan awal, landasan-landasan tentang pertumbuhan gereja yang telah dikembangkan oleh Donald McGavran."
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa hal-hal yang dibahas dalam pertumbuhan gereja tidak secara otomatis berhubungan dengan penginjilan. Perintisan gereja biasanya bukan merupakan bagian dari penginjilan. Proses mendiagnose kesehatan/kesejahteraan suatu gereja biasanya juga bukan termasuk bagian dari penginjilan. Banyak tentang pendewasaan warga jemaat dan penerimaan anggota-anggota baru dibahas dalam pertumbuhan gereja. Hal-hal yang berhubungan dengan karunia- karunia rohani maupun teori-teori dinamika kelompok kecil sangatlah penting bagi pertumbuhan gereja.
Dalam pertumbuhan Gereja juga memiliki prinsip-prinsip yaitu:
Prinsip berarti asas kebenaran yang menjadi dasar berpikir maupun bertindak,[14] berdasarkan definisi yang disampaikan maka prinsip pertumbuhan gereja adalah asas kebenaran yang menjadi dasar berpikir maupun bertindak dalam perkembangan maupun perluasan tubuh Kristus baik dalam kualitas maupun kuantitas.
A. Berpusat pada Tuhan Yesus Kristus.
Alkitab mencatat, “Gereja adalah tubuh Kristus,” (Ef 1:23; 4:12-16 dan Kol 1:24). “Tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan” (Kis 2:47). Jelas sekali ayat-ayat ini menerangkan bahwa orang yang diselamatkan (Kualitas yang tidak nampak), tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka (Kuantitas yang nampak). Ini adalah makna pertumbuhan Gereja.
Ide pertumbuhan Gereja bukan berasal dari pikiran manusia, namun dari kehendak Allah sendiri. Tatkala Allah menciptakan manusia, Ia memberi mereka agar mereka berkembang biak memenuhi bumi. (Kej 1:27-28)[15] dan Tuhan Yesus juga memerintahkan murid-muridNya untuk pergi ke ujung bumi untuk memberitakan Injil kepada semua orang, serta membaptisnya (Mat:28:19-20). Maka ide pertumbuhan Gereja adalah berasal dari kehendak Allah sendiri. Karena Allah tidak menghendaki manusia binasa, melainkan menghendaki semua orang diselamatkan dan percaya bahwa Tuhan Yesus adalah Juru Selamat pribadi dan beroleh hidup yang kekal (IIPet 3:9; Yoh 3:16). Sehingga pertumbuhan Gereja berpusat kepada Tuhan Yesus Kristus bukan kepada manusia.
B. Pertumbuhan Gereja dan Pekerjaan Roh Kudus.
Gereja bertumbuh bersandarkan pada Roh Kudus (Kis 2:37-47), seperti yang telah dikatakan oleh Alkitab bahwa Roh Kudus di curahkan pada hari pentakosta. Setelah peristiwa pentakosta pertumbuhan Gereja pun menjadi nyata, Alkitab mencatat bahwa “Allah mulai menambahkan jumlah mereka” (Kis 2:47), dari sini nyata bahwa pertumbuhan gereja itu telah terjadi sebagaimana relasi ketritunggalan Allah, pekerjaan Roh Kudus adalah sebagai pemelihara, penghibur. Sebagaimana Gereja yang dipimpin oleh Roh Kudus harus menjadi saksi yang sempurna bagi Tuhan Yesus, sehingga Gereja menjadi jawaban bagi dunia. Alkitab mengajarkan sebagai berikut, Kita harus menerima pengajaran Roh Kudus tentang seluruh kebenaran (Yoh 14:26), taat kepada bimbingan Roh Kudus, masuk dalam segala kebenaran (Yoh 14:26), taat pada perintah Roh Kudus, menjalankan segala kebenaran (Rom 8:5-11), menerima teguran Roh Kudus, bertobat dari dosa (Wah 2:3), menyerahkan tubuh kita supaya di penuhi oleh Roh Kudus menjadi bait Allah (1 Kor 3:16-17; 6:19-20).
C. Pertumbuhan Gereja dan Tanggung Jawab Jemaat.
Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang Maha Kuasa, Dia mempunyai kekuasaan yang mutlak dapat menjadikan segala sesuatu tanpa bantuan manusia. Misalnya dalam penciptaan langit, bumi dan segala isinya (Kej 1:2; Maz 33:6,9). Tapi Tuhan juga mau manusia ambil bagian dalam pekerjaanNya, khususnya dalam penyelamatan manusia. Misalnya Dia memerintahkan nabi Nuh membuat bahtera untuk menyelamatkan dirinya dan seisi rumahnya (Kej 6:8). Sebenarnya Allah tidak perlu nabi Nuh untuk membuat bahtera dengan kekuasanNya, Allah sanggup mengerjakan sendiri. Tetapi Allah menghendaki nabi Nuh bertanggung jawab juga dalam pekerjaan penyelamatan ini. Dan pada akhirnya memang Nuh dan sekeluarga diselamatkan, dan itu bukan karena jasanya sendiri, tetapi berdasarkan pada firman Allah, nabi Nuh menuaikan kewajibannya menurut apa yang ia harus dan dapat lakukan.
Ada beberapa  kebenaran pertumbuhan gereja dan tanggung jawab anggota jemaat, yaitu jemaat mempunyai tanggung jawab untuk memperluaskan Injil, anggota jemaat bertanggung jawab untuk bersaksi, anggota jemaat bertanggung jawab untuk memperhatikan sesamanya, anggota jemaat bertanggung jawab untuk menabur, dan anggota jemaat bertanggung jawab untuk mempergunakan karunianya.[16] Tujuan Tuhan ialah agar manusia ikut bertanggung jawab dalam pekerjaan Tuhan Yesus, dan dalam bekerjasama dengan Tuhan dapat menikmati kuasa dan kenyataan hidup kekal.
Pertumbuhan gereja merupakan kehendak Allah sehingga berbagai upaya dalam pertumbuhan gereja harus berpusat pada Tuhan Yesus Kristus. Pertumbuhan gereja juga bersandarkan pada Roh Kudus yang akan memimpin dan memberikan pertumbuhan tersebut. Selain Allah Tritunggal, manusia juga terlibat dalam mitra kerja Allah untuk pertumbuhan gerejaNya. Sehingga setiap warga jemaat diwajibkan untuk ambil bagian dalam pertumbuhan gereja.
Korelasi pertumbuhan gereja dengan penginjilan yaitu:
Sejarah gereja mencatat bahwa pertumbuhan gereja secara kualitas maupun kuantitas ada karena penginjilan. Ini dapat dibuktikan dari catatan-catatan yang terdapat dalam kitab Perjanjian Baru khususnya kitab Kisah Para Rasul. Berikut ini bukti-bukti penginjilan yang dicatat oleh kitab Kisah Para Rasul:
1.      Alkitab mencatat bahwa sejarah kelahiran Gereja dimulai setelah kejadian pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta. Setelah kejadian itu, Petrus berkhotbah (penginjilan) dan orang-orang yang menerima firman itu meminta dirinya untuk dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa (pertumbuhan Gereja). Lalu mereka membentuk persekutuan dan bertekun dalam pengajaran rasul-rasul, serta berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa, seperti yang biasanya Yesus lakukan. Kis 2:41-42.
2.      Ketika Petrus dan Yohanes sedang berbicara kepada orang banyak (penginjilan), mereka tiba-tiba didatangi imam-imam dan kepala pengawal Bait Allah serta orang-orang Saduki. Orang-orang itu menjadi sangat marah lalu mereka ditangkap. Tetapi di antara orang yang mendengar ajaran Petrus dan Yohanes, banyak orang yang menjadi percaya, sehingga jumlah mereka menjadi kira-kira lima ribu orang laki-laki (pertumbuhan Gereja). Kis 4:1-4.
3.      Para rasul memilih pemimpin-pemimpin untuk menolong mereka mengatur kehidupan jemaat perdana. Tujuh orang dipilih untuk melayani orang miskin. Setelah itu firman Tuhan semakin tersebar (penginjilan), dan jumlah murid di Yerusalem makin bertambah banyak, juga sejumlah besar imam menyerahkan diri dan percaya (pertumbuhan Gereja). Kis 6:1-7.
4.      Filipus memberitakan firman sampai ke kota Samaria (penginjilan), banyak orang yang yang dengan bulat hati menerima firman itu. Dan mereka yang percaya, memberi diri untuk dibaptis, baik laki-laki maupun perempuan, termasuk simon tukang sihir yang dari dulu melakukan sihir di kota itu. Sesudah dibaptis, Simon senantiasa bersama-sama dengan Filipus (pertumbuhan Gereja). Kis 8:4-13.
5.      Rasul Paulus serta teman-temannya penginjilan ke daerah-daerah di luar Yerusalem. Alkitab mencatat beberapa nama dari jemaat di luar Yerusalem hasil penginjilan tersebut, antara lain adalah jemaat di Ikonium Listra (Kis 13: 43, 48), jemaat di Antiokia (Kis 14:21), jemaat di Filipi (Kis 16:13,14), jemaat di Tesalonika yang terdiri dari orang-orang Yunani (Kis 17: 1-4).
Sejarah gereja sesudah dunia Perjanjian Baru juga memberikan bukti-bukti penting bagaimana peranan penginjilan dalam pertumbuhan Gereja. Khususnya di Indonesia, Pertumbuhan Gereja di negeri ini dapat berdiri karena penginjilan yang dilakukan oleh para penginjil dari Eropa yang bernaung di Nederlands Zendeling Genootscap (N.Z.G.), antara lain di Maluku oleh Yosef Kam.[17] Di tanah Batak yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) pada tahun 1862 oleh Ingwer Ludwig Nomensen.[18]
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa ada korelasi[19] antara pertumbuhan Gereja dengan penginjilan. Kaitannya sangat erat sekali, karena Gereja bertumbuh secara kualitas dan kuantitas, salah satunya disebabkan adanya penginjilan dalam Gereja tersebut. Penginjilan sebagai salah satu tugas esensial[20] Gereja mempunyai peranan penting dalam kehidupan Gereja. Gereja Tuhan di seluruh belahan bumi ini mulai dari perkotaan sampai dengan ke pedalaman bertumbuh karena penginjilan.
















BAB III
IMPLIKASI DALAM PELAYANAN,
PENGEMBALAAN, PENGINJILAN DAN MISI
Dalam pelayanan pengembalaan para gembala harus selalu mengajarkan Roh Kudus kepada jemaat Tuhan, agar mereka semua memahami makna oknum Allah yang ketiga ini, meminta kepada Tuhan untuk dipenuhiNya, dan menggunakan karunia-karunia mereka untuk bersama-sama bertumbuh dalam iman, dan memancarkan kasih Kristus kepada sesama mereka, melalui kuasa yang diberikan oleh RohNya. Bahasa Roh dan nubuat, tidak akan lenyap sebelum kedatangan Kristus yang kedua kali. Ini berarti, sementara menantikan kedatangan-Nya, Roh Kudus akan tetap berkarya di dalam dan melalui mereka yang terbuka untuk dipakai-Nya. Para pelayan penggembalaan harus selalu bersandar kepada Roh Kudus, yang sanggup membuat seseorang menerima Kristus, lahir baru, dipulihkan, dan berjalan sesuai dengan firman Tuhan.[21]
Begitu juga alam penginjilan dan misi kita dapat menjalini persahabatan terlebih dahulu sebelum menguraikan kebenaran firman Tuhan, karena biasanya orang akan dengan mudahnya menolak tawaran kita, apabila belum mengenalnya. Untuk itulah kita harus memulai dengan menjadi sahabatnya terlebih dahulu, sehingga kita bisa juga menyisipkan kebenaran firman Tuhan dalam setiap percakapan. Dan juga kita bisa memberi pengajaran kepada anak-anak Tuhan yang rindu menginjil melalui pendalaman Alkitab dalam suatu Gereja. Dan setelah mereka belajar menjadi murid, mereka juga bisa memuridkan orang lain. Semua bangsa bukan pekerjaan yang mudah, tetapi dengan bantuan jemaat Tuhan yang rindu melayani, pasti akan mempengaruhi penginjilan kita. Setelah itu kita juga membaptiskan dan mengajarkan kepada setiap orang, setiap suku bangsa dibumi tentang kasih Yesus yang tidak ingin ada satupun dari umat-Nya yang terhilang dari kawananannya




BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Saat ini, gereja kembali mengalami penambahan anggota secara besar-besaran. Adalah menjadi suatu pertanyaan yang besar pada diri kita yaitu Bagaimana kita dapat menguatkan momentum dari gerakan-gerakan besar dan benar-benar membawa umat ke dalam hidup yang benar dalam Kristus dan bukan sekedar berpindah agama?
Jawaban yang sederhana ialah bahwa baik penginjilan, berdirinya gereja dan pertumbuhan gereja harus berorientasi pada Alkitab. Satu-satunya jawaban yang bisa diandalkan ialah berupaya kembali pada prinsip-prinsip dan kebiasaan-kebiasaan yang digambarkan dalam Kitab Kisah Para Rasul.
Sebuah Gereja bertumbuh maksimal, jika dengan giat menjalankan fungsinya dalam penginjilan yang intensif dan ekstensif.
Bersifat ekstensif : Menjangkau semua kelompok dan orang dalam komunitas itu dan semua bangsa di bumi.
Bersifat Intensif : Menyentuh semua fase pengalaman manusia dan menundukkan seluruh kehidupan dibawah Kristus.
Akhirnya penginjilan harus bersifat terus-menerus, bukan sporadic. Penginjilan harus denyut hidup serta gaya hidup dari seluruh Gereja. Peningkatan kualitas penginjilan akan sangat baik bagi pertumbuhan Gereja, dan setelah Gereja bertumbuh secara kuantitas bertambah, jangan terjebak dengan urusan ke-organisasian Gereja yang akhirnya akan mematikan kobaran Api Roh Kudus dalam diri Jemaat hanya karena merasa gereja sudah menjadi besar sehingga menjadi lupa bahwa bukan karena Organisasi Gerejanya yang membuat gereja itu bertumbuh tetapi Firman Allah yang hidup dan terus berkobar di dalam diri para Jemaat sampai mengalami tranformasi yang dashyat dan terus meningkat. Sehingga pertumbuhan tersebut dapat mencapai apa yang diinginkan Oleh Kristus.


DAFTAR PUSTAKA

ALKITAB
Conterius, Wilhem Djulei. Misiologi dan Misi Gereja Milenium Baru.  Flores : 2001  Penerbit Nusa Indah.
Woga, Edmund. Dasar-Dasar Misiologi. Yogyakarta : 2002, Kanisius.
Graham, Billy. Beritakan Injil. Bandung : 1992, Yayasan Baptis Indonesia.
Stott. John, Satu Umat . Malang : 1990,  Seminary Alkitab Asia Tenggara.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Bosch, D. J. Transformasi Misi Kristen. ( Jakasrta : 1997, Gunung Mulia.
Gerber, Vergil. Pedoman Pertumbuhan Gereja/Penginjilan. Bandung : 1982 , Penerbit Kalam Hidup.
Tanibemas, Purnawan Pertumbuhan Gereja dan Strategi Penginjilan. Surabaya : 1997. YAKIN.
Wongso, Peter Tugas Gereja Dan Misi Masa Kini, Malang : 1996, Seminary Alkitab Asia Tenggara
Artanto, Widi. Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia Yogyakarta : 1997. Penerbit Kanisius.
Ukur, Fridolin. TuaianNya Sungguh Banyak. Jakarta : 2002. Gunung Mulia.





[1] ALKITAB
[2] Salah satu perkataan Pdt. Stephen Tong https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=168163349946209&id=82233261236. Diambil pada Jumat 24 Oktober 2014 pukul 12:11
[3] Wilhem Djulei Conterius,  Misiologi dan Misi Gereja Milenium Baru ( Flores : Penerbit Nusa Indah, 2001 ), hlm. 13.
[4] Edmund Woga, Dasar-Dasar Misiologi ( Yogyakarta : Kanisius, 2002 ), hlm. 15.

[5] Bdk. Billy Graham, Beritakan Injil, ( Bandung : Yayasan Baptis Indonesia 1992 ) hal, 17
[6] http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=1054&res=jpz diambil pada Sabtu 25 Oktober 2014, pukul 16:15

[7] http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=1054&res=jpz diambil pada Sabtu 25 Oktober 2014, pukul 16:15

[8] George W. Peters, Teologi Pertumbuhan Gereja  (Malang:Gandum Mas, 2002), hlm. 21.
[9] John Raleigh Mott adalah seorang tokoh penginjilan di kalangan mahasiswa di berbagai universitas di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Mott dikenal juga sebagai tokoh ekumene dunia karena turut berperan dalam pembentukan "Dewan Gereja se-Dunia" (World Church Organization). Lihat. Wikipedia Ensiklopedia Bebas. John Mott, in http://id.wikipedia.org/wiki/John_Mott, 23 Oktober 2014
[10] http://www.scribd.com/doc/57935490/67/b-Arti-Penginjilan

[11] Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI v1.1. Amanat.
[12] Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI v1.1. Tumbuh.
[13] Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI v1.1. Gereja.
[14] Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI v1.1. Prinsip.
[15] Dr. Peter Wongso, Tugas Gereja Dan Misi Masa Kini  (Malang:Departemen Literatur SAAT, 1999), hlm. 97.
[16] Ibid, hlm. 106-109.
[17] H. Berkhof  & L. H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 314.

[18] Ibid. hlm. 316.
[19]Ko·re·la·si /korélasi/ n hubungan timbal balik atau sebab akibat. Korelasi. In Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI v1.1. 
[20] Esen·si·al /ésénsial/ a perlu sekali; mendasar; hakiki. Esensial. In Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI v1.1. 
[21] http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=1054&res=jpz diambil pada Sabtu 25 Oktober 2014, pukul 16:15


Studi Genre, Bentuk dan Skema Kitab Ulangan

Genre, Bentuk, dan Skema
Genre
Bentuk sastra (genre) dari Kitab Ulangan ini adalah kitab-kitab hukum karena kitab ini berisikan campuran antara hukum agama dan hukum sipil, juga beberapa kisah yang lebih tepat disebut ssastra cerita sejarah. Ulangan merupakan pangkal pokok dalam kehidupan Israel kuno. Isinya menyimpan tradisi yang kuno pada waktu pemunculannya. Beberapa tradisi hukum yang diturunkan oleh aliran Ulangan mempunyai asal usul pada zaman pra Israel dari Timur Tengah kuno. Klausule dokumen yang paling mungkin dalam Ulangan adalah perintah bahwa sesudah umat Israel sampai di negeri Perjanjian mereka harus mendirikan batu-batu besar dan menuliskan hukum Taurat padanya (27:2-3; bdg. Yos. 8:30-31). Pasal 31-32 adalah bagian saksi. Musa diperintahkan untuk menggubah sebuah nyanyian yang berfungsi sebagai saksi (31:19-22; bdg. 32:39-43, dimana nyanyian tersebut meliputi sumpah Tuhan); baik Kitab Taurat maupun langit dan bumu dipanggil sebagai saksi (31:26-28). Berkat-berkat dan kutuk terdapat di pasal 28. Kitab Ulangan sebagai sebuah dokumen resmi yang mengesahkan suatu hubungan formal antara Tuhan dan Israel, dengan Tuhan sebagai raja yang berkuasa dan Israel sebagai raja bawahan. Fakta raja bawahan di Timur Dekat kuno memberikan pada kita latar belakang sastra untuk memahami kitab Ulangan. Fakta raja bahawan di Timur Dekat kuno memberikan juga pada kita latar belakang sastra untuk memahami kitab Ulangan. Fakta yang baku meliputi (1) prakata yang memperkenalkan pembicara, biasanya raja yang berkuasa, pemrakarsa pakta itu; (2) Prolog sejarah yang menekankan kebajikan dan kekuasaan penguasa itu; (3) ketetapan-ketetapan yang memerincikan apa yang diharapkan dari raja bawahan itu; (4) pernyataan mengenai pengunjukan dokumen, tempat penyimpanan atau syarat-syarat untuk dibaca secara berkala; (5) daftar saksi-saksi, biasanya ilah-ilah; dan (6) kutukan atau berkat yang akan dinyatakan oleh ilah-ilah itu sesuai pelaksanaan ketetapan-ketetapan itu. [1] Inti kitab Ulangan dan Kitab-Kitab Sejarah Deuteronomis adalah hubungan kasih antara umat dengan Allah dan dengan sesamanya adalah Kasih Allah. Kasih Allah mendahului segalah tuntutan Allah kepada umat yang nyata dalam berbagai peraturan, ketetapan, dan hukum yang terdapat dalam kitab Ulangan. Allah mengikat perjanjian dengan Israel bukan karena kehebatan atau kebaikan Israel, melainkan semata-mata karena kasih Allah (Ul. 7:7-9). Deuteronomis juga sangat menekankan tauhidnya yang dapat kita baca dalam Ulangan 4:19 dan seterusnya; 6:4. Hukum yang pertama dalam dekalog Ulangan ialah larangan menyembah ilah lain (Ul. 5:6,7). Tauhid dan larangan menyembah ilah lain sangat penting pada zaman Ulangan. Dan juga kitab Ulangan mengenai hukum kewajiban yang harus dilakukan kepada Allah yang telah menyelamatkan, yaitu mengasihi Allah dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan (Ul. 6:5).seorang Begitu juga bagaimana seharusnya seorang raja mewujudkan kasihnya kepada bangsanya, Ia harus memerintah dengan yang benar dan adil, sesuai ketetapan, peraturan, dan hukum Allah (Ul. 17:14-20), bagaimana seorang hakim mengasihi sesamanya, ia harus melakukan peradilan yang benar dan adil (Ul. 16:18-20), ia harus mampu menghapus hutang sesama yang tidak mampu mengembalikan pinjamannya (Ul. 15:1-11). Kewajiban yang harus dilakukan umat adalah semua yang diatur dalam bagian Kitab Ulangan yang disebut hukum Deuteronomis, terutama yang terdapat dalam Ulangan 12-26 yang diakhiri dengan ucapan berkat kutuk sebagai penutup dari semua tuntutan itu (Ul. 28).[2] 
Kitab Ulangan merupakan salah satu kitab yang paling penting dan berpengaruh di antara kitab-kitab Ibrani. Kitab ini menyajikan pandangan teologis yang mempengaruhi nabi-nabi terdahulu (Yosua, Hakim-Hakim, Samuel, dan Raja-Raja), sekarang dikenal sebagai Sejarah Deuteronomis Israel. Kitab Ulangan juga mempengaruhi sejarah Tawarikh Israel ( Tawarikh, Ezra, dan Nehemia). Penafsiran kembali secara Deuteronomis atas pokok-pokok penting dari hukum kuno dan sejarah Israel menyajikan suatu pola bagi para rabi, yang menerbitkan Misnah dan Talmud. [3] Kitab terakhir dalam Pentateukh ini memperoleh namanya dari kata Yunani deuteronomion touto di Ulangan 17:18, yang berarti “pemberian hukum yang kedua.” Sebenarnya ungkapan ini dalam naskah Ibrani lebih tepat berarti “salinan hukum ini,” tetapi penggunaan yang populer dari “hukum kedua” menghubungkan kitab ini dengan Perjanjian Sinai dari Kitab Keluaran, yang berhubungan erat dengan Kitab Ulangan. Bersama dengan pengulangan Sepuluh Hukum dalam pasal 5, Kitab Ulangan berisi banyak hukum yang sama dengan yang ditemukan dalam Kitab Keluaran, terutama dalam Kitab Perjanjian (Kel. 21-23).
Kitab Ulangan lebih banyak ditulis mengenai struktur kesusasteraan Kitab Ulang daripada tentang salah satu dari keempat Kitab Pentateukh lainnya. Hal ini disebabkan oleh kesamaan-kesamaan yang menggugah rasa ingin tahu antara Kitab Ulangan dengan pakta-pakta Timur Dekat pada zaman purbakala. Garis besar Kitab Ulangan mempunyai kesamaan dengan ciri-ciri utama sebuh pakta, terutama sekali pakta-pakta orang Het pada akhir milenium kedua SM.[4] Yang paling penting untuk memahami struktur kitab ini adalah logika pengorganisasian dari bagian ketetapan-ketetapan. Struktur Kitab Ulangan ini terbagi menjadi tiga unsur; pertama, Kitab Ulangan sebagai suatu kumpulan hukum dan peraturan atau kodeks. Kedua, Kitab Ulangan sebagai suatu naskah perjanjian. Ketiga, Kitab Ulangan sebagai suatu pidato perpisahan Musa. [5] Pada tahun 1979, dalam Kitab Ulangan, dalam artikelnya Stephen Kaufman mengemukakan bahwa ps. 12-26 berhubungan dengan kesepuluh Hukum. [6] Pelayanan Musa sedang mendekati akhir. Untuk membangkutkan kepemimpinan baru dan penaklukan dan pendudukan tanah perjanjian, Musa menasehati bangsa yang telah dia pimpin keluar dari Mesir itu dengan sejumlah nasehat yang bersifat umum. Hal yang sangat penting adalah pesan-pesan Musa yang disampaikan kepada bangsanya; pertama, Musa meninjau ulang sejarah Israel. Dengan terang dan jelas dia menunjukkan bahwa syarat-syarat untuk memperoleh kebaikan YAHWEH adalah ketaatan kepada Hukum Taurat dan kesetiaan kepada YAHWEH dengan sepenuh hati. Kedua, Musa dengan jelas mengingatkan mereka bahwa mereka adalah umat perjanjian YAHWEH. Dia mengulangi kesepuluh perintah dan menunjukkan bahwa ini adalah dasar untuk hidup Kitab Ulangan tidak disajikan sebagai suatu perjanjian. Kitab Ulangan mempergunakan bentuk-bentuk dari tradisi perjanjian, tetapi disajikan sebagai suatu rentetan wajang-wejangan yang diberikan kepada Israel oleh Musa menjelang kematiannya. Ulangan adalah wasiat Musa kepada Israel, yang akan merebut Kanaan dalam waktu dekat. Ini bukan teks perjanjian atau kesepakatan. Kitab ini memang berisikan unsur-unsur bentuk perjanjian, tetapi juga berisikan bahan-bahan yang tidak dapat dimasukan ke dalam bentuk demikian (lih. Ul. 32-34).[7]
Bentuk
Konteks Kultural – Historis Umum
Di Israel, sejarah tidak dipandang hanya sebagai serangkaian peristiwa yang dinilai berkenana dengan sebab dan akibat, tetapi dilihat sebagai tindakan Allah. Sejarah adalah bukti dari pilihan Israel – pelaksanaan rincian pemilihan tersebut diketengahkan dalam pernyataan, “Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku.” Sejarah tidak mengalir secara sembarangan. Tidaklah secara kebetulan atau karena usaha manusia Israel dibawah keluar dari Mesir sesudah empat ratus tahun berada di sana dan dimpin ke negeri yang dijanjikan pada Abraham. Sejarah adalah penyataan dan menuntut tanggapan; itulah sebabnya sejarah sangat penting bagi perjanjian itu. Kenyataan bahwa Allah sudah bertindak dalam sejarah atas nama mereka merupakan panggilan nyaring dan jelas bagi umat Israel untuk menerima pemerintah Allah yang penuh kebajikan. Ditegaskan (Ul. 4) bahwa Israel harus belajar dari sejarah; nasihat ini diulang dalam Perjanjian Baru mengenai penyataan dalamsejarah tentang Allah (Rom. 15:4; I Kor. 10:1-13). Walaupun tangan Allah terlihat dalam seluruh sejarah dan berbagai pelajaran dapat ditarik dari bagian apa saja di sejarah dunia, sejarah Israel adalah unik sebagai suatu wahana yang secara khusus dirancang untuk penyataan diri Allah.[8]  Mengenai Hukum Taurat . Hal ini pasti akan membingungkan orang Israel pada zaman dahulu, karena bagi mereka tidak ada peragaan yang lebih besar dari kasih karunia Allah daripada yang ditunjukkan dalam pemberian hukum Taurat. Di Timur Dekat kuno, dewa-dewa tidak terkenal mantap dalam bertindak. Para pemuja dibiarkan untuk menebak-nebak apa yang dapat menyenangkan dewa merka atau apa yang tidak menyenangkannya, dan ini bisa berubah dari hari ke hari. Kergauan dan ketidaktentuan itu menimbulkan kebingungan yang terus menerus, dan orang hanya bisa mengira-ngira apakah ia berkenan atau tidak dengan cara menilai keberuntungannya setiap hari. Hukum Taurat mengubah itu semua bagi umat Israel. Allah mereka sudah memilih untuk menytakan diri dan memberi tahu pada mereka dengan jelas apa yang Dia harapkan dari mereka. Di Timur Dekat kuno adalah alat masyarkat untuk memerintah diri sendiri; di Israel hukum Taurat adalah penyataan Allah. Di Timur Dekat kuno, pelanggaran hukum adalah pelanggaran terhadap masyarakat; di Israel pelanggaran hukum adalah pelanggaran terhadap Allah. Hukum di Timur Dekat kuno menekankan ketertiban dalam masyarakat; hukum di Israel menekankan perilaku yang benar di pemandangan Allah.[9] Tempat Ibadah yang Sentral. Gagasan satu tempat ibadah di Israel secara simbolis berhubungan dengan konsep satu Allah. Di Timur Dekat kuno kota-kota yang berbeda mempunyai dewa pelindung yang berbeda dengan kuil-kuil yang dibangun untuk menghormati mereka. Oleh karena itu pantaslah bagi Israel, yang hanya mempunyai Allah yang Esa, untuk mempunyai satu rumah ibadah yang sah. Namun, orang dapat menjumpai banyak kuil kepada ilah yang sama di Timur Dekat kuno. Tetapi teologi mengenai kehadiran Allah yang terus-menerus di baitu suci di Yerusalem tidak memeungkinkan adanya lebih dari satu tempat peribadatan. Kehadiran Allah tidak dapat diwakilkan oleh berhala-berhala seperti di agama-agama lain. Juga upacara agamanya harus dilakukan dalam kehadiran Allah. Oleh karena itu sentralisasi penting sekali baik karena alasan-alasan teologi maupun untuk melindungi praktik keagamaan yang ortodoks. Kegagalan untuk melaksnakan sentralisasi itulah yang terus-menerus menghidupkan banyak persoalan keagamaan sebelum pembuangan.[10]
            Dalam geografi dunia fisik dari Perjanjian Lama adalah Timur Dekat kuno, yang sekrarang ini biasa dikenal sebagai Timur Tengah. Kisah-kisah Perjanjian Lama meliputi kawasan Mesopotamia di Timur, Asia Kecil atau Anatolia di Utara, Siro-Palestina dan Mesir di barat, dan semenanjung Arabia di selatan. Negara Irak dan Iran yang sekarang menempati sebagian terbesar dari Mesopotamia kuno, sementara Asia Kecil sekarang ini dikenal sebagai Turki, dan Saudi Arabia menguasahi hampir seluruh semenanjung Arab. Hampir empat perlima bagian dari sejarah Perjanjian Lama terjadi di daerah Siro-Palestina di pantai timur Laut Tengah. Wilayah ini sekrang meliputi negara Siria, Libanon, Yordania, dan Israel.[11] Palestina adalah negeri Palestina dinamai menurut bangsa Filistin (Pelishtim dalam bahasa Ibrani) yang menetap di daerah pantai Laut Tengah dari Yope sampai Gaza sekitar tahun 1300-1200 SM. Sebelum orang Filistin berimigrasi daerah itu dikenal sebagai Kanaan. Nama ini mengandung arti “negeri ungu” dan barangkali nama itu diambil dari bahan pewarna ungu yang dihasilkan oleh orang pribumi dari sejenis kerang-kerangan yang banyak terdapat di sepanjang pantai Mediterania. Palestina sering kali disebut sebagai pusat geografis dan teologis dari dunia purbakala. Negeri ini tidak hanya terletak di persimpangan jalan jalur-jalur perdagangan yang penting pada zaman purbakala, “tanah di antara” benua Afrika, Asia dan Eropa. Juga daerah Yudaisme, Kekristenan dan Islam mengawali keberadaan mereka. Luas negeri itu sekitar 150 mil dari Dan ke Bersyeba (utara-selatan) dan 100 mil dari Laut Tengah ke Sungai Yordan (timur-barat), atau kasarnya seukuran kota New Jersey. Negeri Palestina dengan mudah dalam empat daerah geografis utama yang membujur dari utara ke selatan: daratan pantai, daerah perbuktian tengah, celah Yordan, dan dataran tinggi Trans yordania (bdg. Ul. 1:6-8). Latitudinal utama atau Pembagian georgafis utama Palestina melintang dari timur ke barat berkaitan dengan segi-segi geografis negeri itu dan tapal batas politis dari dua kerajaan Israel yang pecah. Pembagian ini meliputi daerah Galilea di utara, Samaria di daerah utara-tengah Palestina. Yehuda di bagian selatan-tengah Palestina, dataran Negev (atau Padang rumput” kering) di selatan, dan semenanjung Sinai yang membentuk perintang besar antara Palestina dan Mesir.[12] Lembah Yordan adalah Lembah sungai Yordan atau celah Yordan, adalah lembah geologis besar yang mulai di Siria di pegunungan Libanon dan membujur ke selatan sampai ke Teluk Akaba dan Laut Merah. Lembah sungat Yordan yang membentuk perbatasan timur Palestina adalah bagian dari parit geologis yang berigi-rigi. Pada zaman dulu daerah sekitar Danau Galilea berpenduduk sangat padat dan secara intensif diolah dan ditanam dengan memakai irigasi. Lebih jauh lagi ke selatan, lembah sungat itu menyempit dan didapati tumbuh-tumbuhan hinga berupa hutan, tampat tinggal binatang-binatang liar pada masa Perjanjian Lam (bdg. Yer. 49:19; 50:44; Za. 11:3). Sebagian besar wilaya ujung selatan dari lembah sungai ini tidak ada penduduknya, kecuali di tempat sungai Yabok memasuki Yordan dan di Oasisi yang diari sumber-sumber Yerikho. Bukit-bukit tanah liat yang licin dan berlumpur dan tumbuh-tumbuhan yang lebat dan sejajar sepanjang lembah Yordan membuatnya tetap merupakan perintang alam antara Palestina dan dataran tinggi Trans Yordan. Laut mati tidak mempunyai saluran keluar yang alami, dan airnya yang melimpah dengan mineral mengandung kadar garam sampai 30 persen. Tebing-tebing batu kapur yang berjajar sepanjang pantai barat Laut Mati dipenuhi gua-gua yang dipergunakan sebagai tempat persembunyian untuk penyamun, pelarian politik, dan komunitas-komunitas berbagai sekte keagamaan. Di tempat inilah di antara pemandangan gua-gua yang “tandus” ini ditemukan guluang-gulungan naskah Laut Mati atau gulungan-gulungan naskah komunitas Qumran. Penduduk di pinggiran daerah padang gurun yang kering dan terpencil ini menambang endapan-endapan bijih besi dan tembaga yang dijumpai di daerah bukit-bukit di perbatasan Araba, atau terlibat dalam perdagangan dengan kafilah-kafilah yang melintasi daerah itu.[13]
Konteks Kultural – Historis Khusus
Identitas Penulis Kitab
            Ulangan ditulis oleh Musa (31:9, 24-26; bd 4:44-46; 29:1) dan diwariskan kepada Israel sebagai dokumen perjanjian untuk dibacakan seluruhnya di hadaoan seluruh bangsa setiap tujuh tahun (31:10-13). Musa mungkin menyelesaikan penulisan kitab ini menjelang kematiannya sekitar tahun 1405 SM.[14] Tradisi orang Yahudi dan tradisi orang Samaria setuju bahwa kitab Ulangan dikarang oleh Musa. Dalam Neh. 8:2 disebutkan “kitab Taurat Musa”, yang dibacakan oleh Ezra kepada orang-orang Israel sebagaimana diperintahkan oleh Musa dalam Ulangan 31:9-13. Kemudian, dalam Ul. 1:5 dikatakan bahwa Musa menguraikan hukum Taurat, lalu menuliskannya dan menyerahkannya kepada orang-orang Lewi (31:9). Selain itu, kitab Ulangan dikutip lebih dari 80 kali dalam Perjanjian Baru, dan sering kali penulis-penulis Perjanjian Baru disamping mengutip juga mengatakan bahwa kitab itu dikarang oleh Musa. [15]
            Para nabi dianggap bertanggung jawab atas Kitab Ulangan ini, karena pada suatu saat segala sesuatu dari Alkitab Ibrani yang bercirikan etik teologis dianggap berasal dari lingkungan pada nabi. Tetapi, Kitab Ulangan tidaklah memperlakukan para nabi dengan baik (lih. Tafsiran Ul. 18:9-22) Penafsir lain mengatakan bahwa Kitab Ulangan mencerminkan khotbah para Lewi. Sebenarnya tidak ada contoh khotbah Lewi dalam Alkitab, maka tidak mungkin mengatakan bahwa Kitab Ulangan adalah hasil dari kegiatan semacam itu. Para bijak di Israel pernah juga dianggap sebagai penulis Kitab Ulangan ini, tetapi mereka tidak pernah muncul dalam kitab yang mengadaikan bahwa mereka yang menyusun dan menerbitkan kitab ini bagi bangsa Israel sebagai pola hidup mereka.[16] Satu alasan yang menyebabkan para pakar tidak mempertahankan hubungan Musa dengan kitab ini adalah karena kitab Ulangan mengajarkan bahwa penyembahan harus dipusatkan pada satu tempat ibadah (Ul. 12). Keberatan-keberatan ini menyebabkan mereka menolak kemungkinan bahwa berdasarkan logika Musa sudah mengantisipasi soal-soal yang berhubungan dengan pemerintahan raja yang kelak harus ditangani. Kita melihat tidak ada alasan untuk menolak bahwa kitab Ulngan ini memang merupakan catatan yang akurat dari perkataan Musa, tetapi tidaklah perlu bahwa Musa sendiri yang menuliskan perkataan itu, tetapi sifat dari kitab ini dan kesatuannya memberi kesan bahwa kitab itu ditulis tidak lama setelah perkataan itu disampaikan. [17] Teori Hipotesis dokumen, pandangan bahwa Pentateukh disusun dengan memakai beberapa dokumen, dan teori  Deuteronomistic History (teori bahwa penulis yang tidak dikenal telah menyusun kitab Ulangan).[18]
Latar Belakang Penulisan Kitab
            Kitab Ulangan seluruhnya berasal sumber Deuteronomis. Sifat dan ciri tulisan Deuteronomis sekedar mau mengulangi apa yang sudah diceritakan dan disebutkan dalam kitab-kitab sebelumnya. Tetapi penulis sumber Deuteronomis telah mengambil alih apa yang sudah ada sebelumnya dan menyusunnya kembali dalam konteks pergumulan umat zaman Deuteronomis. Dan semua ciri serta sifat dari sumber Deuteronomis ada dalam Kitab Ulangani.[19] Kitab ini berisi amanat perpisahan Musa yang dalamnya ia mengulas kembali dan memperbaharui perjanjian Allah dengan Israel demi angkatan Israel yang baru. Mereka kini sudah mencapai akhir dari pengembaraan di padang gurun dan siap masuk ke Kanaan. Sebagian besar angkata ini tidak mengingat Paskah yang pertama, penyeberangan Laut merah, atau pemberian Hukum di Gunung Sinai. Mereka memerlukan pengishan kembali yang bersemangat mengenai perjanjian, hukum Taurat, dan kesetiaan Allah, dan suatu pernyataan baru mengenai berbagai berkat yang menyet=rtai ketaatan dan kutuk  yang menyertai ketidaktaatan. [20] Selama satu generasi (40tahun) orang Israel telah mengembara di Padang gurun Sin. Sekarang tiba saatnya mereka akan mencapai tujuan utama sejak keluar dari Mesir, yaitu masuk tanah Kanaan. Akan tetapi, mereka akan menghadapi juga banyak godaan yang keras dan pencobaan yang berat di tanah baru itu, dan pemimpin baru mereka (Yosua) belum membuktikan kesanggupannya. Oleh karena itu Musa menyampaikankan beberapa khotbah kepada mereka. [21] Di kitab Ulangan, Tuhan diperkenalkan sebagai raja yang bekuasa dan pemrakarsa perjanjian. Prolog sejarah mengisahkan kembali bagaimana Tuhan sudah membwa kaum Israel keluar dari Mesir, menyatakan diri-Nya di Sinai, dan membawa mereka ke negeri yang sudah dinjanjikan-Nya pada Abraham, nenek motang mereka. Ketatapan-ketetapan memenuhi sebagian besar kitab ini. [22]
Waktu dan Alamat Penulisan Kitab
Musa mungkin menyelesaikan penulisan kitab ini menjelang kematiannya sekitar tahun 1405 SM. Bahwa Musa menulis kitab ini ditegaskan oleh (1) Pentateukh Samaria dan Yahudi, (2) para penulis PL (mis. Yos. 1:7; 1Raj 2:3; 2Raj 14:6; Ezr. 3:2; Neh. 1:8-9; Dan 9:11), (3) Yesus (Mat. 19:7-9; Yoh. 5:45-47) dan penulis PB yang lain (mis. Kis. 3:22-23; Rm. 10:19), (4) para cendekiawan Kristen zaman dahulu, (5) cendekiawan konservativ masa kini, dan (6) bukti di dalam kitab Ulangan sendiri (mis. Kesamaan sususnan dengan bentuk-bentuk perjanjian yang ditulis pada abad ke-15 SM). [23] 
Teori Hipotesis dokumen, pandangan bahwa Pentateukh disusun dengan memakai beberapa dokumen, dan teori  Deuteronomistic History. Kedua teori tersebut menentukan tanggal penulisan Kitab Ulangan pada bagian akhir abad ketuju SM dan memandangnya sebagai dokumen dasar untuk pembaharuan yang dilakukan oleh Raja Yosia pada tahun 622. Kendati fungsinya dalam pembaharuan oleh Raja Yosia tak perlu dipersolakan lagi, makin banyak orang berpendapat bahwa kitab Ulangan berisi banyak bahan yang menunjuk pada masa yang lebih awal dari abad ketujuh.[24] Lebih dari lima puluh pakta seperti itu sudah ditemukan di Timur Dekat kuni yang waktunya berkisar dari pertengahan milenium-ketiga sampai pada pertengahan milenium-pertama SM. [25] Dengan memperhatikan bukti, tidak mungkin menerima pendapat beberapa sarjana bahwa kitab ini dikarang pada masa pemerintahan Yosia, kira-kira 600 tahun sesudah Musa.[26] Karena itu, Kitab Ulangan kemungkinan ditulis pada abad ke-8 SM. Menurut beberapa ahli kitab ini ditulis pada zaman pemerintahan Raja Hizkia. Ada pula yang mengatakan bahwa Kitab Ulangan ditulis di Israel Utara. Ketika Kerajaan Israel Utara dihancurkan oleh Asyur pada tahun 721 SM (band. E. W. Nicholson, Deuteronomy and Tradition. hal 58-63) gulungan Kitab Ulangan dibawa ke Kerajaan Selatan/ Yehuda dan disembunyikan di Bait Allah. Gulungan itulah ditemukan pada imam ketika diadakan renovasi Bait Allah di Yerusalem pada masa pemerintahan Raja Yosia. Raja Yosia mengadakan reformasi pada tahun 622 SM.[27]
Tujuan Penulisan Kitab
             Sebelum menyerahkan kepemimpinan kepada Yosua untuk penaklukan Kanaan, maksud Musa mula-mula ialah untuk menasihati dan mengarahkan angkatan Israel yang baru tentang (1) perbuatan-perbuatan perkasa dan janji-janji Allah, (2) kewajiban mereka bertalian dengan perjanjian untuk beriman dan taat, dan (3) perlunya mereka menyerahkan diri untuk takut kepada Tuhan, hidup di dalam kehendak-Nya, serta mengasihi dan menghormati Dia dengan segenap hati, jiwa dan kekuatan mereka. [28] Ketika Musa berhenti, ia mempercayakan kepemimpinan kepada Yosua dan pelayanan pengajarannya kepada para imam. Musa sekali lagi menceritakan kelahiran dan masa kanak-kanan bangsa itu, yang telah dipimpinnya keluar dari perbudakan Mesir, menuju perbatasan Kanaan dan, mengucapkan berkat untuk masing-masing suku. [29] Kitab Ulangan dimaksudkan untuk merumuskan ketaatan dan dengan demikian mendorong ketataan dan memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai perjanjian yang diadakan antara Israel dengan Tuhan di Sanai. Tujuan dari bagian ketetapan-ketetapan adalah untuk menghadapi semangat hukum. Pesan dari kitab ini adalah pesan hukum dan pesan perjanjian.[30] Musa mengajurkan umat Israel agar beriman dan taat, memperingatkan mereka tentang bahaya penyembahan berhala dan kemurtadan, dan tentang hukuman yang akan menimpa bangsa yang meninggalkan prinsip-prinsip Perjanjian Sinai. Sekaligus dia juga menjanjikan banyak berkat dari Tuhan andaikata Israel tetap setia melakukan tugasnya.[31]
Ciri Khas Penulisan Kitab
            Empat ciri khas menandai Ulangan. (1) Ulangan menyediakan bagi angkatan Israel yang baru (yang sebentar lagi akan masuk Kanaan) landasan dan motivasi yang diperlukan untuk mewariskan tanah yang dijanjikan dengan memusatkan perhatian kepada tabiat Allah dan perjanjian-Nya dengan Israel. (2) Ulangan merupakan “Kitab Hukum Kedua” karena didalamnya Musa, pemimpin Israel yang berudia 120 tahun, menyatakan kembali dan merangkun (dalam bentuk khotbah) sabda Tuhan yang terdapat di dalam keempat kitab sebelumnya. (3) Ulangan merupakan “Kitab Kenangan”. Nasihat yang khas dari Ulangan ialah, “Ingatlah ... dan jangan melupakan.” Daripada mengemukaka usaha untuk mencari “kebenaran baru”, Ulangan menasihati Israel untuk mempertahankan dan menaati kebenaran yang sudah dinyatakan Allah sebelumnya dalam Firman-Nya yang mutlak dan tidak berubah. (4) Dasar pikiran yang penting dalam kitab ini adalah rumusan “imam-tambah-ketaatan”. Israel dipanggil untuk mempercayai Allah dengan segenap jiwa raga dan menaati perintah-perintah-Nya dengan tekun. Iman- tambah-ketaatan akan memungkinkan mereka mewarisi janji-janji berkat Allah yang penuh; ketiadaan iman dan ketaatan, pada pihak lain, akan mengakibatkan kegagalan dan hukuman. [32]
Pemahaman terhadap Konteks Dekat
Khotbah yang kedua dari Musa yang menentukan mengenai ketentuan-ketentuan Perjanjian. Musa mengakhiri uraian ini dengan anjuran agar Israel taat atau sebagai nasihat dalam penutup berdasarkan perjanjian yang telah dibuat antara Tuhan dengan mereka. Bagian penutup ini mengingatkan orang Israel akan kewajiban-kewajiban dan hak-hak istimewa mereka dalam hubungan perjanjian. Pasal 16 Hari ini. Pelaksanaan janji-janji ini menuntut ketaatan sepenuhnya dari pihak Israel. Bnd Ibr. 4:7. Pasal 17 Menerima Janji. Barangkali ini adalah istilah hukum, yang dihubungkan dengan pembebanan kewajiban-kewajiban berdasarkan perjanjian, dan barangkali dikaitkan dengan beberapa tanda persetujuan umat yang tidak disebutkan dengan cara apapun. Pasal 19 Dia ata segala bangsa. Upah gemilang bagi Israel yang setia dan taat. Bnd 28:10.
Skema
            Kitab Ulangan dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian besar yaitu: Pertama, Khotbah yang pertama (pas. 1:1-4:43) memuat pokok perbuatan-perbuatan Allah. Pimpinan. Tuntutan Tuhan diikhtisarkan (pas. 1-3), dan anjuran agar umat Israel mentaati perintah-perintah Tuhan dan mengingat segala kebaikan-Nya kepada mereka sampai saat itu (pas. 4). Kedua, Khotbah yang kedua (pas. 4:44-26:19) memuat pokok-pokok Hukum Allah. Undang-undang Dasar (pas. 5-11), kesepuluh Firman diulangi lagi dengan uraian khusus tentang hal kesetiaan kepada Tuhan. Selanjutnya ketentuan-ketentuan Perjanjian (pas. 12-26). Ketiga, Khotbah yang ketiga (pas. 27-30) memuat pokok-pokok Perjanjian dengan Allah. Setelah semua perintah/undang-undang Tuhan dicatat, Perjanjian antara Israel dengan Tuhan diperbaharui (27:1-10). Kemenangan, damai sejahtera dan kesuburan tanah sehingga berhasil dan kekayaan (28:1-14), tetapi jika mereka tidak setia, ada beberapa kutukan menimpa mereka (28:15-68) dam Musa memanggil Israel kepada suatu penyerahan/pengabdian diri kepada Tuhan (pas. 29-30). Keempat, Kejadian-kejadian akhir (pas. 31-34), memuat amanat Musa kepada Yosua dan kepada orang-orang Lewi (pas. 31), nyanyian Musa (pas.32), Musa memberkati seluruh suku (pas.33) dan Musa meninggal (pas. 34).[33]





[1] Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1998), 228.
[2] Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama (Bandung: Bina Media Informasi), 113-114.
[3] Dianne Bergant & Robert J. Kanis, Lembaga Biblika Indonesia Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, ( Yogjakarta: Kanisius, )197.
[4]  Herbert Wolf, Pengenalam Pentateukh (Malang: Gandum Mas, 1998), 291.
[5] I.J. Cairns, Tafsiran Alkitab-Kitab Ulangan Ps. I-II (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), 4.
[6] S. Kaufman, The Structure of Deutoronomic Law, Maarav 1,2 (1978), 105-108.
[7] Dianne Bergant & Robert J. Kanis, Lembaga Biblika Indonesia Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, ( Yogjakarta: Kanisius, ), 198.
[8] Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1998), 237
[9] Ibid, 238
[10] Ibid, 239.
[11] Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1998), 35.
[12] Ibid, 43
[13] Ibid, 46
[14] Donald C. Stamps, Alkitab Penuntun: Hidup Berkelimpahan,( Malang: Gandum Mas, 2010), 273.
[15] Denis Green, Pengenalan Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1984), 68.
[16] Dianne Bergant & Robert J. Kanis, Lembaga Biblika Indonesia Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, ( Yogjakarta: Kanisius, ), 198.
[17] Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1998), 226.
[18]Ibid, 225.
[19] Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama (Bandung: Bina Media Informasi), 110.
[20] Donald C. Stamps, Alkitab Penuntun: Hidup Berkelimpahan,( Malang: Gandum Mas, 2010), 273.
[21] Denis Green, Pengenalan Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1984), 68.
[22] Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1998), 228.
[23] Donald C. Stamps, Alkitab Penuntun: Hidup Berkelimpahan,( Malang: Gandum Mas, 2010), 274.
[24]Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1998), 225.
[25] Ibid, 226.
[26] Denis Green, Pengenalan Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1984), 68.
[27] Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama (Bandung: Bina Media Informasi),111.
[28]Donald C. Stamps, Alkitab Penuntun: Hidup Berkelimpahan,( Malang: Gandum Mas, 2010), 274.
[29] Samuel  J. Schultz. Survei Perjanjian Lama Bagian I Kejadian-Ester (Jakarta: Evangelical Training Association), 54.
[30] Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1998), 229-230.
[31] Denis Green, Pengenalan Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1984), 69.
[32] Donald C. Stamps, Alkitab Penuntun: Hidup Berkelimpahan,( Malang: Gandum Mas, 2010), 274.
[33] Denis Green, Pengenalan Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1984),  70.

No comments: